Istri Menggugat Cerai Suami Berhak atas Nafkah, Simak Bentuk dan Alasannya

Seorang istri yang menggugat cerai suami berhak atas nafkah, yakni nafkah madhiyah, nafkah iddah, nafkah mutah, dan nafkah anak.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 01 Feb 2024, 19:30 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2024, 19:30 WIB
Ilustrasi perceraian
Ilustrasi perceraian. (dok. cottonbro/Pexels/Brigitta Bellion)

Liputan6.com, Jakarta Hak-hak istri dalam perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu hak istri yang diatur dalam undang-undang yaitu mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya, jika merasa tidak mampu lagi menjalani kehidupan sebagai pasangan suami istri. Dalam hal ini, hak istri yang menggugat cerai suami mendapat jaminan perlindungan hukum. 

Hak istri yang menggugat cerai suami selanjutnya adalah meminta nafkah dan dukungan anak, jika ada anak yang menjadi tanggungan pasangan suami istri. Nafkah ini mencakup biaya hidup sehari-hari, tempat tinggal, pendidikan dan aspek kehidupan lainnya yang relevan. Hak ini bertujuan untuk memastikan bahwa istri dan anak-anaknya tetap mendapatkan dukungan finansial setelah perceraian.

Konsekuensi hukum bagi suami yang digugat cerai oleh istri adalah harus hadir dalam persidangan dan membela diri, atas gugatan yang diajukan oleh istri. Jika suami tidak hadir dalam persidangan, maka hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan atas gugatan cerai tersebut. Selain itu, suami juga harus memenuhi hak-hak istri sesuai dengan putusan hakim, baik itu terkait dengan nafkah, pembagian harta gono-gini, hak asuh anak dan sebagainya.

Dalam proses perceraian, hak istri yang menggugat cerai suami akan  mendapatkan hak asuh anak yang juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berikut ini penjelasan tetang hak setelah perceraian yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (1/2/2023). 

Nafkah Istri Setelah Perceraian

Ilustrasi Sidang Cerai
Ilustrasi Sidang Cerai

Dalam konteks perceraian dalam hukum Islam, hak istri memegang peranan penting setelah gugatan cerai diterima. Rendra Widyakso, dalam penelitiannya mengenai Tuntutan Nafkah dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Semarang, mengidentifikasi beberapa kategori pembagian nafkah yang menjadi hak mantan istri pasca perceraian.

1. Nafkah Madhiyah: Nafkah yang berkaitan dengan masa lalu dan tidak selalu terkait dengan cerai talak. Istilah ini mencakup tuntutan nafkah madhiyah yang dapat diajukan oleh istri saat suaminya mengajukan cerai talak, melalui gugatan rekonvensi.

2. Nafkah Iddah: Setelah putusan cerai, mantan istri menjalani masa iddah, dan hak nafkah iddah diatur oleh Al-Qur’an sebagai bagian dari konsekuensi cerai talak.

3. Nafkah Mut’ah: Hak ini muncul dari perasaan penderitaan mantan istri yang harus berpisah dengan suaminya. Nafkah mut’ah diwajibkan sebagai penghilang kesedihan, meskipun terdapat perbedaan pendapat apabila gugatan cerai diajukan oleh istri.

4. Nafkah Anak: Hak istri untuk menuntut nafkah anak muncul setelah peristiwa perceraian. Kewajiban ayah pada anak, sesuai dengan Ketentuan Hukum Islam (KHI), harus dipenuhi sesuai kemampuan hingga anak dapat mandiri.

Dalam kasus cerai karena talak, KHI secara spesifik menetapkan kewajiban bekas suami, termasuk memberikan nafkah mut’ah, nafkah iddah, melunasi mahar, dan memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai usia 21 tahun. Namun, ketika gugatan cerai diajukan oleh istri, KHI tidak secara eksplisit menyebutkan hak istri setelah cerai. Yang jelas, KHI menyatakan hak istri setelah menceraikan suaminya adalah mendapatkan nafkah iddah, kecuali jika ia terbukti melakukan nusyuz. Nusyuz, sebagai perilaku tidak taat dan memberontak terhadap suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum, dapat menjadi dasar untuk menentukan hak istri.

Dalam konteks ini, KHI menegaskan bahwa istri dapat dianggap nusyuz jika tidak memenuhi kewajiban utama, yaitu berbakti kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Apabila lian terjadi, yang merujuk pada sumpah suami-istri terkait tuduhan zina, perkawinan itu bubar, anak dikandung dianggap anak ibunya dan suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah. Tinjauan mendalam ini menggambarkan kerangka hak istri dalam konteks perceraian Islam, yang mencakup berbagai aspek nafkah dan kewajiban, serta konsekuensi hukum dalam berbagai skenario perceraian.

Bentuk-Bentuk Perceraian

Ilustrasi perceraian
Ilustrasi perceraian. (Gambar oleh Steve Buissinne dari Pixabay)

Cerai Talak

Cerai talak merupakan bentuk perceraian yang didasarkan pada keputusan suami yang dapat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Menurut kesepakatan para ulama, talak dalam bentuk lisan dan tulisan memiliki kekuatan hukum yang setara. Perbedaannya terletak pada cara penyampaiannya. Talak lisan terjadi ketika suami menyatakan talak dan istri mendengarnya, sedangkan talak tertulis terjadi ketika tulisan tersebut dibaca. Dengan kata lain, jika suami telah menulis pernyataan talak tetapi tulisan tersebut belum terbaca, maka talak dianggap belum terjadi.

Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan keputusan istri, yang dikenal dalam hukum Islam sebagai khulu’. Khulu’ berasal dari kata khal’u al-s'aub, yang berarti melepas pakaian. Para ulama menjelaskan bahwa khulu' adalah permintaan dari pihak istri agar suami menceraikannya dengan membayar uang tebusan. Khulu' juga termasuk dalam kategori talak, dengan inisiatif datang dari istri, meskipun suami tetap yang melaksanakan eksekusinya. Perbedaannya adalah adanya uang tebusan yang dibayarkan istri kepada suaminya, sehingga dapat disebut khulu' sebagai talak dengan tebusan.

Fasakh

Fasakh adalah pembatalan nikah seolah-olah tidak pernah terjadi. Bedanya dengan talak terletak pada fakta bahwa talak mengakhiri pernikahan tetapi tetap mengakui adanya pernikahan sebelumnya. Sebaliknya, fasakh menafikan, menolak, dan tidak mengakui pernikahan seolah-olah tidak pernah terjadi. Meskipun pernikahan sebenarnya pernah terjadi, ketika difasakh, pernikahan dianggap tidak sah. Oleh karena itu, keadaan hukum setelah fasakh sama persis dengan keadaan sebelum pernikahan terjadi, karena pernikahan dianggap tidak pernah ada. Dalam kaitannya antara khulu' dan fasakh, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa khulu' sebenarnya termasuk dalam kategori talak.

Alasan Menggugat Cerai Suami

Ilustrasi perceraian
Ilustrasi perceraian. (Gambar oleh Mohamed Hassan dari Pixabay)

Nafkah, sebagai dukungan finansial yang diberikan oleh suami kepada istri, menjadi salah satu aspek krusial dalam konteks gugatan cerai. Gugatan cerai yang diajukan oleh istri tidak hanya memicu perubahan status pernikahan, tetapi juga berdampak pada kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Meskipun Kitab Hukum Islam (KHI) tidak secara eksplisit merinci hak-hak istri pasca-gugatan cerai, Pasal 152 KHI memberikan gambaran tentang hak nafkah iddah yang dapat diterima oleh bekas istri dari bekas suaminya. Penting untuk dicatat bahwa hak ini memiliki pengecualian, yaitu jika istri terbukti melakukan nusyuz.

Selanjutnya, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 memberikan panduan tambahan mengenai hak istri setelah menggugat cerai suami. Dalam Lampiran SEMA 3/18, disebutkan bahwa hak istri dapat mencakup nafkah mut’ah dan nafkah iddah, selama tidak ada tindakan nusyuz yang terlibat. Nafkah mut’ah, yang melibatkan pemberian bekas suami kepada istri berupa benda, uang, atau hal lainnya, menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Namun, keputusan mengenai nafkah mut’ah ini tetap bergantung pada pertimbangan keadilan yang diberikan oleh hakim.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang membuat suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai pasangan.

Terdapat beberapa alasan untuk isteri dalam menggugat suami jika ditinjau dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 116 KHI, yaitu sebagai berikut:

  1. Suami berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Suami meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
  3. Suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap isteri.
  5. Suami mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami.
  6. Suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik talak;Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya