Kepala BKKBN: Pengasuhan Tanpa Peran Ayah Ciptakan Anak dengan Mental Strawberry

Istilah generasi strawberry ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah merah tersebut.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 24 Jan 2025, 10:00 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2025, 10:00 WIB
Kepala BKKBN Sebut Pengasuhan Tanpa Peran Ayah Ciptakan Mental Strawberry pada Anak
Kepala BKKBN Sebut Pengasuhan Tanpa Peran Ayah Ciptakan Mental Stroberi pada Anak. Foto dibuat oleh AI.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Anak yang hanya diasuh oleh ibu tanpa peran pengasuhan ayah akan tumbuh dengan mental strawberry (stroberi).

Hal ini disampaikan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) Wihaji.

"Saat ini karena kurangnya sentuhan ayah terhadap anak-anak yang rata-rata jarang, saat ini banyak anak-anak dengan leadership yang terbentuk menjadi leadership keibuan,” kata Wihaji di Jakarta Timur pada Rabu, 22 Januari 2025 mengutip keterangan pers.

“Jika nanti anak-anak hanya disentuh oleh ibu, jika tidak ada sentuhan seorang ayah, anak-anak ini akan memiliki sifat keibuan dan menjadi lembut. Sekarang karena 80 persen itu lebih banyak dibimbing ibu sampai berumur 18 tahun, maka leadership yang tersentuh akan menjadi seperti ibu-ibu, dan ciptakan mental strawberry,” tambahnya.

Istilah strawberry generation atau generasi stroberi pada mulanya muncul dari negara Taiwan.

Istilah ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur.

Dalam keterangan lain, akademisi sekaligus praktisi bisnis Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya menjelaskan bahwa strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.

“Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media. Begitu banyak gagasan-gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka,” papar Rhenald mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN Kemenkeu), Jumat (24/1/2025).

Analisis Pemicu Mental Strawberry

Sebagai seorang pendidik, Rhenald Kasali mencoba mempelajari fenomena ini agar jangan sampai menjadi seperti fenomena flexing yakni crazy rich bohong-bohongan dan lain sebagainya.

Menurut Rhenald, salah satu pemicu munculnya mental strawberry yakni self diagnosis.

Banyak sekarang yang menjadi orang pintar. Anak muda sekarang amat luar biasa, banyak informasi beredar di sosial media dan sebagaianya dan mereka menyerapnya seperti spons yang menyerap air.

“Mereka terpapar informasi-informasi yang kadang belum tentu tepat. Kemudian mencoba mencocok-cocokkan apa yang terjadi kepada dirinya dengan apa yang dikatakan dalam sosial media. Karena cocok kemudian mereka merasa bahwa mereka tertekan, stress dan bahkan depresi kemudian mengatakan ‘Ah saya butuh healing’.”

“Padahal alih-alih healing, kata yang lebih tepat digunakan bagi sebagian besar orang sebetulnya adalah refresing.”

Arti Healing Tidak Sesederhana yang Dikira

Healing tidak sesederhana yang diucapkan, healing merujuk pada sebuah proses yang diperlukan untuk mengatasi sebuah luka psikologis di masa lalu yang biasa disebut sebagai luka batin.

Healing merupakan proses kompleks untuk penyembuhan atau pengobatan. Ada sebuah kejadian di masa lalu yang membekas dan tentu saja ada proses yang harus dilakukan untuk kesembuhannya sehingga dapat menjadi lebih baik lagi di masa depan.

Tetapi karena sekarang ini media sosial memberikan informasi yang sangat kaya maka mereka merasa bisa memecahkan masalahnya sendiri. Ini adalah self diagnosis yang tidak hanya terjadi pada orang muda tetapi sangat mungkin terjadi pada generasi yang lebih tua.

Contoh mudah adalah ketika merasakan keluhan pada tubuh kemudian tidak mencoba memeriksanya tetapi cuma mencari-cari informasi melalui internet dengan membabi buta, ini malah akan memicu overthingking dan overdiagnosis.

Quarter Life Crisis

Jenis overthinking yang dialami oleh kaum muda dengan usia sekitar 25 tahun disebut sebagai quarter life crisis.

Quarter life crisis tidak dialami oleh para generasi tua zaman dahulu karena hidupnya memang pada umumnya sedang berjuang dan susah. Tetapi anak muda zaman sekarang mudah cemas ketika melihat temannya pada usia 25 tahun sudah menikah, punya anak, punya karier yang terlihat baik sudah punya mobil dan lain-lain.

Kemudian sosial media sekarang ini menjadikan pencapaian-pencapaian itu mudah sekali dipublikasikan dan menjadikan kecemasan berlebih pada sebagian kaum muda lainnya yang belum dapat mencapainya.

Overthingking tersebut membuat anak muda sekali lagi dengan mudah mengatakan bahwa mereka butuh healing karena kepenatan-kepenatan akibat banjirnya informasi pada media sosial, yang tidak dapat mereka saring dengan baik.

Senada dengan Wihaji, cara orangtua mendidik, kondisi keluarga di mana anak dibesarkan, situasi yang lebih sejahtera dibandingkan generasi sebelumnya juga memengaruhi mental strawberry.

“Tentu saja banyak yang kehidupannya masih susah, tetapi tidak dapat dimungkiri kehidupan sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu,” kata Rhenald.

Dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera mesti disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pada keluarga yang sejahtera, orangtua mempunyai kecenderungan memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya. Kemudian orangtua biasanya lebih sedikit menghabiskan waktu dengan anak karena kesibukan harian.

“Yang berikutnya adalah orangtua sudah tidak terbiasa menghukum anak atau kalau dalam istilah lain memberikan konsekuensi atas kesalahan-kesalahan anaknya.”

Kekeliruan orangtua berikutnya adalah setting unrealistic expectation. Orangtua sering menyebut anaknya princess, prince, anak paling hebat dan lain sebagainya. Padahal dalam kenyataannya nanti dalam kehidupan, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit daripada lingkungan amannya di rumah di mana akan ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka.

“Akibatnya anak-anak ini kemudian akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah,” tutup Rhenald.

Infografis Gen Z Dominasi Penduduk Indonesia
Infografis Gen Z Dominasi Penduduk Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya