Liputan6.com, Jakarta Menurut prosedur, laporan pengembangan riset obat COVID-19 Universitas Airlangga (Unair) Surabaya seharusnya disampaikan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI terlebih dahulu. Bukan langsung diumumkan di hadapan publik secara terbuka.
"Ya, seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI AD atau Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai sponsornya," tegas Ahli Epidemiologi Pandu Riono saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Rabu (19/8/2020).
"Apalagi langsung mengumumkan (riset) ke publik secara terbuka. Bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19 pertama di dunia. Hal ini tidak sesuai dengan prosedur," lanjut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini.
Advertisement
Kabar riset kombinasi obat COVID-19 yang dikembangkan Unair dan diklaim obat COVID-19 pertama di dunia ramai mencuat saat Unair melakukan konferensi pers di Markas Besar TNI AD, Jakarta pada 15 Agustus 2020. Tiga kombinasi obat ini adalah Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline; serta Hydrochloroquine dan Azithromycin.
“Ini uji klinik pertama obat COVID-19 di dunia yang anomali. Dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut,” pungkas Pandu.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Perbaikan Uji Klinis
Terkait obat COVID-19 Unair, BPOM sudah melakukan inspeksi pada 28 Juli 2020. Hasil inspeksi menemukan, proses uji klinis obat belum memenuhi prosedur protokol yang tepat.
Sejumlah permasalahan atau critical finding ditemukan, seperti subjek penelitian yang memasukkan Orang Tanpa Gejala (OTG/suspek) dan efek obat yang belum dijelaskan secara rinci dalam riset. BPOM pun meminta Unair memperbaiki proses uji klinis.
"Nanti hasil perbaikannya juga akan diserahkan ke kami lagi bersama dengan Komisi Penilaian Obat, yang juga ikut melakukan penilaian," tutur Kepala BPOM Penny K Lukito saat konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Rabu (19/8/2020).
Perbaikan uji klinis agar menghasilkan obat yang terbukti validitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini juga menekankan pada aspek keamanan dan keselamatan penggunaan obat.
Pandu juga mengingatkan setiap perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM. Komite Etik yang independen sebaiknya dari Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.
Advertisement
Butuh Proses Panjang
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN Ali Ghufron Mukti menjelaskan, dalam proses penemuan obat, terutama obat untuk penanganan COVID-19 membutuhkan proses yang panjang. Ini karena beragam prosedur yang harus dilaksanakan.
"Menemukan sebuah obat diperlukan proses yang sangat panjang karena menyangkut keamanan hidup masyarakat. Obat yang salah akan bisa menjadi racun dan berbahaya," ujar Ali dalam dialog di Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Kamis (6/8/2020).
Proses menemukan obat diawali dengan penelitian yang memiliki berbagai tahapan agar aman untuk diimplikasikan kepada masyarakat. Ali juga mengungkapkan, proses pertama dalam melakukan suatu penelitian adalah presentasi kepada kolega agar hasil penelitian bisa didiskusikan bersama mengenai kelayakannya.
“Biasanya orang melakukan penelitian, sebelumnya membuat proposal terlebih dahulu. Selanjutnya, proposal tersebut harus lulus dalam uji etika kelayakan yang diuji oleh Komite Etik. Jadi, tidak bisa langsung mengklaim menemukan obat. Harus ada prosedur yang dijalankan,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com.
Ali pun menginformasikan, Pemerintah terbuka dan mengapresiasi kepada siapa saja yang ingin ikut berpartisipasi dalam penemuan obat COVID-19 di Indonesia. Pemerintah akan memfasilitasi serta mendukung segala penelitian dalam penemuan obat COVID-19, asal sesuai dengan koridor dan etika yang ada.