Lee Sun Kyun Meninggal, Krisis Bunuh Diri di Korea Selatan Melesat

Bunuh diri di Korea Selatan seperti halnya aktor ternama Lee Sun Kyun sedang naik.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 27 Des 2023, 16:00 WIB
Diterbitkan 27 Des 2023, 16:00 WIB
Lee Sun Kyun. (Instagram/ hoduent)
Bunuh diri di Korea Selatan seperti halnya aktor ternama Lee Sun Kyun sedang naik. (Instagram/ hoduent)

Liputan6.com, Seoul - Industri film Korea Selatan sedang berduka usai aktor Lee Sun Kyun meninggal pada hari ini, Rabu (27/12/2023). Dalam pemberitaan yang beredar, aktor ternama Korea Selatan ini ditemukan tewas di dalam mobil yang diparkir di Distrik Seongbuk di pusat Kota Seoul.

Media setempat, Yonhap News Agency mengabarkan bahwa ditemukan briket arang di kursi penumpang. Polisi menemukan Lee Sun Kyun dalam keadaan tak bernyawa, bahkan diduga bunuh diri karena meninggalkan semacam surat wasiat.

Belajar dari kasus Lee Sun Kyun yang dikenal membintangi film Parasite, angka bunuh diri di Korea Selatan sedang naik. Dua puluh enam dari setiap 100.000 orang -- sekitar 13.300 orang Korea Selatan -- bunuh diri pada tahun 2021.

Melansir The Telegraph, Rabu (27/12/2023), angka tersebut meningkat 0,3 persen dari tahun sebelumnya, menurut data dari kantor statistik nasional pada September lalu.

Tingkat Kepuasaan Hidup Terendah

Pada Februari 2023, data menunjukkan bahwa Korea Selatan, meskipun masyarakatnya berteknologi maju, memiliki salah satu tingkat kepuasan hidup terendah di antara 38 anggota  Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) berada di peringkat ke-36.

Kesepian, meningkatnya utang rumah tangga, dan kurangnya waktu luang disebut-sebut sebagai faktor-faktor yang menurunkan "skor kebahagiaan" Korea Selatan menjadi 5,9, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 6,7.

Krisis Kesehatan Mental di Korea Selatan

Krisis kesehatan mental di Korea Selatan juga disebabkan oleh lingkungan dengan tekanan tinggi di sekolah dan tempat kerja. Ada yang pengangguran, kurangnya jaring pengaman sosial bagi para lansia, dan prevalensi nilai-nilai budaya yang menstigmatisasi kesehatan mental yang buruk.

Dr HeaKyung Kwon, psikoterapis Korea-Amerika yang berbasis di New York dan pendiri layanan konseling online mengatakan, depresi utamanya terjadi di kalangan anak muda dan orangtua yang tidak merasa diberdayakan.

"Terutama di kalangan anak muda, ada tekanan yang sangat besar untuk melakukan yang terbaik," katanya sembari melihat situasi persaingan ketat untuk masuk ke sejumlah kecil universitas elit di Korea Selatan dan investasi yang besar dari para orangtua dalam pendidikan mereka.

"Mereka mengatakan kepada anak-anak mereka, 'kami menghabiskan uang ini sehingga kamu harus menjadi ini', sehingga anak-anak berada di bawah tekanan dan pada titik tertentu, mereka merasa tidak dapat melakukannya (dan) memenuhi harapan semua orang," katanya.

Lansia Sulit Hidup dan Tinggal Sendirian

Kehidupan juga sulit bagi populasi lansia di Korea Selatan. Selain harus menghadapi isolasi seperti yang terjadi pada tahun 2021, sebanyak 1,6 juta warga lansia tinggal sendirian.

"Korea Selatan tidak memiliki sistem kesejahteraan yang kuat untuk mendukung masyarakat lanjut usia, lanjut Dr HeaKyung Kwon.

Akibatnya, banyak lansia yang tidak dapat uang pensiun dan berjuang untuk bertahan hidup dengan pekerjaan bergaji rendah. Misalnya, mengumpulkan sampah, yang membuat mereka mengalami kelelahan dan depresi.

Budaya Patriarki dan Konsep Rasa Malu

Beberapa faktor di balik perjuangan kesehatan mental bangsa Korea Selatan juga berakar pada nilai-nilai khas Korea yang bertahan dari modernisasi yang cepat di akhir abad ke-20.

"Mulai dari arus bawah patriarki yang kuat di Korea Selatan, yang ada di semua lapisan masyarakat dan dapat membuat perempuan merasa tidak dihargai dan tidak aman, hingga konsep "rasa malu", "menjaga muka", dan kepatuhan budaya yang sudah berlangsung lama," pungkas Dr Kwon.

"Masyarakat kita 'tidak murah hati' terhadap orang yang melakukan kesalahan."

Gangguan Mental Masih Dianggap Tabu

Intensitas krisis bunuh diri yang terus meningkat di Korea Selatan menyorot perhatian terhadap kebutuhan mendesak akan dukungan kesehatan mental yang lebih baik.

Dalam sebuah pernyataan kepada Telegraph minggu ini, Ministry of Health and Welfare (MOHW)  mengakui bahwa dukungan politik untuk membantu mengatasi masalah ini "sangat dibutuhkan," dan perlunya peningkatan program pencegahan bunuh diri.

Tahun lalu, sebuah makalah Harvard International Review menguraikan perjuangan pemberian layanan kesehatan mental meskipun tingkat stres dan depresi di Korea Selatan terbilang mengejutkan.

Makalah tersebut menyatakan adanya "krisis tersembunyi di Sungai Han," yang mengalir melalui Seoul, dan melaporkan, pada tahun 2017, hampir satu dari empat orang Korea Selatan menderita gangguan mental.

Akan tetapi, hanya satu dari sepuluh orang yang menerima perawatan, dengan alasan pola pikir yang masih menganggap topik gangguan mental tersebut sebagai hal yang tabu.

 

Infografis Mengenal Mengenai Self Diagnosis pada Kesehatan Mental
Mengenal Mengenai Self Diagnosis pada Kesehatan Mental.(Liputan6.com/Abdillah).

KONTAK BANTUAN

Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.

Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku

Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.

Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya