Liputan6.com, Jakarta Golput atau golongan putih merupakan fenomena yang banyak menjadi perbincangan setiap mendekati hari-hari pemilihan umum. Istilah ini mencerminkan sikap cuek, apatis, atau ketidakpedulian terhadap kondisi politik. Golput bukan hanya sekadar absen dalam pencoblosan, melainkan juga sering diidentifikasi dengan kelompok atau individu yang sama sekali tidak mau terlibat dalam dinamika politik, namun apa pengaruh golput?
Baca Juga
Advertisement
Sejarah mencatat keberadaannya golput di Indonesia sudah ada sejak menjelang Pemilu 1971. Sekelompok mahasiswa, pemuda, dan pelajar berkumpul di Balai Budaja Djakarta dan mendeklarasikan "Golongan Putih" sebagai gerakan moral. Gerakan ini muncul sebagai respon terhadap Pemilu 1971 yang dianggap tidak demokratis karena pembatasan jumlah partai oleh pemerintah. Ternyata pengaruh golput memberikan dampak cukup signifikan pada masa itu.
Namun, fenomena golput tidak selalu bersifat idealis atau murni dari segi moral. Setelah reformasi, golput lebih sering dipicu oleh kondisi yang memaksa, bukan semata-mata sebagai tindakan idealis. Berikut ulasan lebih lanjut tentang pengaruh golput pada keberlangsungan sebuah pemerintahan yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (2/1/2023).
1. Terganggunya Program Kerja Pemerintah
Golput dalam pemilihan umum memiliki dampak yang signifikan pada keberlangsungan sebuah pemerintahan yang berintegritas. Salah satu dampak negatif yang muncul akibat tingginya golput adalah gangguan terhadap program kerja pemerintah. Program kerja yang baik seharusnya mencakup aspek kemajuan negara, baik dari segi infrastruktur maupun ekonomi, serta nilai-nilai integritas dan antikorupsi.Â
Namun, tingginya angka golput mencerminkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin terpilih, mengakibatkan ketidakoptimalan program kerja yang diusung. Masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam pemilihan menunjukkan sikap apatis terhadap pemimpin yang dicalonkan, meragukan kemampuan mereka untuk memajukan negara.
2. Mengganggu Demokrasi Negara
Negara demokratis melibatkan partisipasi aktif seluruh warganya dalam membuat dan mengambil keputusan. Namun, tingkat golput yang tinggi menandakan bahwa masyarakat merasa kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi, cenderung apatis terhadap calon yang diusung, dan hal ini dapat merugikan keberlangsungan demokrasi itu sendiri.
3. Menangnya Partai yang Tak Kredibel
Pentingnya partisipasi dalam pemilihan juga terkait dengan memberi kesempatan partai kredibel untuk menang. Ketika masyarakat abai terhadap hak pilihnya, partai politik dengan pendukung setia yang aktif akan memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangkan pemilu. Ini berarti, meskipun partai tersebut mungkin tidak memiliki kualitas atau visi yang optimal, namun karena dukungan yang kuat, mereka dapat menjadi pemenang pemilu.
4. Kredibilitas Pemerintahan Terpilih Rendah
Selain dampak politis, tingginya angka golput juga dapat merugikan pemerintahan secara praktis. Tingkat kepercayaan dan kredibilitas pemerintah terpilih akan rendah, menghambat kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsinya dengan baik karena kurangnya dukungan politik.Â
Sebaliknya, dengan raihan suara yang meyakinkan, seorang pemimpin daerah dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kredibilitas. Hal ini memungkinkan pemilih terpilih untuk melaksanakan amanat dan janji politiknya dengan keyakinan tinggi.
Advertisement
Alasan Golput
Seseorang dapat memilih untuk menjadi golput karena beberapa alasan, berikut diantaranya.
1. Apatis Terhadap Politik
Apatis terhadap politik menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput. Masyarakat yang bersikap apatis terhadap urusan politik biasanya kehilangan minat dan kepercayaan terhadap proses pemilihan. Dampak buruk dari kebijakan politik dan berita korupsi oleh para pemimpin dapat meningkatkan apatis masyarakat, membuat mereka merasa bahwa partisipasi dalam pemilihan tidak akan memberikan dampak positif.Â
Meskipun golput tidak akan menjadi solusi, kurangnya keyakinan pada integritas pemimpin dan proses politik dapat membuat seseorang memilih untuk tidak memberikan suaranya.
2. Kurang PengetahuanÂ
Kurangnya pengetahuan tentang pemilu juga dapat menjadi alasan lain seseorang memilih untuk menjadi golput. Meskipun pemilu disosialisasikan melalui media massa dan media sosial, masih ada sebagian masyarakat yang tidak tahu tentang tanggal pasti pelaksanaannya.Â
Pemberitaan yang kurang efektif dan ketidakpedulian terhadap informasi pemilu dapat menyebabkan ketidakpahaman masyarakat tentang pentingnya partisipasi mereka. Oleh karena itu, sosialisasi yang efektif, termasuk peran institusi seperti Komisis Pemilihan Umum (KPU), dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin berintegritas.
3. Fasilitas Tidak Memadai
Kurangnya fasilitas bagi penyandang disabilitas juga menjadi faktor penyebab golput. Meskipun penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk memberikan suara, keterbatasan fisik sering kali menghambat mereka dalam mencoblos. Tidak tersedianya bantuan untuk pergi ke lokasi TPS atau surat suara khusus bagi disabilitas dapat membuat proses pemilihan menjadi sulit bagi mereka.Â
Upaya dari masyarakat yang peduli, seperti #KawanAksi, untuk membantu penyandang disabilitas dapat meminimalisir hambatan tersebut, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Sejarah Munculnya Golput di Indonesia
Pemilu 1971 yang dilaksanakan pada masa pemerintahan orde baru menjadi pemicu munculnya gerakan Golongan putih atau Golput. Pada masa itu golput menjadi sebuah gerakan politik yang lahir sebagai bentuk protes dari kalangan mahasiswa dan pemuda terhadap sistem pemilihan yang dianggap tidak demokratis.
Pada pemilu 1971 hanya ada sepuluh partai politik yang berpartisipasi, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemilu sebelumnya pada tahun 1955 yang melibatkan 172 partai politik. Ketidakpuasan terhadap pembatasan jumlah partai ini menyulut protes dari kalangan mahasiswa dan pemuda.
Arief Budiman, sebagai salah satu tokoh utama gerakan ini, bersama dengan sejumlah mahasiswa dan pemuda lainnya, menentang pemilu dan merasa bahwa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh sistem politik formal yang ada. Imam Waluyo mencetuskan istilah "golput" untuk menggambarkan sikap menolak untuk memberikan suara atau memilih dalam pemilu.Â
Gerakan ini mengajak masyarakat untuk memilih bagian putih di surat suara, di luar gambar partai politik, sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Meskipun gerakan ini memberikan suara "putih," nyatanya pada masa itu, banyak yang tetap pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena takut akan dicatat atau dikenai sanksi.
Seiring berjalannya waktu, golput tidak hanya menjadi gerakan protes, melainkan juga mencerminkan sikap apatis terhadap urusan politik. Dalam perkembangannya, golput menjadi fenomena yang terus berlangsung di setiap pemilihan umum di Indonesia. Dampaknya pun terasa, terutama dalam konteks pembentukan pemerintahan dan kebijakan publik.
Seiring berjalannya waktu, golput bukan hanya menjadi respons terhadap pemilihan yang dianggap tidak demokratis, tetapi juga mencerminkan kondisi sosial dan politik di Indonesia. Golput kemudian berkembang menjadi manifestasi ketidakpuasan dan keengganan untuk terlibat dalam proses politik.Â
Â
Advertisement