Rusia Klaim Punya Vaksin COVID-19 Pertama di Dunia, Haruskah Indonesia Kerja Sama?

Minim dan tidak lengkapnya data penelitian membuat kerja sama terkait produksi atau mendatangkan vaksin COVID-19 Rusia dinilai tidak tepat

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 13 Agu 2020, 11:52 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2020, 11:30 WIB
FOTO: Rusia Daftarkan Vaksin COVID-19 Pertama di Dunia
Seorang peneliti bekerja di laboratorium Institut Penelitian Ilmiah Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya, Moskow, Rusia, 6 Agustus 2020. Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin pada 11 Agustus 2020, negaranya telah mendaftarkan vaksin COVID-19 pertama di dunia. (Xinhua/RDIF)

Liputan6.com, Jakarta Di tengah pandemi yang belum terlihat akan mereda, Rusia secara resmi mengumumkan bahwa mereka telah menemukan vaksin COVID-19 pertama di dunia dan akan menggunakannya secara luas.

Namun, vaksin COVID-19 buatan Rusia ini mendapatkan banyak kritik karena minimnya data terkait uji klinis yang mereka lakukan serta waktu pengembangan yang bahkan kurang dari satu tahun.

Hal ini menimbulkan keraguan banyak pihak soal efektivitas dan keamanan dari vaksin bernama "Gam-COVID-Vac" atau lebih terkenal dengan sebutan Sputnik V ini. Apalagi, pejabat Rusia menyatakan bahwa mereka akan digunakan ke masyarakat luas dalam waktu dekat.

Meski masih banyak diragukan, beberapa negara menyatakan ketertarikannya untuk berpartisipasi dalam uji coba lanjutan vaksin virus corona ini. Dua di antaranya adalah Filipina dan Irak. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Kepada Health Liputan6.com, vaksinolog dan dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe mengatakan, bukan hal yang tepat apabila Indonesia atau negara lain mau bekerja sama dengan Rusia untuk mendatangkan atau memproduksi vaksinnya.

"Menurut saya tidak tepat. Karena data-data penelitiannya tidak ada, sangat minim, bahkan belum memenuhi syarat untuk menyelesaikan uji klinis fase tiganya," kata Dirga, Rabu (12/8/2020) malam.

Saksikan juga Video Menarik Berikut Ini


Harus Berhati-hati

Vaksin pencegah infeksi Virus Corona yang dikembangkan Pusat Penelitian Federal Gamaleya di Moskow, Rusia. (Xinhua/RDIF)
Vaksin pencegah infeksi Virus Corona yang dikembangkan Pusat Penelitian Federal Gamaleya di Moskow, Rusia. (Xinhua/RDIF)

Dirga mengatakan, tak lazim suatu vaksin digunakan secara luas tanpa melewati ketiga fase uji klinis. Selain itu menurutnya, biasanya suatu penelitian vaksin dilaporkan dalam sebuah publikasi yang bisa diakses banyak orang.

Ia menjelaskan, laporan yang baru terdaftar di kepustakaan pun hanya uji klinis fase satu atau baru dicoba ke puluhan orang.

"Tentu saja ini tidak cukup. Tidak lazim suatu vaksin yang baru fase satu habis itu mau dikasih ke masyarakat luas, sekalipun untuk negaranya sendiri," ujar vaksinolog lulusan University of Siena, Italia ini.

"Bahwa di Rusia mereka mau menggunakan untuk negaranya sendiri ya silahkan. Itu urusan internal dalam negeri, kita tidak bisa ikut campur,"

Namun, terkait dengan kerja sama, Dirga menyarankan agar Indonesia tidak melakukan kerja sama terkait vaksin COVID-19 dari Rusia tersebut.

"Sebagai perbandingan, vaksin Sinovac yang sekarang diuji coba di Bandung ini, oleh Unpad, itu fase satu dan fase duanya sudah selesai di China. Hasilnya ada, jurnalnya ada, makanya sekarang dicoba di sini," ujarnya.

"Itulah tahapan-tahapan yang lazim dan benar. Oleh karena itu kita mesti berhati-hati sekali," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya