Kasus COVID-19 Indonesia yang Rendah Tak Bisa Serta-Merta Dibandingkan dengan Negara Lain

Kasus COVID-19 di Indonesia lebih rendah ketimbang negara lain. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 15 Jun 2022, 22:51 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2022, 17:30 WIB
Tes Swab Massal untuk Melacak Covid-19 di Depok
Seorang perempuan mengikuti tes swab PCR massal di Kantor Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Selasa (5/1/2021). Puskesmas Pancoran Mas melakukan tes Swab PCR kepada warga yang pernah memiliki riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Kasus COVID-19 di Indonesia lebih rendah ketimbang negara lain. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Menurutnya, berdasarkan evaluasi dalam ratas, kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia secara keseluruhan masih dalam tahap yang baik. Ini bila dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lain.

"Jadi kalau kasus kita sekitar 574 harian. Kalau kita lihat Australia bisa 16 ribuan, India 8.530 Singapura 3.100, Thailand 2.404 bahkan Malaysia 1.700," jelas Menko Airlangga saat konferensi pers bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Senin (13/6/2022).

Menanggapi hal ini, ahli epidemiologi Dicky Budiman mengatakan, jika ingin membandingkan data atau indikator antar negara maka yang dilihat bukan hanya angka absolutnya. Namun, juga perlu dilihat dari sistem kesehatan, kualitas, kekuatan manajemen data, dan kapasitas testing serta tracing-nya

“Jadi tidak bisa misalnya angka kasus kita dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika karena ini tidak apple to apple,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com Senin (13/6/2022).

Dicky juga mengatakan bahwa strategi testing di Indonesia terbilang pasif, artinya mayoritas masyarakat tidak akan terdeteksi.

“Strategi testing kita (Indonesia) kan pasif jadi ya mayoritas memang tidak akan terdeteksi memang. Jadi tidak bisa dibandingkan langsung. Tidak bisa langsung disimpulkan seperti itu.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Beda Kondisi Demografinya

FOTO: [FEATURE] Pandemi dan Tradisi Sambut Lebaran
Sejumlah orang mengenakan masker untuk mengantisipasi terpapar virus corona COVID-19 di Pasar Geylang Serai, Singapura, Kamis (21/5/2020). Hari Raya Idul Fitri tahun ini akan dirayakan di tengah pandemi virus corona COVID-19. (Roslan RAHMAN/AFP)

Ia tidak memungkiri, kondisi Indonesia memang lebih baik ketimbang dua tahun terakhir. Namun, kondisi modal imunitas dan kondisi demografi setiap negara berbeda.

“Singapura lansianya lebih banyak secara proporsi dia 11 persen kurang lebih dari total populasi dan tinggal di wilayah yang risikonya tinggi. Kita, kurang lebih di 9 persenan (populasi lansianya) dan geografisnya luas.”

Sebelumnya, Dicky menyampaikan memasuki tahun ke-3 ada berbagai hal yang perlu dipahami terkait pandemi COVID-19.

“Memasuki tahun ke-3 ini kita harus memahami perubahan baik dari sisi situasi global, dari sisi modal imunitas, dari sisi karakter virus itu sendiri dan strain yang ada, juga perubahan dari sisi kebijakan intervensi kesehatan,” kata Dickyi.

Semua hal itu saling terkait dan memiliki dampak. Di tahun ke-3 ini akan sangat logis dan wajar jika kasus meningkat tinggi. Pasalnya, COVID-19 varian Omicron dan turunannya memiliki angka reproduksi mendekati 10 yang artinya sangat tinggi.

Bisa Bersirkulasi di Antara Siapapun

Vaksinasi Booster Lansia di GOR Ciracas
Petugas medis menyuntikkan vaksin kepada warga di Gor Ciracas, Jakarta, Sabtu (19/3/2022). Vaksin booster diberikan kepada warga lanjut usia dan masyarakat berisiko tinggi tertular Covid-19. (merdeka.com/Imam Buhori)

Dengan angka reproduksi tersebut, maka besar kemungkinan Omicron bersirkulasi bukan hanya di antara orang yang belum divaksinasi. Bukan hanya di antara orang yang sudah vaksinasi dosis satu atau pernah kena infeksi.

“Tapi juga bisa menginfeksi beberapa orang yang sudah vaksinasi tiga dosis.”

Namun jika sudah memiliki imun yang memadai, maka infeksi umumnya tidak menimbulkan gejala. Jika pun ada, maka gejalanya ringan. Meski begitu, penularan tetap terjadi.

“Makanya, kita melihat khususnya di negara-negara maju yang cakupan tesnya masih cukup memadai seperti Amerika itu sehari bisa 200 ribu (kasus positif COVID-19). Bahkan, beberapa negara bisa lebih tinggi ketimbang saat Delta mendominasi.”

Dicky menyebut hal ini wajar lantaran sub varian Omicron memang sangat efektif. Ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang mulai abai, lebih longgar, bahkan pemerintah di berbagai negara sudah menerapkan pelonggaran.

“Kombinasi inilah yang menimbulkan adanya ekspektasi bahwa kita bisa menemukan atau akan menemukan banyak kasus.”

Yang Perlu Jadi Perhatian

FOTO: Perjuangan Paramedis Merawat Pasien COVID-19 di RSUD Kota Bogor
Paramedis merawat pasien COVID-19 di Ruang ICU RSUD Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (18/6/2021). Tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) RSUD Kota Bogor saat ini mencapai 73 persen. (merdeka.com/Arie Basuki)

Namun dalam konteks saat ini, tentunya semua pihak tidak hanya perlu fokus pada indikator kasus infeksi. Dicky menyebut bahwa indikator kasus infeksi bukan prioritas. Memang kejadian infeksi sulit dihindari, tapi mayoritas masyarakat sudah divaksinasi. Makanya mayoritas pasien tidak bergejala sehingga beban ke fasilitas kesehatan menurun.

“Nah indikator yang harus menjadi perhatian saat ini adalah di rumah sakit. Berapa orang yang masuk rumah sakit dengan gejala parah. Kemudian dalam konteks Indonesia juga kunjungan rumah, memastikan tidak ada yang sakit dengan gejala parah dan tidak dirujuk ke rumah sakit.”

Indikator ini selanjutnya akan berkontribusi pada kasus kematian. Selain itu, Indonesia juga harus menjaga kualitas dan kuantitas di surveilans genomik untuk melihat karakter virus.

Pernyataan Dicky senada dengan kejadian di lapangan khususnya di Indonesia. Di mana Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito melaporkan bahwa kasus COVID-19 di Tanah Air memang mengalami peningkatan.

“Perlu jadi perhatian bahwa terjadi kenaikan pada tren kasus positif (COVID) selama tiga minggu terakhir dan kasus aktif selama empat hari terakhir,” ujar Wiku dalam konferensi pers yang tayang di saluran YouTube Sekretariat Presiden Rabu (8/6/2022).

Ia menambahkan, jika dilihat dari grafik kasus positif mingguan terjadi kenaikan 571 atau 31 persen dari kasus tanggal 22 Mei 2022. Yakni dari 1.814 menjadi 2.385 kasus mingguan.

Kemudian pada kasus aktif harian, terjadi kenaikan 328 atau 10 persen dari kasus aktif tanggal 2 Juni 2022. Yakni 3.105 menjadi 3.433 kasus aktif harian.

“Hal ini penting untuk diwaspadai mengingat selama tiga bulan berturut-turut sejak gelombang Omicron kita berhasil mempertahankan kasus agar tetap stabil. Kabar baiknya, kenaikan kasus ini tidak diikuti kenaikan pada tren BOR rumah sakit, isolasi harian, maupun tren kematian mingguan.”

Infografis 3 Kombinasi Vaksin Booster Covid-19 Januari 2022
Infografis 3 Kombinasi Vaksin Booster Covid-19 Januari 2022 (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya