Liputan6.com, Jakarta Pemberian azithromycin untuk pasien COVID-19 bukan sebagai antibiotik, tapi anti inflamasi dan imunomodulator (zat menstimulasi respons imun). Azithromycin biasa digunakan untuk mengobati infeksi bakteri, seperti infeksi telinga tengah, radang tenggorokan, dan radang paru-paru.
Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) Erlina Burhan mengatakan, dokter di Indonesia memang ada yang meresepkan azithromycin untuk pasien COVID-19. Namun, obat tersebut bukan bertindak sebagai antibiotik.
Advertisement
"Dalam standar atau rejimen di banyak negara, termasuk Indonesia, kita memakai azithromycin, yang dikenal selama ini sebagai antibiotik. Khusus (penanganan) COVID-19, azithromycin bukan sebagai antibiotik, melainkan anti inflamasi dan imunomodulator," kata Erlina saat temu media FKUI Peduli COVID-19, Jumat (4/6/2021).
"Kita tahu COVID-19 sangat berkembang, obat juga diteliti. Memang kita para peneliti ilmuwan dan para klinisi mencoba obat-obat yang diperkirakan secara empirik akan sangat membantu (penanganan COVID-19), di antaranya obat adalah azithromycin. Pemberian ini yang ulangi lagi bukan sebagai antibiotik, tapi sebagai anti inflamasi dan imunomodulator."
Di sisi lain, Erlina menekankan, pemberian obat antibiotik pada pasien COVID-19 memang tidak tepat. Ini karena COVID-19 disebabkan oleh virus--virus Sars-CoV-2.
"Tentu saja penjelasannya cukup gamblang ya karena COVID-19 ini disebabkan oleh virus , sehingga memang tidak membutuhkan antibiotik. Antibiotik untuk mematikan bakteri, bukan virus. Jadi, tidak tepat kalau memberikan antibiotik untuk penyakit COVID-19," lanjutnya.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Penggunaan Antibiotik Harus Hati-hati
Dalam buku pedoman dari 5 organisasi profesi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif) termaktub penggunaan antibiotik.
"Ini termasuk level penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19. Dengan catatan, (penggunaan antibiotik) kalau ada infeksi bakteri sekunder. Jadi, harus berhati-hati (soal antibiotik)," lanjut Erlina Burhan yang berpraktik di RSUP Persahabatan, Jakarta.
"Kami segera merevisi pedoman ini supaya tidak terjadi over use (penggunaan berlebih) antibiotik, yang selanjutnya bisa terjadi resisten antibiotik. Kita khawatir tentang antimicrobial resistance (resistensi antimikroba). Ini menjadi concern (fokus) WHO juga."
WHO Assistant Director General on Antimicrobial Resistance (AMR) Hanan Balkhyo menjelaskan, banyak kesalahpahaman atau penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Semakin banyak bakteri terpapar antibiotik melalui perawatan yang tidak perlu, mereka akan mengembangkan resistensi.
"Dan dengan COVID, ada peningkatan yang sangat besar dalam jumlah pasien dengan penyakit pernapasan, yang mana pasien mungkin merasakan dorongan untuk minum antibiotik, padahal kenyataannya COVID-19 bukan bakteri, itu virus," jelasnya dalam dialog WHO pada November 2020.
"Penggunaan antibiotik ini tidak akan mengobatinya, tetapi justru akan menimbulkan resistensi di antara bakteri yang sudah ada di dalam tubuh kita. Jadi, ini skenario yang sangat kompleks. Intinya adalah antibiotik tidak boleh diresepkan, kecuali ada indikasi medis yang jelas."
Lebih lanjut, kata Hanan, kita tidak perlu memberikan antibiotik kepada pasien COVID-19 yang diisolasi di rumah, karena mereka memiliki gejala ringan. Pasien hanya menerima antibiotik jika mereka sakit parah, yang mana penyedia layanan kesehatan mencurigai–selain COVID-19–pasien mengalami infeksi bakteri.
"Dan, ini perlu dilakukan dengan resep dari penyedia layanan kesehatan," lanjutnya.
Advertisement