Mutu Balita Indonesia di Bawah Kamboja dan Myanmar

Dilihat dari jumlah balita pendek yang ada, Indonesia dianggap sebagai negara yang buruk, yang juga memiliki pelayanan kesehatan yang buruk.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 22 Nov 2013, 12:30 WIB
Diterbitkan 22 Nov 2013, 12:30 WIB
anak-indonesia-protein-130729b.jpg
Dilihat dari jumlah balita pendek yang ada, Indonesia dianggap sebagai negara yang buruk, yang juga memiliki pelayanan kesehatan yang buruk pula.

Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, diketahui bahwa jumlah balita pendek mengalami peningkatan sebanyak 13,11 persen dari tahun 2007.

Menurut Ketua UKK Nutrisi & Penyakit Metabolik IDAI sekaligus Ketua Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik dari Departemen IKA FKUI-RSCM, dr. Damayanti Rusli Syarif, Sp.A (K), pada tahun 2007 jumlah balita pendek di Indonesia sebesar 28,6 persen, sedangkan pada tahun 2010 bertambah menjadi 41,7 persen.

"Artinya, Indonesia bukan negara yang baik. Sebab, bila suatu negara ada yang pendek lebih dari 5 persen, artinya negara itu tidak baik, negara miskin, dengan pelayanan yang buruk pula," kata dr. Damayanti Rusli, dalam acara `Indonesia Cinta Sehat: Melalui Dukungan Nutrisi dan Tumbuh Kembang Anak`, di XXI Lounge Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2013)

Lebih memprihatinkan lagi, tambah dr. Damayanti, bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia berada di posisi kedua setelah Kamboja. Ini artinya, Indonesia lebih buruk dari Myanmar yang berada jauh di bawah.

"Apakah ini suatu kebanggaan?," kata dr. Damayanti geram.

Menurut dr. Damayanti, bila anak pendek menyebabkan terjadinya gangguan hormonal pada dirinya. Selain itu, ototnya pun akan berkurang. Parahnya, lemak pada anak pendek akan bertambah, yang disebabkan lemak tidak bisa dioksidasi karena sulit diproses.

"Akibatnya anak menjadi pendek, gemuk. Akibatnya diabetes," kata dia menekankan.

(Adt/Abd)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya