Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Angka Kehamilan Tak Diinginkan di Asia Pasifik

United Nation Population Fund (UNFPA) dalam penelitiannya menemukan berbagai dampak pandemi COVID-19 terhadap program Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi secara global.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 27 Sep 2020, 09:00 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2020, 09:00 WIB
Liputan 6 default 5
Ilustrasi kehamilan (sumber: Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta United Nation Population Fund (UNFPA) dalam penelitiannya menemukan berbagai dampak pandemi COVID-19 terhadap program Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi secara global.

Studi yang dilakukan di 114 negara ini menghitung risiko COVID-19 berdasarkan durasi lockdown dan terbatasnya layanan fasilitas kesehatan selama pandemi. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka kehamilan yang tidak diinginkan.

Proyeksi dampak akibat gangguan layanan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu ringan, menengah, dan berat. Sedang skenario lamanya lockdown ditentukan berdasarkan durasinya mulai dari 3,6, 9, dan 12 bulan.

“Gambaran di Asia Pasifik dengan skenario terbaik pun akan ada 11.4 juta kehamilan yang tidak diinginkan dan sekitar 20.7 juta untuk skenario terburuk ,” kata Mela Hidayat, Kepala Perwakilan Dana PBB untuk Kependudukan (UNFPA) Indonesia, dalam webinar DKT Indonesia, Kamis (24/9/2020).

Meningkatnya angka kehamilan yang tidak diinginkan akan berdampak pula pada peningkatan angka kematian dan kesakitan ibu serta bayi baru lahir.

“Estimasi skenario terbaik menunjukkan akan ada tambahan 103 ribu kematian ibu dan dengan skenario terburuk akan ada penambahan 173 ribu kematian ibu.”

Dengan kata lain, diperkirakan akan ada 10 kematian ibu per jam dengan asumsi adanya hambatan pada persalinan oleh nakes, persalinan di faskes, dan akses terhadap layanan kontrasepsi.

“Ini bukan hanya angka tapi diharapkan membantu kita untuk membangun kesadaran tentang seberapa besar dampak dari pandemi sehingga kita tidak berleha-leha. Kita harus punya skenario untuk pencegahannya.”

Simak Video Berikut Ini:

Perkiraan BKKBN

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Eni Gustina, MPH menjelaskan permasalahan pelayanan Keluarga Berencana (KB) di masa pandemi COVID-19.

Eni menyebut per April 2020 diperkirakan lebih dari 47 juta wanita dapat kehilangan akses kepada pelayanan kontrasepsi di masa COVID-19. Akibatnya, 7 juta kehamilan yang tidak direncanakan pun bisa terjadi.

“Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.49 persen dan penduduk bertambah 4.5 juta orang per tahun,” kata Eni.

Adapun masalah yang dihadapi pada masa pandemi terkait program KB dan kesehatan reproduksi adalah masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, ada penurunan penggunaan metode kontrasepsi modern (mCPR).

“Disparitas angka prevalensi kontrasepsi (CPR), unmet need, peserta KB aktif (PA) metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) antar wilayah masih tinggi dan belum optimalnya sertifikasi kompetensi tenaga kesehatan pelayanan KB juga menjadi masalah.”

Selain itu, kesertaan KB di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan masih rendah. Sedang, kehamilan yang tidak diinginkan dan tingkat putus pakai kontrasepsi masih tinggi.

Infografis COVID-19

Infografis Dokter Berguguran di Medan Tempur Covid-19
Infografis Dokter Berguguran di Medan Tempur Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya