Muhammad Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel, Ketahui Sejarah, Karakteritik dan Teladannya

Muhammad Al-Fatih meninggalkan warisan penting dalam sejarah, di mana penaklukan Konstantinopel olehnya mempengaruhi pergeseran kekuasaan di Timur Tengah dan Eropa.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 18 Jul 2023, 08:15 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2023, 08:15 WIB
Ilustrasi masjid
Ilustrasi masjid. (Photo by Snowscat on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Muhammad Al-Fatih juga dikenal sebagai Mehmed II atau Mehmed Al-Fatih, adalah seorang pemimpin yang terkenal dalam sejarah karena berhasil menaklukkan Konstantinopel. Penaklukan ini tidak hanya merupakan prestasi yang luar biasa secara militer, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam dalam pergeseran kekuasaan, dan perubahan sejarah di Timur Tengah dan Eropa.

Muhammad Al-Fatih merupakan putra dari Sultan Murad II, yang juga merupakan seorang penguasa yang berpengaruh. Sejak usia muda, Muhammad Al-Fatih dididik dengan baik dalam ilmu agama, seni perang, dan strategi militer. Ayahnya melihat potensi luar biasa dalam dirinya dan mempersiapkannya untuk mengambil alih tahta Ottoman.

Muhammad Al-Fatih memulai persiapan serius untuk menaklukkan Konstantinopel. Dia membangun kapal-kapal perang yang kuat, termasuk kapal-kapal pengangkut besar yang ditarik melalui darat untuk mengejutkan musuh. Selain itu, ia juga memperkuat pasukan dan mempersiapkan strategi militer yang inovatif untuk menghadapi benteng yang kuat di Konstantinopel.

 Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih memiliki dampak yang signifikan dalam sejarah. Peristiwa ini menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur, dan menandai awal dari Kekaisaran Ottoman yang kuat di wilayah tersebut. Konstantinopel juga diubah namanya menjadi Istanbul, yang menjadi ibu kota baru kekaisaran Ottoman.

Berikut ini sejarah terkait Muhammad Al-Fatih yang Liputan6.com rangkum dari berbagia sumber, Selasa (18/7/2023). 

 

 

Sejarah

Ilustrasi masa lalu, sejarah
Ilustrasi masa lalu, sejarah. (Photo by Javad Esmaeili on Unsplash)

Dalam Buku Muhammad Al Fatih Penakluk Konstantinopel karangan Syaikh Ramzi Al Munyawi, dijelaskan bahwa semasa kecil beliau dididik oleh Maula Ahmad bin Ismail Al Khurani. Pendidikan tersebut membuatnya tumbuh sebagai pemuda cerdas, menguasai bahasa Turki, Persia, Arab, Yunani, Italia dan Latin. Serta mampu membaca, menulis, menerjemahkan, dan mengkhatamkan Al Qur’an.

Mengutip dari laman kemenag jabar, saat muda Muhammad Al Fatih belajar dan berguru dengan banyak ilmuan, baik muslim maupun non-muslim. Ia belajar ilmu memanah, militer, sastra, sejarah klasik, geografi, dan sejarah Eropa. Berbicara Al Fatih tentu lekat dengan Konstantinopel sebagai karya maha besar tak terlupakan sepanjang sejarah. Saat dirinya sudah tiada pun, karya itu masih terlihat jelas hingga kini. Semua berawal dari Hadits Nabi, 

“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah penakluknya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad). Tetapi, harapan indah berusia 800 tahun itu terus tersimpan rapi dalam lembaran-lembaran kitab hadits. Bukan tidak ada yang berminat merealisasikannya, melainkan gagal setelah 11 kali percobaan dilakukan. Melalui gurunya, Al Fatih diyakinkan bahwa ia pemimpin yang dimaksudkan dalam hadits itu.

Awalnya, banyak orang meragukan impiannya tersebut. Selain usianya yang masih muda, siapa yang tak kenal dengan Konstantinopel sebagai kota yang dikelilingi Teluk Bosporus, Laut Marmara, dan Teluk Emas berpelindung rangkaian rantai besi sehingga armada kapal laut yang hendak masuk selalu tertahan? Adanya 2 jalur pagar setinggi 25 dan 40 kaki yang mengelilingi, menjadikannya sulit minta ampun ditembus. Tetapi, kondisi demikian tidak membuat Al Fatih patah semangat. Berbagai persiapan menembus Konstantinopel terus disempurnakan, baik itu mulai mengumpulkan informasi, mengintai, dan mengawasi Konstantinopel menjadi aksi rutinnya menjelang detik-detik paling bersejarah. Lalu, ia mengumpulkan 250.000 pasukan untuk meyakinkan bahwa mereka bisa menang.

 

Karakteristik Sifat

Ilustrasi masa lalu, sejarah
Ilustrasi masa lalu, sejarah. (Photo by Peter Herrmann on Unsplash)

Sosok Sultan Muhammad II merupakan seorang Khilafah Utsmaniyah, memerintah hampir selama tiga puluh tahun yang diwarnai dengan kemuliaan dan kebaikan bagi kaum muslimin. Ia memiliki amanah menjadi Sultan Utsmani setelah menggantikan ayahnya Muhammad 1 yang telah wafat pada tanggal 16 Muharram 855 H, bertepatan dengan  18 Februari 1451 M. Ketika itu Muhammad II masih memiliki umur menginjak 22 tahun.

Sejak masa kecilnya memiliki keunggulan dalam menyerap dan menangkap ilmu pengetahuan. Ia memiliki pengetahuan yang luas, khususnya dalam bidang Bahasa, serta memiliki kecenderungan besar terhadap buku-buku sejarah. Sultan Al-Fatih terjun sendiri ke medan laga dan berperang melawan musuh dengan pedangnya sendiri. Dalam peperang di wilayah Balkan, tantara Utsmani berhadapan dengan tentara Bughanda yang bersembunyi di balik pepohonan yang rapat. Pasukan Utsmani yang melihat mocong meriam yang diarahkan dari pepohonan, seketika melakukan tiarap karena posisi tertahan dari serangan mengejutkan tersebut.

Kemudian sang Sultan lalu berteriak dengan lantang “Wahai pasukan Mujahidin, jadilah kalian tentara Allah, dan hendaklah ada dalam dada kalian semangat Islam yang membara”. Sesungguhnya dalam banyak sikap yang diabadikan dalam perjalanan sejarah Sultan Al-Fatih, tampak keutamaan sikap keikhlasannya, kedalaman iman, serta akidah lurus.

Dalam sebuah syair dia berkata:

Niatku: Taat kepada perintah Allah, “Dan Hendaklah kalian berjihad di jalan-Nya (Al-Maidah: 35). Wa Hamasi (semangatku): Adalah mengeluarkan semua upaya untuk mengabdi pada agamaku, agama Allah. ‘Azmi (tekadku): Saya akan buat orang-orang kafir bertekuk lutut dengan bala tentaraku, berkat kelembutan Allah. Jihadi (Jihadku): Adalah dengan jiwa raga dan harta benda. Lalu apa makna dunia setelah ketaatan kepada perintah Allah. Wa Tafkiri (pusat pikiranku): Terpusat pada kemenangan yang datang dari rahmat Allah. Asywaqi (Kerinduanku): Perang dan perang ratusan ribu kali untuk mendapatkan ridha Allah. Wa Raja’I (Harapanku): Adalah pertolongan Allah, dan kemenangan negara inni atas musuh-musuh Allah.

 

Hal yang Patut Diteladani dari Muhammad Al-Fatih

1. Menguasai Banyak Bahasa

Dalam bukunya Ali Muhammad Ash-Shalabi menulis, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ sedikitnya menguasai tiga bahasa Islam dengan sangat baik yang biasanya dikuasai orang-orang berpendidikan pad zaman itu, yakni bahasa Arab, Persia, dan Turki. Selain Ash-Shalabi, Ramzi Al-Munyawi dalam bukunya juga menyebutkan, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ menguasai Bahasa Yunani dan 6 bahasa lainnya ketika berusia 21 tahun. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada usia itu pulalah A-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel.

2. Mempelajari Banyak Ilmu

Ash-Shalabi menulis dalam bukunya bahwa sejak kecil Muhammad Al-Fatih telah belajar Al-Qur’ān, hadis, fikih, dan ilmu modern lainnya seperti ilmu berhitung, ilmu falak, sejarah, serta pendidikan kemiliteran, secara teori maupun praktis. Felix Siauw dalam bukunya juga mengisahkan Sultan Murad, ayah Al-Fatih, meminta para ulama dari berbagai disiplin ilmu untuk mengajari anaknya berbagai mata pelajaran, mulai dari matematika, fisika, astronomi, seni perang praktis, militer, dan ilmu-ilmu lainnya.

3. Fleksibel, Inovatif dan Penuh Kejutan.

Felix Siauw dalam bukunya menceritakan, Al-Fatih memiliki mata pelajaran favorit, yakni sejarah. Felix menulis, sejarah adalah salah satu cabang ilmu yang sangat dikuasai oleh pemimpin besar dunia Islam, seperti Rasulullāh SAW, Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, dan para sahabat lainnya. Dengan mempelajari ilmu sejarah itulah, menurut Siauw, Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ kemudian tumbuh menjadi seorang yang fleksibel, inovatif, dan penuh dengan kejutan.

4. Mengambil Pelajaran dari Sejarah Tokoh Lain

Mengutip dari laman yayasan alfidaacendikia, siauw menjelaskan dengan mendalami peristiwa sejarah, seseorang bisa mengambil pengamalaman dan pemikiran tokoh yang dibacanya tanpa harus hidup satu zaman dengannya. Selain itu, sejarah memungkinkan seseorang untuk tidak mulai kembali dari titik nol, tapi melanjutkan apa yang telah dibangun oleh orang-orang sebelumnya. Manfaatnya, jalan menuju keberhasilan orang tersebut menjadi lebih dekat. Hal itulah yang dilakukan oleh Al-Fatih. Siauw menyatakan, Al-Fatih tidak menjadikan sejarah sebagai masa lalu yang hanya berfungsi sebagai nostalgia dan romantisme tanpa arah. Namun Al-Fatih mengambil pelajaran dari sejarah sebagai perhitungan dan perencanaan untuk menentukan keputusan di masa depan.

5. Giat Beribadah

Melaui pesan singkat, Felix Siauw mengatakan kepada kumparan, “Saya sampaikan, Rasulullah pernah bersabda, ‘Akan dibebaskan Konstantinopel, dan sebaik-baik pemimpin adalah dia.’ dan ini sebuah indikasi yang baik.” Untuk meraih janji Rasulullah itu, tutur Siauw, sang Sultan Muhammad Al-Fatih senantiasa melatih dirinya dengan karakter ksatria dan mendekakan dirinya pada Allah dengan banyak beribadah.

6. Berani

Sulṭān Muhammad Al-Fātiḥ terjun sendiri ke medan laga saat perang. Sang sultan tidak gentar berperang melawan musuh dengan pedangnya sendiri. Ash-Shalabi menceritakan, keberanian Al-Fatih tampak dalam sebuah pertempuran di wilayah Balkan. Saat itu pasukan Turki Uṡtmānĩ tengah berhadapan dengan pasukan Bughanda yang dipimpin oleh Steven. Saat itu ada moncong meriam telah diarahkan pada pasukannya, sehingga para pasukan segera tiarap ke tanah.

Untuk menyemangati pasukannya, Al-Fatih berteriak dengan lantang, “Wahai pasukan mujahidin, jadilah kalian tentara Allāh, dan hendaklah ada dalam dada kalian semangat Islam yang membara.” Kemudian dengan gagah berani ia memegang tameng dan menghunus pedangnya serta segera memacu kudanya berlari ke depan dan tak menoleh pada apa pun.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya