Liputan6.com, Jakarta Berbagai studi mencoba mencari tahu dampak dari tertular COVID-19 pada penyintas penyakit tersebut. Salah satunya terkait gangguan kognitif yang mungkin dialami.
Hal tersebut usai dilaporkannya beberapa kasus gangguan kognitif pada penyintas COVID-19.
Baca Juga
Dr. Lisa Mizelle, seorang perawat di sebuah klinik perawatan darurat di Amerika Serikat misalnya. Ia dinyatakan positif COVID-19 pada Juli lalu dan sudah sembuh. Namun, ia kerap melupakan perawatan rutin dan tes laboratorium, serta harus bertanya pada rekannya soal istilah yang sebelumnya ia sudah tahu secara otomatis.
Advertisement
"Saya meninggalkan ruangan dan saya tidak dapat mengingat apa yang baru saja dikatakan pasien," katanya seperti dikutip dari Today pada Senin (12/10/2020).
"Itu menakutkan saya saat berpikir saya sedang bekerja," kata wanita 53 tahun itu. "Saya merasa seperti mengalami demensia."
Selain itu, ada juga kasus yang dialami Dr. Michael Reagan di mana ia lupa tentang liburan 12 hari di Paris meski perjalanan tersebut hanya beberapa pekan sebelumnya.
Para ahli menyebutnya sebagai "Covid brain fog." Kabut otak atau brain fog sendiri adalah gejala kognitif yang mengganggu dan dapat mencakup kehilangan ingatan, kebingungan, sulit fokus, dan pusing. Banyak penyintas COVID-19 yang dilaporkan mengalami kabut otak dan mengganggu kemampuan mereka untuk bekerja dan berfungsi normal.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Dialami Beberapa Penyintas
Kepada New York Times, Reagan yang sempat dirawat karena COVID-19 itu mengatakan bahwa usai sembuh, ia kembali bekerja sebagai spesialis vaskular di sebuah perusahaan pembuat stent dan kateter.
Namun, pria 50 tahun itu beberapa kali mengalami jari-jari yang gemetar, sebuah gejala neurologis yang menyertai kabut otak. Ini membuatnya lebih sulit untuk melakukan operasi dan mengajari dokter cara menjahit arteri.
Selain itu, Reagan mengaku bahwa ia "tidak dapat menemukan kata-kata" ketika rapat. Ini membuatnya mengambil cuti. "Saya merasa terdengar seperti orang idiot."
"Ini melemahkan," kata pria 60 tahun asal Brentwood, California bernama Rick Sullivan yang mengalami masalah kabut otak sejak Juli usai melewati masalah pernapasan akibat COVID-19. "Saya hampir menjadi katatonik. Rasanya seolah-olah saya sedang dibius."
Dr. Igor Koralnik, chief of neuro-infectious disease di Northwestern Medicine, Chicago mengatakan bahwa ia melihat ada banyak kasus kabut otak pada penyintas COVID-19. Hal ini bisa berdampak pada tenaga kerja secara signifikan.
"Ada ribuan orang yang mengalaminya," kata Koralnik.
Advertisement
Berbagai Kemungkinan Penyebabnya
Para ilmuwan tidak yakin apa penyebab kabut otak, yang sangat bervariasi dan mempengaruhi para penyintas termasuk mereka yang bergejala ringan dan tanpa gejala.
Sebuah laporan Prancis bulan Agustus, terhadap 120 pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit menemukan bahwa 34 persen mengalami hilang ingatan dan 27 persen mengalami masalah konsentrasi beberapa bulan kemudian.
Menurut Dr. Natalie Lambert, associate research professor di Indiana University School of Medicine, dalam survei yang akan dipublikasikan berdasarkan data dari 3.930 penyintas COVID-19 di Survivor Corps, lebih dari setengah melaporkan kesulitan berkonsentrasi atau fokus.
Lambert menambahkan, itu adalah gejala paling umum keempat dari 101 kondisi fisik, neurologis, dan psikologis jangka panjang dan pendek yang dilaporkan oleh para penyintas. Masalah memori, pusing, dan kebingungan dilaporkan oleh sepertiga atau lebih responden.
Ada beberapa asumsi yang memungkinkan terkait fenomena ini. Menurut Dr. Avindra Nath dari National Institute of Neurological Disorders and Stroke mengatakan, jawaban paling sederhananya adalah karena kemungkinan orang masih memiliki aktivasi kekebalan yang terus menerus setelah infeksi awal mereda.
Selain itu, menurut Dr Serena Spudich dari Yale School of Medicine, peradangan di pembuluh darah atau sel yang melapisi pembuluh darah mungkin terlibat. Ia mengatakan, molekul inflamasi yang dilepaskan dalam respon imun yang efektif "juga bisa menjadi semacam racun, terutama ke otak."
Spudich mengatakan, penyebab lain yang mungkin terjadi adalah reaksi autoimun ketika antibodi secara keliru menyerang sel saraf.
Identifikasi Masalah pada Pasien
Dikutip dari Times of India, sebuah studi juga menyebutkan kaitan antara "brain fog" dengan gangguan stress pasca trauma (post-traumatic stress disorder/PTSD).
Dalam makalah yang ditulis oleh Andrew Levine David Geffen School of Medicine, UCLA, dan Erin Kaseda dari Rosalind Franklin University of Medicine and Science, Chicago mengatakan, penyintas COVID-19 kemungkinan mengalami kesulitan yang berkepanjangan terkait konsentrasi, serta sakit kepala, kecemasan, kelelahan, atau gangguan tidur. Ada kekhawatiran kerusakan otak secara permanen namun itu belum tentu terjadi.
"Idenya adalah untuk meningkatkan kesadaran di antara ahli saraf bahwa PTSD adalah sesuatu yang mungkin ingin Anda pertimbangkan ketika mengevaluasi kesulitan kognitif dan emosional yang terus menerus di antara para penyintas COVID-19," kata Levine.
"Jika kita mengidentifikasi penyakit kejiwaan selama evaluasi kita, dan yakin bahwa gejala kondisi mengganggu kemampuan mereka untuk melakukan yang terbaik, kita ingin itu diobati terlebih dahulu dan kemudian menguji mereka kembali setelah terkendali."
Kaseda menambahkan, apabila pada tes neuropsikologis masih ada, maka ada banyak bukti bahwa ada sesuatu yang lain sedang terjadi.
Para pakar pun menyarankan agar orang-orang dengan kabut otak untuk berkonsultasi dengan dokter guna mengesampingkan kondisi medis lain dan mengobati gejala fisik yang tersisa. Para dokter menyebut, beberapa gejala mungkin membaik atau menghilang seiring waktu meski ini belum bisa dipastikan.
Advertisement