Liputan6.com, Jakarta - Mengejar penurunan prevalensi stunting hingga 14% dalam dua setengah tahun ke depan, bukanlah perkara mudah. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting Indonesia sebesar 24,4%, turun 6,4% dari 30,8% pada 2018. Angka tersebut masih harus ditekan hingga 10,4% lagi agar bisa mencapai target percepatan penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024, sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden No 72 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Selain stunting, SSGI juga mencatat, anak dengan kondisi berat badan kurang (underweight) sebesar 17% dan anak yang terkategori berbadan kurus (wasting) sebesar 7,1%. Kondisi-kondisi ini menyebabkan beban ganda persoalan gizi pada anak di Indonesia. Hadirnya pandemi turut menambah berat beban tersebut bersamaan perubahaan kondisi sosial ekonomi, kesehatan, dan pola makan keluarga pada khususnya.
Baca Juga
Kendati demikian, target penurunan stunting sebesar 14% pada 2024 tersebut harus tercapai. Betapa pentingnya membawa Indonesia keluar dari jebakan gizi buruk dan gizi kurang ini untuk menghadirkan generasi maju Indonesia. Sungguh penuh tantangan, sehingga butuh intervensi dan kolaborasi berbagai pihak agar dapat mencapai harapan tersebut.
Advertisement
Masalah yang Kompleks
Stunting tidaklah berdiri sendiri. Penyimpangan pertumbuhan seorang anak sesuai tahapan ideal pada masa kritis bergantung dari berbagai aspek. Faktor risiko yang dapat menyebabkan stunting antara lain, status gizi ibu, status kesehatan ibu seperti karena mengalami anemia atau kurang darah selama kehamilan, praktik menyusui atau ASI tidak eksklusif selama enam bulan, praktik pemberian makan pendamping (MPASI) yang tidak tepat, paparan infeksi, kelahiran prematur, tinggi badan orang tua yang pendek.
Faktor risiko lainnya adalah status sosial ekonomi rumah tangga, sistem pangan, perawatan kesehatan, infrastruktur air dan sanitasi, dan kemauan politis.
Lingkungan terdekat anak juga menjadi faktor yang turut memberi pengaruh besar pada persoalan stunting di Indonesia. Anak-anak yang lahir dari lingkungan rumah dengan perawatan yang buruk, sanitasi dan persediaan air yang tidak memadai, kerawanan pangan, alokasi pangan dalam rumah yang tidak tepat, dan pendidikan pengasuhan anak yang rendah sangat berpotensi kuat mengalami masalah stunting.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akibat dari stunting
Permasalahan anak dengan gizi buruk dan stunting merupakan problematika masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling tumpang tindih. Hal tersebut sulit untuk diputus mata rantainya, kecuali kalau dilakukan pendekatan yang terpadu, melibatkan semua elemen dan pemangku kepentingan (pentahelix approach) yaitu pemerintah pusat dan daerah, akademisi atau perguruan tinggi, sektor swasta, masyarakat atau kelompok komunitas, serta media.
Karena bisa dibayangkan, akibat dari hadirnya generasi stunting berkolerasi langsung dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pertumbuhan ekonomi bangsa. Stunting menyebabkan pertumbuhan kognitif terhambat. Sementara, kognitif menjadi salah satu unsur penting dan penentu kualifikasi manusia dan kualitas SDM bangsa.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mensinyalir, 400.000 kelahiran bayi per tahun berpotensi stunting. Angka tersebut diperoleh dari rata-rata pernikahan yang terjadi di Indonesia mencapai 2 juta per tahun. Dari 2 juta tersebut, 1,6 juta pasangan melahirkan anak di tahun pertama. Dan dari 1,6 juta kelahiran di tahun pertama, jika angka stunting 24,40%, maka sekitar 400.000 kelahiran bayi adalah generasi stunting.
Sementara, dalam hitung-hitungan ekonomi, potensi kerugian ekonomi dari permasalahan gagal tumbuh ini diperkirakan mencapai 2 – 3% PDB per tahun. BPS 2021 menyatakan PDB Indonesia sekitar Rp16.970 triliun dan PDB 2020 sekitar Rp15 triliun. Jika dikaitkan dengan potensi kehilangan ekonomi karena faktor gagal tumbuh tersebut, Indonesia mengalami kerugian ekonomi rata-rata Rp450 triliun – Rp509 triliun per tahun.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Peran Industri
Salah satu pendekatan penyelesaian dari sekian banyak pendekatan yang harus dilakukan secara bersamaan adalah pemberian nutrisi ibu dan anak yang seimbang di 1000 Hari Pertama Kehidupan. Bahkan, memastikan nutrisi ibu yang cukup sebelum pembuahan juga penting.
Ibu hamil dan menyusui membutuhkan nutrisi yang lebih tinggi daripada ibu normal. Kebutuhan energi ibu hamil sekitar 13% lebih tinggi dan selama masa menyusui sekitar 25% lebih tinggi. Sementara itu, kebutuhan protein 54% lebih tinggi selama kedua periode tersebut. Untuk beberapa mikronutrisi, peningkatan asupan yang dianjurkan adalah 50% untuk folat dan zat besi selama masa kehamilan, dan untuk vitamin A, C, B6, yodium, seng selama masa menyusui.
Sementara, anak dengan usia di bawah 2 (dua) tahun dan berisiko mengalami stunting membutuhkan dukungan asupan gizi yang memadai untuk mengejar grafik pertumbuhan ideal, tinggi dan berat badannya sesuai dengan usianya.
Dalam kondisi ketika pangan lokal sehari-hari tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mengejar ketertinggalan tersebut, industri hadir melalui Pangan Olahan Untuk Kondisi Medis Khusus (PKMK) untuk membantu keluarga dalam mengentaskan masalah stunting yang dihadapi anak. PKMK tersebut sudah didesain secara khusus terutama terkait kandungan gizi untuk anak-anak dengan kondisi tertentu, seperti untuk anak dengan indikasi gagal tumbuh (growth faltering).
Hal ini diperkuat dengan aturan mengenai PKMK sejatinya telah tertuang melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 29/2019 dalam rangka mengatasi masalah pada anak dengan gizi kurang/gizi buruk. Jika tidak diintervensi, kondisi tersebut akan berakibat menambah jumlah anak stunting. Dalam hal ini, peran industri menjadi penting untuk memberikan produk solusi yang aman dan mudah dijangkau sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Idealnya PKMK hadir dari sebuah sistem rujukan berjenjang atas ditemukannya gangguan pertumbuhan. Pertama-tama, tinggi badan (TB), berat badan (BB) diukur dan diplot pada grafik pertumbuhan sesuai usia anak yang dapat dilakukan di Posyandu oleh Bidan Desa dan Kader Kesehatan. Apabila ditemukan ketidaksesuaian dari grafik pertumbuhan, langkah berikut adalah anak akan dirujuk ke Puskesmas untuk penentuan status gizi oleh Dokter Umum, Bidan Desa, dan Tenaga Gizi. Hasilnya adalah evaluasi penyebab stunting, diagnosis penyakit penyerta, dan apabila diperlukan, pasien akan disertai dengan preskripsi PKMK oleh Dokter Spesialis Anak.
Peran industri dalam penanganan stunting
Peran industri lainnya yang tidak kalah penting adalah edukasi terus menerus kepada masyarakat, kolaborasi pentahelix dengan berbagai pemangku kepentingan, dan penguatan kapasitas tenaga kesehatan. Hal ini dilakukan oleh pelaku industri melalui inisiatif, seperti webinar, pelatihan atau workshop, pemberdayaan dan penyuluhan, dengan melibatkan para pakar kesehatan, tenaga kesehatan masyarakat, dan masyarakat sendiri.
Sebagai contoh, beberapa insiatif dari pelaku industri nutrisi dan makanan seperti yang dilakukan Danone Indonesia melalui berbagai program pencegahan dan penanganan stunting di Indonesia melalui program ‘Bersama Cegah Stunting’. Program ini merupakan inisiatif berkelanjutan gerakan yang mengintegrasikan program intervensi spesifik dan sensitif yang terkait dengan penanggulangan stunting. Gerakan ini diinisiasi sejak tahun 2003, berkolaborasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Hingga saat ini Danone Indonesia terus melangsungkan inisiatif ini secara berkelanjutan, dengan lebih dari 1 juta penerima manfaat.
Selain itu, program screening dan intervensi Nutrisi komunitas yang didukung Danone Indonesia, bekerja sama dengan Kemenkes RI dan organisasi profesi juga dilakukan di 13 Kabupaten di Indonesia yang memiliki prevalensi stunting tinggi, dengan target meningkatkan kapasitas kader posyandu dan tenaga kesehatan melalui pelatihan penanganan kasus stunting. Sementara itu, Danone Indonesia juga melakukan intervensi untuk peningkatan akses air bersih dan sanitasi layak bagi masyarakat kurang mampu.
Sebagai bentuk kolaborasi pentahelix yang dilakukan untuk mengedukasi masyarakat tentang pencegahan stunting, Danone Indonesia juga berkolaborasi dengan pemerintah dan akademisi. Dalam hal ini, kolaborasi dengan pemerintah dilakukan dengan meluncurkan Iklan Layanan Masyarakat ‘Cegah Stunting itu Penting’ melalui enam pesan kunci yang bersifat edukatif. Kemudian, kolaborasi dengan Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (PKGM, FK-KMK, UGM) dengan meluncurkan “Buku Seri Cegah Stunting” yang menekankan pada pentingnya peran keluarga dan komunitas hingga makanan pendamping yang sesuai dengan fase pertumbuhan anak.
Diharapkan berbagai inisatif positif tersebut juga dapat menginspirasi pemangku kepentingan dan pelaku industri yang lebih luas untuk tetap aktif melakukan kemitraan yang strategis dan sinergis untuk mendukung Program Percepatan Penurunan Stunting dan mendukung terciptanya anak generasi maju di Indonesia.
Intervensi seperti ini tidak hanya sekedar mengejar pertumbuhan fisik anak dalam jangka waktu pendek, tetapi juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk memitigasi stunting dan mengatasi gejala sisa jangka panjang terkait sumber daya manusia.
Sekali lagi, bukan hanya industri, tetapi mengatasi stunting butuh paket lengkap lintas sektoral, melibatkan semua pemangku kepentingan secara serentak pada fase hulu dan hilir, terutama di masa 1000 Hari Pertama Kehidupan. Kita Bisa, Indonesia Bisa untuk wujudkan generasi maju Indonesia!
*) Penulis adalah Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi MKK. Beliau kini menjabat sebagai Medical and Scientific Affairs Director, Danone Indonesia, Medical Affairs Lead of APPNIA (Association of Company of Nutritional Products for Mothers and Children) dan Pendiri Health Collaborative Center Breastfeeding.
Advertisement