Liputan6.com, Jakarta Kesultanan Utsmaniyah yang juga dikenal sebagai Kekaisaran Ottoman, didirikan pada tahun 1299 oleh Bani Utsman. Negara ini merupakan negara multi-etnis dan multi-agama, dengan berbagai kelompok etnis dan agama yang hidup di dalamnya. Selama lebih dari enam abad pemerintahannya, Kesultanan Utsmaniyah dipimpin oleh 36 sultan. Bentuk negara Ottoman menjadi cikal bakal negara Turki saat ini.
Salah satu pencapaian terbesarnya adalah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453, yang pada saat itu merupakan ibu kota Kekaisaran Byzantium. Setelah penaklukan tersebut, Konstantinopel diubah namanya menjadi Istanbul, dan menjadi ibu kota Utsmaniyah.
Advertisement
Kesultanan Utsmaniyah meninggalkan jejak yang signifikan dalam sejarah Islam. Mereka turut berperan dalam persebaran ajaran Islam ke penjuru Asia dan Eropa. Berikut sejarah berdirinya Kesultanan Utsmaniyah yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, JUmat (14/7/2023).
Advertisement
Sejarah Berdirinya Kesultanan Utsmaniyah
Kesultanan Utsmaniyah berawal pada paruh kedua abad ke-13, ketika bangsa Turki yang berasal dari Turkestan melakukan migrasi besar ke wilayah Asia Kecil. Mereka tinggal di daerah sekitar sungai Amu Darya, Tabaristan, dan Gorgan. Kontak pertama antara bangsa Turki dengan Muslim terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab dan berlanjut pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Bangsa Turki kemudian berperan penting dalam Kekhalifahan Abbasiyah, dan kesempatan ini terbuka oleh Khalifah Al Mu'tasim.
Pada masa itu, bangsa Turki berhasil mendirikan Kesultanan Seljuk yang berakhir pada masa pemerintahan Ghiyatsuddin Abu Syuja' Muhammad. Ketika Kesultanan Seljuk mengalami kehancuran akibat serangan Mongol, sekelompok orang di bawah pimpinan Sulaiman bermigrasi untuk menghindari serangan tersebut. Kepemimpinan Sulaiman kemudian dilanjutkan oleh putranya, Ertugrul.
Ertugrul mendapatkan sebidang tanah di barat Anatolia dari Kesultanan Seljuk. Pada masa pemerintahannya, ia memperluas wilayah kekuasaannya dan berhasil mengalahkan Byzantium serta menggetarkan lawan-lawannya. Setelah Ertugrul, kepemimpinan dilanjutkan oleh Utsman, yang memperluas wilayah kekuasaan hingga mencapai Byzantium. Pada masa pemerintahan Utsman, Kesultanan Utsmaniyah secara resmi berdiri.
Kesultanan Utsmaniyah menjadi kerajaan terbesar dan paling lama berkuasa dalam sejarah, selama lebih dari enam abad (1281-1924). Mereka berhasil menguasai wilayah Arab serta wilayah antara Kaukasus dan kota Wina, dan bahkan mempengaruhi wilayah seperti Trace, Macedonia, Thessaly, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Albania, dan sekitarnya. Kerajaan Utsmaniyah juga menjalin hubungan dengan raja-raja Islam di Indonesia, seperti raja Aceh dan Banten, yang mengutus utusan dan meminta pengakuan gelar sultan dari Istanbul.
Ibukota Kesultanan Utsmaniyah berpindah-pindah selama berbagai ekspansi yang dilakukan. Sebelum Utsman I menjadi pemimpin, kota Sogud dijadikan ibukota. Kemudian, setelah mereka menaklukkan Broessa pada tahun 1317, Broessa dijadikan ibukota hingga pemerintahan Murad I. Namun, pada masa pemerintahan Murad I, kota Adrianopel ditaklukkan dan dijadikan ibukota hingga penaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad II, yang kemudian mengganti namanya menjadi Istanbul sebagai ibukota terakhir Kesultanan Utsmaniyah.
Kesultanan Utsmaniyah mengembangkan sistem pemerintahan yang dikenal dengan nama Millet, di mana kelompok agama dan suku minoritas memiliki otonomi dalam mengurus masalah internal mereka. Meskipun terjadi kemunduran pada masa pemerintahan Mongol dan beberapa kekacauan internal, Kesultanan Utsmaniyah tetap kuat dan mengontrol hampir seluruh wilayah kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1453, Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel dan menjadikannya ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah.Â
Advertisement
Masa Kejayaan Kesultanan Utsmaniyah
Masa kejayaan Kesultanan Utsmaniyah terjadi pada abad ke-16, terutama pada masa pemerintahan Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman I. Pada masa ini, kesultanan mengalami ekspansi wilayah yang signifikan dan menjadi kekhalifahan Islam terpenting di Timur Tengah dan Semenanjung Balkan.
Sultan Salim I fokus pada ekspansi ke arah Selatan Turki dan tidak ingin kehilangan wilayah penaklukan. Ia berhasil mempersatukan Baghdad, Kairo, dan sisa-sisa kekuasaan Byzantium di bawah satu payung kekuasaan Utsmaniyah. Pada abad ke-15 hingga ke-17, Kesultanan Utsmaniyah menguasai wilayah yang luas dan menjadi kekhalifahan Islam yang dominan di wilayah tersebut.
Sultan Sulaiman I melanjutkan keberhasilan ayahnya, Sultan Salim I. Ia berhasil menguasai Lembah Sungai Nil di Mesir, Lembah Sungai Furat, dan mencapai Gibraltar. Di Afrika Utara, pasukan Kesultanan Utsmaniyah berhasil menahan serangan pasukan Kerajaan Spanyol yang datang melalui lautan.
Sulaiman I dikenal dengan gelar Al Kanuni, yang berarti ahli penyusun perundang-undangan. Ia tidak melupakan kesejahteraan rakyat meskipun sibuk dengan penaklukkan wilayah. Sulaiman I menyusun berbagai peraturan untuk rakyat dengan berbagai golongan, dengan tujuan menciptakan ketertiban dan keamanan di wilayah kesultanan. Pada masa pemerintahannya, ajaran Islam berkembang pesat, rakyat hidup sejahtera, dan terjadi kemajuan dalam kebudayaan, perdagangan, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan.
Selain itu, Kesultanan Utsmaniyah juga menjadi kekuatan dominan dalam perdagangan dan memiliki kontrol yang kuat atas jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Pada periode ini, kesultanan memperluas pengaruhnya di Laut Mediterania dan mengontrol sebagian besar wilayah tersebut.
Kesultanan Utsmaniyah menjalin aliansi dan kerjasama dengan negara-negara Eropa seperti Perancis dan Inggris dalam upaya melawan kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa. Kerjasama militer dan ekonomi terjadi antara Kesultanan Utsmaniyah dan Perancis, dan kesultanan dianggap sebagai anggota politik Eropa pada masa tersebut.
Keruntuhan Kesultanan Ustmaniayan
Keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah terjadi setelah Sultan Sulaiman al-Qanuni meninggal pada tahun 1566. Kesultanan ini mengalami kelemahan dalam menemukan pengganti yang kuat, sehingga negara-negara lain mulai meningkatkan serangan terhadapnya.Â
Penemuan jalur perdagangan alternatif Eropa ke Asia dan kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa juga melemahkan perekonomian Kesultanan Utsmaniyah. Sistem militer yang sebelumnya efektif dan birokrasi yang sudah berjalan selama berabad-abad menjadi kelemahan di bawah pemerintahan sultan yang lemah.
Selain itu, perubahan teknologi militer di Eropa memberikan keunggulan kepada pasukan Eropa dalam pertempuran. Konservatisme agama yang mulai berkembang di dalam kesultanan juga menghambat inovasi militer dan membuat pasukan Sipahi yang sebelumnya ditakuti menjadi tidak relevan. Pemberontakan internal seperti Pemberontakan Jelali dan Pemberontakan Yenisari juga mengakibatkan ketidakstabilan politik dan pemberontakan di wilayah Anatolia.
Pada paruh kedua abad ke-16, kesultanan ini mengalami krisis moneter akibat inflasi yang tinggi. Pengaruh Spanyol dari benua baru menyebabkan devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah, sehingga perekonomian negara terganggu. Di sisi politik, negara-negara Eropa aktif mengadu domba dan memanfaatkan nasionalisme dan separatisme di wilayah kesultanan untuk menghancurkan kekuasaannya. Gerakan misionaris dan orientalis Eropa juga berperan dalam merusak pemahaman Islam dan mencoba mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem Barat.
Kemudian, pada abad ke-20, Mustafa Kemal Pasha (Atatürk) muncul sebagai tokoh yang melakukan reformasi di Turki dengan mengadopsi model Barat secara sekuler. Pada tanggal 3 Maret 1924, Mustafa Kemal Pasha berhasil meruntuhkan kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan menghapuskan sistem Islam dari negara, menggantinya dengan sistem republik yang sekuler.
Advertisement