Liputan6.com, Jakarta - Setelah lebih dari dua tahun pandemi COVID-19 hadir di muka bumi, kini ada secercah harap dunia akan segera terbebas dari belenggunya. Pekan lalu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus optimistis, akhir pandemi telah di depan mata.
Ucapan Tedros itu didasari oleh data yang menunjukkan jumlah kematian akibat COVID-19 telah turun ke level terendah sejak Maret 2020.
Baca Juga
“Kita belum pernah berada pada posisi yang lebih baik untuk mengakhiri pandemi,” ujar Tedros kepada wartawan dalam konferensi pers mingguan WHO, Rabu, 14 September 2022.
Advertisement
“Kita belum sampai, tapi akhir (pandemi) sudah di depan mata,” imbuhnya.
Meski demikian, Tedros mengingatkan agar dunia perlu meningkatkan upaya untuk merebut kesempatan ini. Tedros bahkan mengibaratkan respons terhadap pandemi tak ubahnya upaya pelari marathon mencapai garis finish.
“Seorang pelari marathon tidak berhenti ketika garis finish sudah terlihat. Dia berlari lebih keras, dengan semua energi yang tersisa. Jadi kita harus seperti itu. Kita bisa melihat garis finish. Kita berada dalam posisi menang. Tapi sekarang adalah waktu terburuk untuk berhenti berlari,” tegasnya.
“Jika kita tidak mengambil kesempatan ini sekarang, kita berisiko melihat lebih banyak varian, kematian, gangguan dan ketidakpastian.”
Menurut laporan terbaru epidemiologi WHO terkait COVID-19, jumlah kasus yang dilaporkan turun 28 persen menjadi 3,1 juta pada pekan yang berakhir pada 11 September lalu, menyusul penurunan 12 persen sepekan sebelumnya.
Pada 11 September 2022, WHO mencatat lebih dari 605 juta kasus yang dikonfirmasi dan 6,4 juta lebiih kematian telah dilaporkan secara global. Di tingkat regional, jumlah kasus COVID-19 mingguan yang baru dilaporkan menurun di keenam wilayah WHO, antara lain:
- Wilayah Pasifik Barat (menurun 36 persen)
- Wilayah Afrika (menurun 33 persen)
- Wilayah Amerika (menurun 27 persen)
- Wilayah Asia Tenggara (menurun 20 persen)
- Wilayah Mediterania Timur (menurun 19 persen)
- Wilayah Eropa (menurun 15 persen)
Untuk jumlah kematian akibat COVID-19 mingguan menurun di lima dari enam wilayah, yakni:
- Wilayah Eropa (menurun 31 persen)
- Wilayah Asia Tenggara (menurun 25 persen)
- Wilayah Amerika (menurun 22 persen)
- Wilayah Pasifik Barat (menurun 11 persen)
- Wilayah Mediterania Timur (menurun 10 persen)
- Sementara itu meningkat di Wilayah Afrika (bertambah 10 persen)
Di Tanah Air, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengakui pernyataan WHO mengenai akhir pandemi telah di depan mata itu menjadi angin segar. Namun, sebagai catatan, pandemi COVID-19 belum berarti selesai.
"Ini angin segar yang diumumkan Dirjen WHO. Artinya, beliau memberikan penghargaan terima kasih kepada seluruh negara dengan upaya bersama, angka-angka parameter (COVID-19) terkendali di hampir banyak negara," pungkasnya saat konferensi pers yang disiarkan dari Gedung Kemenkes RI Jakarta.
"Sehingga disebutkan sebagai suatu 'tanda-tanda pandemi berakhir, akhir pandemi di depan mata. Tetapi beliau pun mengingatkan, semua ini bukan berarti kita sudah selesai pandeminya."
Jumlah Kasus COVID-19 Bersifat Menipu
Menyoal laporan epidemiologi WHO terbaru terkait jumlah kasus COVID-19 dunia yang menunjukkan penurunan dalam beberapa pekan terakhir, badan PBB itu telah memperingatkan bahwa anjloknya jumlah kasus itu bersifat seolah menipu. Ini karena banyak negara telah mengurangi tes COVID-19 dan mungkin tidak mendeteksi kasus-kasus yang tidak parah.
“Jumlah kasus yang dilaporkan kepada WHO, kita tahu itu di bawah jumlah sebenarnya,” kata Ketua Teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove, kepada wartawan.
“Kami rasa lebih banyak kasus yang sebenarnya beredar daripada yang dilaporkan kepada kami,” ujarnya, memperingatkan bahwa virus itu “beredar pada tingkat yang sangat intens saat ini.”
Sejak awal pandemi, WHO telah mencatat lebih dari 605 juta kasus infeksi, dan sekitar 6,4 juta kasus kematian, meskipun kedua angka tersebut juga diyakini di bawah jumlah kasus sebenarnya.
Maria Van Kerkhove juga menyinggung mengenai kemungkinan adanya infeksi baru yang mirip dengan COVID-19 dan dengan pola yang sama di masa depan. Maka dari itu, Van Kerkhove mengingatkan agar kita masih perlu berhati-hati dan mempersiapkan diri.
"Kami memperkirakan akan ada gelombang infeksi di masa depan, di waktu yang berbeda di seluruh dunia, yang disebabkan oleh subvarian Omicron yang berbeda atau bahkan varian yang berbeda-beda yang menjadi perhatian," kata Maria.
Gelombang infeksi di masa depan itu "tidak perlu diterjemahkan ke dalam gelombang kematian di masa depan, karena kami memiliki alat yang dapat mencegah infeksi," katanya.
Bahkan ketika pandemi mereda, orang harus mempertahankan tingkat kewaspadaan yang tinggi, kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO.
Dunia sedang memerangi "virus yang sangat mudah berubah yang telah menunjukkan kepada kita, berkali-kali dalam dua setengah tahun, bagaimana virus itu dapat berkembang dan bagaimana virus itu dapat berubah," kata Ryan.
Advertisement
Tren COVID-19 di Tanah Air
Ketua Satgas COVID-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) dr Erlina Burhan mengatakan, Indonesia secara statistik menjadi salah satu negara yang dinilai baik dalam pengendalian pandemi.
"Menurut statistik, suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, bahwa Indonesia salah satu negara yang baik pengendaliannya, karena terbukti angka kasus berada di kelompok yang terkontrol dibandingkan negara lain. Indonesia ada di jalur yang tepat," ujar Erlina dalam Talkshow: Mengapa Booster Masih Diperlukan? yang disiarkan daring dari Kanal Youtube BNPB, Senin, 19 September 2022.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun menunjukkan, tren COVID-19 di Indonesia sudah melandai. Terjadi penurunan kasus konfirmasi positif, kasus aktif hingga perawatan pasien COVID-19.
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan, penurunan kasus COVID-19 nasional terlihat jelas dalam tiga bulan terakhir, yakni Juli, Agustus, dan September 2022. Walaupun begitu, tetap ada kenaikan kasus selepas Lebaran 2022 meski tidak terjadi ledakan seperti tahun sebelumnya.
"Tren kasus konfirmasi dan kasus aktif nasional kita bisa bandingkan di awal tahun 2021 sampai dengan sekarang ini. Betul-betul tren kasus konfirmasi maupun kasus aktif nasional sudah melandai di bulan September ini ya," papar Syahril saat Press Conference: Perkembangan Kasus COVID-19, Hepatitis Akut dan Cacar Monyet yang disiarkan dari Gedung Kemenkes RI Jakarta.
"Kalau kita lihat juga pada tahun 2020 ya terjadi lonjakan, pada saat itu di Idul Fitri dan Nataru (Natal dan Tahun Baru), data kasus aktif tahun 2021 terjadi ledakan. Alhamdulillah di bulan Juli, Agustus, September (tahun) ini sudah terjadi penurunan, sudah melandai juga kasus hariannya."
Berdasarkan Laporan Harian COVID-19 Kemenkes per 17 September 2022, terlihat penurunan kasus COVID-19 dalam dua minggu terakhir. Penurunan kasus terjadi di sejumlah aspek, antara lain:
- Kasus konfirmasi positif turun 3.815 menjadi 2.367
- Kasus aktif turun dari dari 44.568 menjadi 30.525
- Pasien dirawat turun dari 3.898 menjadi 3.341
- Kapasitas tempat tidur (Bed Occupancy Rate/BOR) turun dari 6,10 persen menjadi 5,34 persen
- Positivity rate turun dari 10,28 persen menjadi 8,00 persen
Meski situasi COVID-19 nasional kian melandai, Syahril menekankan bahwa cakupan vaksinasi dosis 3 atau booster harus terus dikejar.
Indikator Pandemi Akan Berakhir
Adapun, pendapat WHO bahwa akhir pandemi telah di depan mata dimaknai sebagai prediksi oleh Ketua Satgas COVID-19 IDI. Menurut Erlina, ada sejumlah upaya yang harus dilakukan agar Indonesia bisa mencapai akhir pandemi.
"Saya katakan prediksi. Sesuai dengan prediksi WHO ini, kita harus upayakan jangan banyak kasusnya, angka kematiannya turun dan flat, kemudian juga cakupan vaksinasi yang tinggi dalam upaya kasusnya semakin turun. Jadi kalau ini bisa kita lakukan, mudah-mudahan Indonesia bisa ke arah situ," kata Erlina.
Tanda-tanda akan berakhirnya pandemi bisa dicermati lewat beberapa indikator. Salah satunya, menurutnya adalah angka kasus yang terus menurun di berbagai negara.
"Kurva penurunan harus flat, jangan bergelombang lagi. Itu dari segi kasusnya," ujar dokter di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI ini.
Selain itu, angka kematian akibat COVID-19 di seluruh dunia juga perlu ditekan hingga angka terendah. Menurut Erlina, terpenting adalah masyarakat punya kekebalan yang cukup jika terinfeksi virus. Kekebalan itu didapat dari vaksinasi.
Target menuju endemi, kata Erlina, di antaranya penularan yang menurun, angka kematian dan konfirmasi kasus yang rendah, serta cakupan vaksinasi tinggi.
Erlina mengatakan, kasus di Tanah Air sudah turun drastis dibandingkan pada saat gelombang Delta pada Juli 2021. Kala itu, kematian tertinggi berkisar di angka 2.000 jiwa per hari.
"Pada saat varian Omicron yang sekarang kebetulan gejalanya ringan dan tingkat keparahan tidak seberat Delta. Angka kematiannya tidak seberat dulu. Bahkan, sekarang kian menurun, kira-kira 20-an orang sehari," ucapnya.
WHO mengeluarkan enam kebijakan untuk mengakhiri pandemi COVID-19. Keenam kebijakan tersebut diharapkan terus diperkuat dan dipertahankan di tiap negara di dunia demi menuju akhir pandemi.
Keenam kebijakan akhiri pandemi COVID-19 yang dimaksud WHO, antara lain, vaksinasi, melakukan testing dan sekuensing, memastikan sistem kesehatan untuk pelayanan COVID-19, mempersiapkan lonjakan kasus, melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian, serta menyampaikan informasi terkait COVID-19 kepada masyarakat.
Di Indonesia, Pemerintah masih terus mengejar cakupan vaksinasi COVID-19. Testing dan pemeriksaan genom sekuensing juga butuh diperkuat untuk mendeteksi varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang berpeluang kembali muncul.
"Kalau dari enam poin WHO, maka selain vaksinasi, kita harus tetap menjaga jumlah testing yang memadai. Ini untuk mengetahui seberapa besar angka sebenarnya kasus yang ada," terang Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Senin, 19 September 2022.
"Tentu juga perlu Whole Genome Sequencing (WGS) untuk antisipasi kalau-kalau ada strain atau varian baru."
Advertisement
Kepala Negara Dunia Perlu Kompak
Lantas, apakah sinyal pencabutan status COVID-19 oleh WHO kemungkinan akan terjadi akhir tahun 2022? Menurut Tjandra, pencabutan status 'pandemi' diharapkan terjadi dalam waktu dekat.
Meski begitu, perkembangan kasus COVID-19 global perlu diperhatikan bersama. Sebab, situasi COVID-19 setiap negara berbeda-beda, bahkan kebijakan pengendalian COVID-19 yang juga berbeda. Hal ini pun akan berpengaruh terhadap situasi COVID-19 global.
"Yang jelas harapannya dalam hitungan beberapa bulan ke depan, akan tergantung dari tiga hal. Pertama, kurva epidemiologi yang akan ada. Kedua, cakupan vaksinasi COVID-19," ujar Tjandra Yoga.
"Ketiga, upaya pengendalian penularan, baik pencegahan, deteksi dan penanganan kasus serta identifikasi kontak (kontak erat)."
Walaupun pencabutan status 'pandemi COVID-19' merupakan kewenangan WHO, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin berpendapat, para pemimpin dunia perlu kompak untuk menyatakan 'pandemi selesai'. Apalagi pandemi bersifat global, bukan hanya satu negara yang mendeklarasikan bebas pandemi.
"Pandemi ini karena sifatnya dunia, jadi memang harus kompak seluruh pemimpin dunia bilang selesai," terang Budi Gunadi saat konferensi pers 'COMSTECH-OIC Fellowship Program dan Peresmian Laboratorium Jejaring OIC Center of Excellence (CoE) on Vaccines and Biotechnology Products' di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jakarta pada Kamis, 15 September 2022.
Salah satu kepala negara yang sudah mulai menyatakan pandemi berakhir adalah Presiden AS Joe Biden. Dia menyatakan keyakinannya bahwa pandemi COVID-19 sudah berakhir dalam penampilan di "60 Minutes" CBS. Meski demikian Biden mengakui AS masih memiliki masalah dengan virus yang telah menewaskan lebih dari 1 juta orang di Amerika Serikat.
“Pandemi sudah berakhir. Kami masih memiliki masalah dengan COVID. Kami masih melakukan banyak pekerjaan untuk itu. Tetapi pandemi sudah berakhir,” kata Biden.
Pemerintah AS masih menetapkan COVID-19 sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat dan Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan itu tetap menjadi Darurat Kesehatan Masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
Tetapi komentar Presiden Joe Biden mengikuti komentar penuh harapan lainnya dari para pemimpin kesehatan global.
Menilik Indonesia, Budi Gunadi berharap kondisi pandemi Tanah Air semakin membaik meski ada penambahan kasus baru setiap harinya.
"Posisi Indonesia sekarang relatif lebih baik. Mudah-mudahan kita terus di kelompok yang lebih baik."