Liputan6.com, Jakarta - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menyoroti banyaknya informasi yang dianggap bullying dokter, tapi sebenarnya itu adalah bagian dari sistem pendidikan. Dalam hal ini, bagian dari pembelajaran bagi dokter koas, magang maupun residen.
Pernyataan Ari merespons soal kasus bullying pada dokter yang diungkapkan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin. Menkes Budi membeberkan aksi bullying atau perundungan yang dialami dokter, ada yang disuruh layaknya asisten rumah tangga sampai harus diminta merogoh kocek biaya untuk keperluan lain.
Baca Juga
“Terus terang saja, banyak informasi yang akhirnya beredar di tengah masyarakat yang dianggap itu bullying, tapi itu sebenarnya adalah bagian dari suatu sistem pendidikan,” terang Ari saat sesi ‘Media Group Interview mengenai Proses Etik Perundungan dalam Pendidikan Kedokteran’ ditulis Minggu (30/7/2023).
Advertisement
PPDS Harus Terpapar Keilmuan
Khusus di dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) atau yang dikenal dokter residen, lanjut Ari, seluruh peserta didik junior memang harus terpapar dengan keilmuan. Berbagai kegiatan dan kepanitiaan acara pun perlu diikuti.
“Kadang kita memang ngajak PPDS di dalam suatu kepanitiaan, misalnya untuk kepanitiaan ilmiah. Bukan semata-mata PPDS ‘dipekerjakan’ di situ, ya tidak lah. Justru PPDS yang baru ini harus terpapar dengan keilmuan,” katanya.
“Artinya, kita beri kesempatan PPDS junior meninggalkan pekerjaan, kemudian dia hadir di ruang kegiatan ilmiah. Maka, paling tidak, dia ada pembelajaran. Dia masih banyak belajar mengenai hal-hal yang didiskusikan tersebut.”
Dianggap Dipaksa Ikut Olahraga
Contoh lainnya yang terkadang orang luar tak paham, terang Ari Fahrial Syam, yakni dalam kegiatan olahraga. Olahraga ini penting bagi dokter demi menjaga kesehatan.
“Tapi di satu sisi juga justru mempercepat interaksi. Misalnya, di dalam suatu program studi (prodi) FKUI ini, yang melanjutkan pendidikan paling sekitar 20 persen, 30 persen, yang lain itu dari tempat macam-macam (kampus berbeda),” imbuhnya.
“Jadi kalau mereka tidak buat sarana, di mana mereka bisa berkumpul, berolahraga, tentu akan lama nanti mereka beradaptasi dengan teman-teman yang lain.”
Tidak Mentoleransi Bullying
Sayangnya, menurut Ari, bisa saja yang muncul adalah anggapan mereka ‘dipaksa’ untuk olahraga.
“Kadang-kadang di dalam praktik di lapangan, itu yang tidak dipahami. Ini yang perlu diketahui dan sekali lagi, terus terang saja kami tidak pernah mentoleransi tersebut,” pungkasnya.
“Kami tidak pernah mendiamkan hal tersebut dan kami punya aturan-aturan, langkah-langkah apa yang harus kami ambil ketika memang ditemukan adanya bullying di antara sesama peserta didik.”
Advertisement
Jam Jaga Dokter Junior Lebih Banyak
Ada pula persoalan jam jaga untuk dokter junior yang dianggap lebih banyak ketimbang seniornya.
Ari Fahrial Syam menjelaskan, peserta didik junior harus meningkatkan pembelajaran jumlah kasus di lapangan.
“Peserta didik PPDS junior harus meningkatkan jumlah kasus ya dan juga tentu harus banyak belajar, jam jaga akan lebih banyak dari seniornya,” jelasnya.
“Kalau orang awam nanya, kok ada perbedaan antara junior dengan senior? Kalau yang tidak mengerti dibilang dibully, tapi itu adalah proses di mana memang ketika dia baru masuk, dia akan banyak terpapar dengan kasus.”
Buat Laporan Operasi
Selain jam jaga, dokter junior juga ada yang bertugas membuat laporan hasil operasi.
“Misalnya, tugas yang PPDS junior untuk membuat laporan operasi. Kenapa kok juniornya, bukan seniornya? Agar junior itu di dalam membuat laporan operasi, dia mengetahui, apa yang telah dilakukan oleh seniornya,” ucap Ari.