Liputan6.com, Jakarta Ittiba adalah mengikuti dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, ittiba ini diserap menjadi itibak yang berperan sebagai kata kerja dan berarti sebagai mengikuti atau contoh.
Baca Juga
Advertisement
Apabila dirunut secara bahasa, kata ittiba’ ini dapat juga diartikan sebagai iqtifa’ atau menelusuri jejak, qudwah atau bersuri teladan, dan uswah atau berpanutan. Atas dasar itulah, kata ittiba adalah ‘menerima perkataan atau ucapan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dari dalil Al-Quran maupun hadits Nabi.’
Secara sederhana, kata ittiba adalah mengikuti pendapat ulama, dalam hal ini ittiba dijadikan sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya. Untuk lebih memahami ittiba, anda perlu mengenal jenis-jenisnya.
Berikut Liputan6.com ulas mengenai definisi ittiba beserta jenis-jenis dan hukumnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (29/3/2023).
1. Ittiba Adalah
Dikutip dari buku Fiqih dan Ushul Fiqh (2018) karya Dr. Nurhayati, M.Ag, Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag. menjelaskan bahwa ittiba adalah mengikuti. Kata yang semakna dengan ittiba adalah iqtifa yang memiliki arti yakni menelusuri jejak, qudwah berarti suri teladan, dan uswah artinya panutan.
Sementara itu secara istilah, ittiba adalah mengikuti pendapat seseorang, baik itu ulama, fuqaha, dan sebagainya dengan mengetahui serta memahami dalil atau hujah suatu perkara yang digunakan dan mengikuti mereka.
Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan dan dibenarkan Rasulullah SAW serta menjauhi segala yang dilarang Allah SWT dan RasulNya. Tujuan dari ittiba adalah agar mukallafun dapat meraih keyakinan dan menyugesti dirinya untuk melakukan ajaran-ajaran agama tanpa keraguan sehingga menimbulkan keikhlasan dalam dirinya.
Berbeda halnya dengan pendapat dari buku Ikhtisar Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembinaan Hukum Islam (2022) karya Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. yang menjelaskan bahwa ittiba adalah menerima perkataan orang lain dan mengetahui dalil-dalilnya, baik Al-Qur’an maupun hadis. Sedangkan Imam Al-Syafi’i berpendapat bahwa ittiba adalah mengikuti pendapat-pendapat dari Nabi Muhammad saw, para sahabat, atau tabi’in yang mendapatkan kebajikan.
Sementara itu menurut para ahli ushul fiqh, ittiba adalah mengikuti perkataan orang lain dengan disertai pengetahuan mengenai sumber dari perkataan tersebut. Orang yang melakukan ittiba disebut dengan muttabi yang bentuk jamaknya adalah muttab’iun.
Advertisement
2. Jenis-Jenis Ittiba
Melansir dari buku Fiqih dan Ushul Fiqh (2018) karya Dr. Nurhayati, M.Ag, Dr. Ali Imran Sinaga, M.Ag. menjelaskan bahwa ada beberapa jenis-jenis ittiba yang bisa anda kenali, yakni:
a. Ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya
Sebagaimana Firman Allah SWT berikut ini:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik ba- gimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzaab [33]: 21)
Kemudian, QS.al-Hasyr ayat 7 yang memiliki arti sebagai berikut ini:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang di- larangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Se sungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. al Hasyr [59]: 7)
b. Ittiba kepada selain Allah dan RasulNya
Dalam persoalan ini terjadi ikhtilaf ulama:
- Pendapat yang tidak membolehkan seperti Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba itu hanya dibolehkan kepada Allah SWT, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
- Pendapat yang membolehkan berittiba kepada para ulama karena dikategorikan sebagai waritsatul anbiyaa (ulama adalah pewaris para Nabi).
3. Hukum Ittiba'
Para mukalaf mengatakan bahwa hukum ittiba adalah wajib bagi setiap muslim karena ittiba adalah perintah oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW sebagaimana Firman-Nya yang berbunyi:
Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imraan [3]: 32)
Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mentaati dan mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Disamping itu, juga ada sabda Nabi yang memiliki arti sebagai berikut:
"Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan atau sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (H.R. Abu Daud).
Advertisement
4. Kedudukan Ittiba' dalam Islam
Posisi ittiba' kepada Rasulullah SAW mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam dan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam.
- Ittiba' kepada Rasulullah SAW adalah salah satu syarat diterima amal.
- Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
- Ittiba' adalah sifat yang utama ulama, fuqaha' dan orang-orang yang shalih.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi' tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba. Jika seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam.
Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum Muslimin sekalipun dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Sebab suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusyukan dan keikhlasan. Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi' yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba' tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama yang satu dan dalam masalah lain mengikuti ulama yang lain pula.