Yati, Pasien Kanker Harus Bayar Kemoterapi Sejak BPJS Berlaku

Meskipun program JKN sudah berlaku sejak 1 Januari lalu, tapi ternyata kenyataan pelayanan kesehatan di lapangan belum sepenuhnya memuaskan

oleh aditya.eka diperbarui 17 Jan 2014, 10:15 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2014, 10:15 WIB
yati-kanker-bpjs-140117b.jpg
Meskipun program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sudah berlaku sejak 1 Januari lalu, tapi kenyataannya pelayanan kesehatan di lapangan belum sepenuhnya memuaskan. Apalagi dengan adanya kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang seharusnya dapat memudahkan masyarakat, sekarang malah dianggap menyulitkan.

Seperti halnya yang dialami oleh wanita paruh baya yang mengalami kanker payudara stadium lanjut bernama Yati (48) ini. Ia yang tinggal di perumahan kumuh tepatnya di Rusun Bidara Cina RT 09 RW 16 Jakarta Timur ini merasa program jaminan kesehatan baru dari pemerintah tersebut cukup menyulitkannya karena biaya rumah sakit tetap harus dibayarnya meski dia punya kartu KJS (Kartu Jakarta Sehat) .

Saat ini seharusnya ia melakukan kemoterapi untuk mencegah pertumbuhan sel kanker ganas dalam tubuhnya. Tapi sejak perubahan program jaminan kesehatan menjadi JKN, ia kini tidak dapat lagi melakukan kemoterapi karena menurut petugas kesehatan di tempatnya dirawat di RS Islam Cempaka Putih, kemoterapi tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan.

"Waktu KJS gratis. Sekarang bayar. Saya pasien RS Islam, Cempaka Putih dan sudah kanker stadium 4. Pada 27 Desember saya kemoterapi pertama kali, obat-obatan dan perawatan dijamin semua. Tapi setelah diambil alih BPJS, menurut petugas RS, KJS tidak berlaku di RS tersebut," ujar janda yang memiliki dua anak tersebut saat diwawancari Liputan6.com.

Begitu pula dengan obat-obatan yang harus diminumnya juga tidak bisa dijamin semua. Padahal sesuai ketentuan INACBG's atau tarif paket yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, seluruh perawatan dan obat untuk masyarakat tidak mampu mestinya sudah terjamin.

"Hanya sedikit sekali yang dijamin pemerintah. Saya disuruh bayar, mana mungkin, saya janda miskin dengan dua anak sekolah. Anak pertama  sudah kuliah tapi dibiayai Bunda Suci. Anak kedua, putus sekolah sejak SMA kelas 2 karena biaya. Untuk sehari-hari saja susah. Saya makan beras raskin. Sementara untuk biaya kemo saya diminta bayar lebih dari Rp 43 juta. Ratusan saja nggak mampu. Lihatlah rumah saya. Terus terang saya nggak sanggup. Saya cuma mohon, sampai selesai kemo saja karena saya masih punya anak 2," tangis Yati saat berbicara dengan Ketua DPR RI, Marzuki Alie yang ditemuinya di kantor DPR, dan ditulis Jumat (17/1/2014)

Dengan perubahan sistem yang tidak dicover ini, menurut Yati ia akan menyetop kemoterapi yang harusnya dilakukan pada 17 Januari dengan berat hati.

"Sebenarnya tanggal 17 harusnya bisa kemo tapi sampai sekarang saja obat belum bisa. Sekarang dengan keadaan begini saya pun nggak bisa kerja dan hanya dibantu anak jualan kue. Sehari bisa dapat Rp 20 ribu tapi nggak tentu," tutur Yati sambil mengelap air matanya.

Melihat kasus seperti Yati, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris yang ditemui di tempat yang sama pun angkat bicara. Menurutnya, tim BPJS Kesehatan akan segera berkoordinasi dengan pihak provider dan minta waktu 1-2 hari untuk menyelesaikan hal ini.

(Fit/Mel)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya