Kata Peneliti LIPI Soal Vaksin COVID-19 Rusia: Bagaimana pun Uji Klinis Tetap Diperlukan

Wien menambahkan, apabila efektivitas suatu vaksin tidak mencapai 50 persen, maka produk tersebut bisa dianggap gagal.

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 12 Agu 2020, 18:16 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2020, 18:16 WIB
FOTO: Rusia Daftarkan Vaksin COVID-19 Pertama di Dunia
Vaksin COVID-19 yang dikembangkan laboratorium Institut Penelitian Ilmiah Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya, Moskow, Rusia, 6 Agustus 2020. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin pada 11 Agustus 2020, negaranya telah mendaftarkan vaksin COVID-19 pertama di dunia. (Xinhua/RDIF)

Liputan6.com, Jakarta Rusia kemarin menyatakan bahwa mereka siap menggunakan vaksin COVID-19 buatan lokal secara massal.

Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengatakan, vaksin COVID-19 yang mereka beri nama Sputnik V ini terbukti efisien dan mampu membentuk kekebalan tubuh dengan stabil.

Namun, banyak peneliti dunia yang mengkritik mengenai keterbukaan data terkait uji klinis vaksin COVID-19 buatan Rusia ini. Beberapa bahkan meragukan keamanannya mengingat waktu peluncurannya yang kurang dari setahun.

Peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wien Kusharyoto mengatakan bahwa hingga saat ini, belum ada laporan ilmiah yang lengkap terkait studi vaksin yang dibuat di Rusia ini

"Sayangnya (vaksin) yang dari Rusia hasil uji klinis tahap kedua belum ada report-nya," ujarnya saat dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Rabu (12/8/2020).

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini

Tetap Harus Ada Uji Klinis

FOTO: Rusia Daftarkan Vaksin COVID-19 Pertama di Dunia
Seorang peneliti bekerja di laboratorium Institut Penelitian Ilmiah Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya, Moskow, Rusia, 6 Agustus 2020. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin pada 11 Agustus 2020, negaranya telah mendaftarkan vaksin COVID-19 pertama di dunia. (Xinhua/RDIF)

Yang baru diketahui Wien pun sebatas bahwa vaksin yang dikembangkan Gamaleya Institute ini merupakan kombinasi adenovirus Ad5 dan Ad26 yang membawa protein virus SARS-CoV-2, hampir mirip dengan vaksin yang dikembangkan Oxford dan AstraZeneca serta CanSino.

Wien mengatakan, bagaimana pun sebuah vaksin tetap memerlukan uji klinis untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.

"Kalau kita tidak tahu efektivitasnya, kita juga tidak tahu apakan herd immunity akan tercapai atau tidak," kata Wien yang juga Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI ini.

Wien menambahkan, apabila efektivitas suatu vaksin tidak mencapai 50 persen, maka produk tersebut bisa dianggap gagal.

Ia menambahkan, dalam situasi darurat pun penggunaan kemungkinan bisa dilakukan namun hanya pada kalangan terbatas. Salah satu contohnya adalah seperti vaksin CanSino buatan Tiongkok yang usai uji klinis tahap kedua, baru bisa diberikan hanya untuk kalangan militer.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya