Alasan Orangtua Libatkan Anak dalam Jaringan Terorisme

Dari kasus terorisme, seperti halnya bom Surabaya dan Sidoarjo, ada alasan orangtua melibatkan anak dalam aksi tersebut.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 16 Mei 2018, 12:45 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2018, 12:45 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian
Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat mengunjungi anak korban bom di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo (dok. Divisi Humas Polri)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kejahatan terorisme seperti halnya tragedi bom Surabaya dan Sidoarjo menjadi perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tragedi tersebut dilakukan satu keluarga, yang juga melibatkan anak-anak.

Padahal, Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut, larangan bagi siapa pun untuk menyuruh anak melakukan tindak kekerasan.

Saat ditemui dalam konferensi pers kejahatan terorisme, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengungkapkan, alasan orangtua melibatkan anak-anak dalam aksi terorisme.

"Mereka (orangtua) menganggap, anak sebagai aset. Jadi, anak boleh diperlakukan apa saja. Bahkan diikutsertakan dalam aksi terorisme," ungkap Rita di Kantor KPAI, Jakarta, ditulis Rabu (16/5/2018).

Pada sistem pengadilan pidana anak juga tidak menyebut, anak bebas diperlakukan apa saja oleh orangtuanya.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Anak bukan aset

AKBP Roni
AKBP Roni Faisal Saiful saat menyelamatkan seorang bocah dari ledakan bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya (Liputan6.com/Dian)

Bagi orangtua, ada satu hal yang perlu dipahami. Anak bukanlah semata-mata aset, yang bebas diperlakukan.

"Anak itu bukan aset. Sangat penting bagi orangtua agar tidak memanfaatkan anak (tindakan negatif)," Rita menambahkan.

Orangtua sebaiknya memanusiakan anak dengan baik. Beri pengasuhan yang baik dan penuhi hak-hak anak. Mulai hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, perlindungan sampai akses kesehatan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya