Liputan6.com, Jakarta Dalam Islam, hukum hutang piutang diatur dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip agama dan ajaran Al-Quran serta Hadis. Transaksi hutang piutang dipandang sebagai bentuk kerjasama dan tolong-menolong antara individu atau kelompok. Prinsip ini diperkuat oleh nilai ta'awun, yang merupakan dasar akad-akad ekonomi dalam Islam. Utang piutang bisa menjadi alat untuk membantu individu yang sedang membutuhkan dukungan finansial.
Advertisement
Baca Juga
Dalam pandangan Islam, aktivitas ekonomi seperti utang piutang memiliki dimensi ibadah sosial. Artinya, hukum hutang piutang dapat menjadi sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah jika dilakukan dengan niat yang tulus dan untuk tujuan yang baik, seperti membantu sesama yang membutuhkan.
Advertisement
Dalam bahasa Arab, terdapat dua istilah yang merujuk pada utang, yaitu "dayn" dan "qardh." Dalam konteks utang piutang, keduanya mengacu pada kewajiban atau tanggung jawab seseorang untuk membayar kembali jumlah tertentu kepada pihak lain. Berikut ulasan tentang hukum hutang piutang dalam Islam yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (29/8/2023).
Hutang Piutang dalam Pandangan Islam
Pada prinsipnya, utang piutang diperbolehkan dalam hukum Islam. Bahkan, memberikan pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan disukai dan dianjurkan dalam agama, karena tindakan ini mengandung pahala yang besar.
QS Al-Maidah ayat 2 dijelaskan,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya tolong-menolong dalam hal-hal yang baik dan menjauhi perbuatan dosa. Ini mencerminkan prinsip saling membantu sesama dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal utang piutang.
Advertisement
Landasan Hukum Hutang Piutang
QS Al-Baqarah ayat 282 menjadi rujukan utama hukum hutang piutang dalam Islam.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini menekankan pentingnya untuk menuliskan transaksi utang piutang, terutama jika transaksi tersebut tidak dilakukan secara tunai dan memiliki jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan untuk menjaga kejelasan dan adil dalam transaksi serta menghindari keraguan di kemudian hari.
QS Al-Baqarah ayat 282 juga menginstruksikan bahwa pihak yang berhutang harus membayar utang sesuai dengan yang telah ditulis dan tidak boleh mengurangi sedikit pun dari jumlah utangnya. Ini menunjukkan pentingnya menjalankan kewajiban dengan jujur dan adil. Ayat tersebut juga menggarisbawahi pentingnya memiliki saksi-saksi yang dapat memberikan kesaksian tentang transaksi utang piutang. Ini bertujuan untuk menjaga integritas transaksi dan mencegah perselisihan di kemudian hari.
Apabila transaksi utang piutang adalah perdagangan tunai yang dilakukan dalam konteks bisnis, maka tidak ada dosa jika transaksi tersebut tidak dicatat secara tertulis. Namun, dalam transaksi jual beli, tetap penting untuk memiliki saksi-saksi yang dapat memberikan kesaksian atas transaksi tersebut.
Seorang Muslim dilarang memberlakukan persyaratan saat mengembalikan hutang, termasuk melibatkan bunga. Praktik ini dianggap sebagai bentuk riba dan diharamkan. Namun, jika penambahan ini tidak diikatkan oleh waktu saat perjanjian dibuat (akad) dan dilakukan dengan sukarela oleh peminjam sebagai bentuk apresiasi, maka ini tidak akan dianggap sebagai riba, bahkan dianjurkan. Pendekatan ini sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dalam sebuah riwayat hadis Abu Hurairah yang berbunti
"Seseorang datang kepada Rasulullah SAW. untuk menagih hutang seekor unta." Rasulullah SAW. lantas berkata, “Seseorang telah mendatangi Rasulullah Saw. untuk menagih hutang seekor unta.” Maka, Rasulullah Saw. bersabda: “Berikanlah seekor unta yang lebih bagus dari untanya.” Lalu Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (HR. Muslim).
Rukun Hutang Piutang
Terdapat tiga rukun yang harus dipenuhi dalam setiap transaksi hutang piutang dalam Islam, seperti berikut.
1. Dua Pihak yang Berakad:
Transaksi hutang piutang melibatkan dua pihak, yaitu pemberi hutang (kreditur) dan orang yang berhutang (debitur). Ini adalah unsur dasar dalam setiap transaksi hutang piutang.
2. Harta yang Dihutangkan
Hutang piutang harus melibatkan harta yang dihutangkan. Harta ini bisa berupa uang atau barang-barang tertentu yang memiliki nilai dan dapat diukur, seperti barang-barang yang ditakar atau ditimbang.
3. Sighat Ijab Kabul
Transaksi hutang piutang memerlukan ungkapan ijab (tawaran) dari pemberi hutang dan kabul (penerimaan) dari orang yang berhutang. Contoh ungkapan ijab adalah "Saya menghutangimu atau memberimu hutang," dan contoh ungkapan kabul adalah "Saya menerima" atau "saya ridha." Sighat ijab kabul ini menciptakan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Syarat-syarat Hutang Piutang
Selain rukun-rukun di atas, terdapat beberapa syarat hukum hutang pitang yang perlu dipenuhi, sebagai berikut.
1. Syarat Pemberi Hutang
Pemberi hutang (kreditur) harus memenuhi syarat ahli tabarru' yang mencakup,
Merdeka: Bukan seorang budak atau tawanan.
Baligh: Telah mencapai usia dewasa yang ditentukan dalam Islam.
Berakal Sehat: Memiliki akal yang sehat dan mampu memahami implikasi dari transaksi.
Rasyid: Memiliki kebijaksanaan untuk memahami apa yang baik dan buruk.
2. Syarat Orang yang Berhutang
Orang yang berhutang (debitur) juga harus memenuhi syarat ahliyah al-muamalah, yang meliputi,
Merdeka: Tidak boleh seorang budak atau tawanan.
Baligh: Telah mencapai usia dewasa dalam Islam.
Berakal Sehat: Memiliki akal yang sehat dan mampu memahami implikasi dari transaksi.
Advertisement