Liputan6.com, Jakarta Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengungkapkan alasan rapid diagnostic test (RDT) atau sering disebut tes cepat tetap dilakukan meski akurasinya tak setepat tes swab.
Wiku mengakui bahwa yang menjadi standar emas untuk pemeriksaan COVID-19 adalah tes swab atau real time-polymerase chain reaction (RT-PCR). Namun tes-tes ini memiliki kelemahan yaitu lokasi pemeriksaan atau fasilitas yang terbatas.
Baca Juga
"Maka dari itu, bisa menggunakan rapid test dulu dan kalau hasilnya nanti positif harus dikonfirmasi dengan RT-PCR, urutannya begitu," kata Wiku dalam siaran daring konferensi pers di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta pada Selasa (5/5/2020).
Advertisement
"Kalau ada tes cepat molekuler, bisa juga setelah rapid test dilakukan ke tes cepat molekuler," ujar Wiku menambahkan.
Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini
Keterbatasan RT-PCR
Wiku mengatakan bahwa RDT tetap penting dilakukan karena fasilitas RT-PCR di Indonesia memiliki jumlah yang terbatas baik dari sisi fasilitas maupun sumber daya manusianya.
"Fasilitasnya terbatas di Indonesia dan harus ditangani oleh laboran dan ahli yang memang kerjanya di laboratorium," kata Wiku.
"Karena begitu banyaknya masyarakat maka dengan menggunakan rapid test, itu bisa skrining untuk dilakukan tes selanjutnya. Jadi tidak harus seluruhnya dilakukan tes selanjutnya," ujar Wiku dalam pemaparannya.
Dalam kesempatan tersebut, Wiku mengatakan setidaknya sudah ada tiga jenis tes COVID-19 yang dilakukan di Indonesia. Ketiganya adalah RT-PCR, Tes Cepat Molekuler, dan RDT.
Advertisement