Liputan6.com, Jakarta Dokter dan dokter gigi yaitu tenaga medis dan tenaga kesehatan (nakes) yaitu para perawat, bidan, apoteker dan mereka yang mengabdikan dirinya di bidang kesehatan untuk menolong nyawa manusia kini sedang dilanda kegelisahan. Mereka merasa tidak mendapat pelindungan dan kepastian hukum dengan adanya RUU Omnibuslaw Kesehatan yang diajukan DPR pada bulan April 2023 yang lalu.
Hakikat permasalahan adalah kebijakan DPR dan Pemerintah sebagai regulator selama ini terganggu oleh terlalu besarnya kewenangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam mengatur dunia kedokteran Indonesia. Di lain pihak, para fungsionaris IDI enggan untuk tunduk pada kebebasan berserikat sesuai amanat konstitusi, sehingga ingin mempertahankan status quo sebagai organisasi dokter satu-satunya di Indonesia.
Baca Juga
Alasan-alasan yang lain merupakan masalah hilir dari kedua masalah kronis tersebut yang jika tidak kunjung terselesaikan, akan menggelinding dan mengancam kemajuan ilmu kedokteran sekaligus pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
Advertisement
Bagi rakyat yang penting kesehatan mereka dapat lebih terlayani dengan baik, sesuai dengan kemajuan teknologi dunia yang serba internet dan berkecerdasan buatan ini.
Secara obyektif juga tidak adil jika mempidanakan seorang dokter yang karena tidak sengaja menyebabkan pasiennya celaka.
Obyek atau tujuan dokter adalah menolong setiap orang yang datang kepadanya, yang karenanya maka mengandung nilai etika yang luhur. Tidak layak jika disamakan dengan orang yang mengemudikan mobil yang secara tidak sengaja menyebabkan orang lain celaka karena tertabrak. Tujuan pengemudi tidak mengandung nilai apapun, kecuali nilai yang ada pada dirinya sendiri.
Â
Perihal Sanksi
Sanksi yang adil bagi kedua jenis ketidaksengajaan tersebut juga niscaya berbeda, yaitu ketidaksengajaan dokter sejatinya masuk dalam ranah perdata sedangkan kealpaan pengemudi tetap masuk ke dalam ranah pidana.
Bagi seorang dokter spesialis yang bersekolah mahal dengan susah payah selama lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan niat mengabdi, sanksi berupa pencabutan izin praktik oleh pemerintah merupakan lonceng kematian baginya secara perdata.
Sesuai dengan derajat kesalahannya maka pelarangan izin praktik untuk sesuatu jangka waktu tertentu, juga merupakan bentuk perlindungan dan kepastian hukum bagi para pasien. Sebaliknya, jika dokter harus bolak-balik dipanggil polisi atau jaksa karena tuduhan pidana malapraktik, berapa banyak orang menderita yang telah terbengkalai ketika pandemi COVID-19 melanda kita selama 3 (tiga) tahun terakhir.
Dengan pola pikir yang demikian, niscaya para pengemban fungsi Legislatif dan Eksekutif RI dapat merevisi RUU Omnibuslaw Kesehatan.
Revisi tersebut diharapkan dapat memacu para dokter dan tenaga kesehatan untuk berinovasi, sehingga mampu menandingi profesionalisme rekan-rekannya di negara-negara maju.
Sebaliknya, kekhawatiran para dokter dan tenaga kesehatan yang tergabung dalam 5 (lima) organisasi juga tidak perlu ditunjukkan, dengan rencana demonstrasi besar-besaran pada tanggal 5 Juni 2023 lusa. Aksi demikian hanya menunjukkan sikap non-intelektual, yang justru menimbulkan kerugian sosial di berbagai aspek.
Usulan Guru Besar STHM untuk terbitnya RUU Pengadilan Medis harus diapresiasi sebagai solusi intelektual yang memberlakukan azas penafsiran Lex Specialis derogat legi Generali, asalkan tetap memegang prinsip tidak menimbulkan malapetaka bagi kemanusiaan karena mempidanakan seorang dokter.
*Penulis yakni AM Hendropriyono merupakan Ketua Senat Dewan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM).Guru Besar (Emeritus) Universitas Pertahanan RI.Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Advertisement