Liputan6.com, Jakarta - Demam merupakan gejala yang pasti dialami saat sakit demam berdarah dengue (DBD), terutama pada anak.
Oleh sebab itu, penting bagi orangtua untuk memantau keadaan anak ketika sedang sakit demam.
Advertisement
Baca Juga
Dokter spesialis anak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Mulya Rahma Karyanti mengungkap tiga hal yang harus dipantau orangtua saat anak demam.
Advertisement
“Sebenarnya, ada tiga hal penting. Supaya mudah ingatnya, tiga hal ini bisa disebut input, output, dan aktivitas,” tutur wanita yang akrab disapa Karyanti itu saat ditemui seusai acara konferensi pers ‘Peringatan ASEAN Dengue Day 2023’ oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI di kawasan Jakarta Selatan pada Senin, (12/6/2023).
1. Menjaga Asupan Cairan Anak
Karyanti menjelaskan, input artinya asupan cairan yang masuk ke tubuh anak ketika sedang demam.
“Untuk input, artinya anak bisa minum nggak? Asupan minumnya bagus atau nggak? Kalau dia bisa minum tapi tubuhnya tidak bisa menerima (cairan), dalam arti muntah-muntah terus, berarti cairan tidak bisa masuk,” ujarnya.
2. Memeriksa Perilaku Buang Air Kecil Anak
Lebih lanjut, hal kedua yang perlu dipantau orangtua adalah output, dalam arti perilaku buang air kecil anak.
“Kemudian ada output, yaitu buang air kecil. Biasanya, kami (dokter) tanya, kapan sih buang air kecil terakhir? Misal sudah lebih dari 4 jam, berarti ini sudah dehidrasi,” kata Karyanti.
Jarak Waktu Buang Air Kecil Normal pada Anak
Karyanti mengungkap, asupan cairan cukup pada anak dapat dilihat dari perilaku buang air kecilnya.
“Biasanya, buang air kecil itu tiap 4 jam sekali. Makanya, kalau untuk bayi yang pakai popok, itu juga harus diganti tiap 4 jam sekali,” ujarnya.
“Tujuannya, agar ibunya tahu ini kering atau tidak, jadi bisa tahu bayi dehidrasi atau tidak,” lanjut wanita lulusan Utrecht University, Belanda tersebut.
Perhatikan Aktivitas Anak
Selain asupan cairan, Karyanti juga menegaskan pentingnya orangtua memerhatikan aktivitas anak.
“Yang ketiga, lihat aktivitas anak, apakah aktif atau tidur terus. Kalau anaknya tidur terus, itu berarti dia mulai lemas,” terang Karyanti.
“Ini karena asupan cairan nggak masuk, muntah terus, buang air kecil juga jarang,” dia melanjutkan.
Tak hanya untuk bayi dan anak, Karyanti juga mengingatkan tanda bahaya demam pada usia remaja.
“Remaja juga perlu berhati-hati. Kadang memang tak ada muntah, tapi itu justru karena dia tidak mau minum,” katanya.
Advertisement
Waspada Tanda Bahaya DBD, Demam Tiba-tiba Tinggi
Lebih lanjut, Karyanti menerangkan, demam tinggi secara tiba-tiba merupakan gejala DBD.
Biasanya, demam pada anak DBD hanya berlangsung selama sekitar 7 hari, mengutip Karyanti.
“Biasanya penyakit dengue hanya 7 hari, namun terbagi ke dalam 3 fase. Hari pertama sampai ke-3 adalah fase demam di mana demamnya tinggi sekali,” tuturnya.
Sedangkan fase selanjutnya, yakni hari ke-3 sampai ke-6, disebut juga fase kritis.
“Fase kritis artinya ada kebocoran di pembuluh darah. Di sinilah terjadi pembuluh darah bocor, darah keluar, akhirnya membuat sirkulasi darah berkurang dan suhunya akan turun. Sirkulasi ke otak yang berkurang pun membuat anak tidur terus,” terang Karyanti.
Sementara itu, terjadi fase penyembuhan pada hari ke-6 sampai ke-7.
Orangtua Perlu Waspada Saat Fase Kritis
Tak hanya itu, Karyanti juga menegaskan bahwa banyak orangtua yang kerap salah persepsi. Hal ini tak lain ketika demam anak sudah membaik, tetapi diikuti oleh kecenderungan untuk tidur terus menerus.
Kondisi ini, mengutip Karyanti, sering dialami anak saat fase kritis yang dimulai pada hari ke-3 demam.
“Banyak orangtua yang suka salah persepsi ketika ditanya kabar anaknya. ‘Oh bagus, Dok, demamnya sudah turun, tapi tadi tidur terus, lalu muntah darah’. Wah, padahal kalau seperti itu sudah bahaya,” tuturnya.
Menurutnya, hal ini terutama ketika diikuti dengan nadi anak yang sulit teraba.
“Jika kita periksa nadinya susah teraba, tekanan darah tidak terukur, artinya dia sudah mengalami dengue shock syndrom,” jelas Karyanti.
Adapun dengue shock syndrom adalah kondisi dari demam berdarah yang sudah masuk kepada tahapan syok atau gawat, seperti melansir laman Kemenkes.
Advertisement