Tone Deaf adalah Istilah yang Viral di Media Sosial, Simak Ciri-Ciri dan Cara Mengatasinya

Tone-deaf adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak mampu memahami situasi di sekitarnya.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 20 Mar 2024, 20:00 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2024, 20:00 WIB
Seputar Persuasif
Ilustrasi Strategi Komunikasi Persuasif Credit: pexels.com/fauxels

Liputan6.com, Jakarta Tone deaf adalah istilah yang sering digunakan, untuk menggambarkan seseorang yang tidak mampu memahami situasi di sekitarnya. Dalam konteks sosial, istilah ini merujuk pada seseorang yang kurang peka terhadap nuansa dan keadaan sosial yang terjadi di sekitarnya. 

Baik dalam percakapan langsung maupun di media sosial, tone deaf dapat dilihat dari pilihan kata atau tindakan yang tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Misalnya, seseorang yang tone deaf mungkin tidak sadar bahwa ucapan mereka dapat menyakiti atau menghina orang lain. Mereka juga tidak peka terhadap konteks sosial, atau budaya yang mempengaruhi komunikasi.

Fenomena tone deaf juga seringkali terjadi di media sosial. Di era digital ini, kita bisa melihat banyak contoh orang yang tone deaf dalam mengunggah konten, atau berkomentar di platform seperti TikTok atau Instagram. Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka tulis atau bagikan dapat menyinggung, atau menjadi bahan hujatan bagi orang lain. 

Oleh sebaba itu, memahami tone deaf dan berusaha untuk tidak menjadi salah satu orang yang tone deaf, adalah langkah awal yang perlu diambil dalam membangun hubungan yang harmonis dan menghormati orang lain. Berikut ini cara mengatasi sifat tone deaf yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (20/3/2024). 

 

Mengenal Apa Itu Tone Deaf

Ilustrasi ngobrol, komunikasi di kantor, tempat kerja
Ilustrasi ngobrol, komunikasi di kantor, tempat kerja. (Photo by fauxels from Pexels)

Pasca pandemi, terjadi pergeseran budaya yang menarik perhatian banyak orang. Masyarakat menjadi lebih peka terhadap perasaan dan pengalaman satu sama lain. Semua orang tampaknya memiliki pemahaman yang lebih dalam, tentang perjuangan yang mereka alami bersama. Ini mendorong munculnya rasa empati yang lebih kuat di antara individu-individu. Rasa solidaritas yang timbul akibat perasaan bersama ini, telah menjadikan empati menjadi salah satu nilai kunci dalam hubungan sosial.

Meskipun demikian, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami perasaan dan pengalaman orang lain dengan baik. Beberapa individu mungkin kurang terlatih dalam menjadi pendengar yang baik, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, atau bahkan kesulitan untuk merasakan empati secara alami. Orang-orang ini sering disebut sebagai "tone deaf".

Lebih lanjut, individu yang dikategorikan sebagai "tone deaf" seringkali dianggap sebagai orang yang sombong. Namun, mungkin saja mereka tidak memiliki niat untuk bersikap seperti itu. Mereka mungkin hanya belum pernah mengalami situasi yang menyedihkan, atau sulit yang dialami oleh orang lain, sehingga sulit bagi mereka untuk memahami perasaan tersebut. Tone deaf dalam konteks sosial, mengacu pada ketidakpekaan seseorang terhadap norma, aturan, atau kondisi di sekitarnya. Istilah ini awalnya digunakan dalam ranah musik, untuk menyatakan ketidakmampuan seseorang dalam mengikuti nada atau melodi, bahkan untuk lagu-lagu dengan melodi yang sederhana.

Meskipun secara sekilas tone deaf mungkin terlihat mirip dengan sifat egois, keduanya sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup besar. Sifat egois membuat seseorang lebih cenderung memprioritaskan kepentingan diri sendiri, tanpa memperhitungkan dampaknya pada orang lain. Sementara tone deaf lebih menyoroti ketidakpekaan terhadap perasaan dan pengalaman orang lain.

Ciri-Ciri Tone Deaf

Ilustrasi komunikasi, ngobrol, dialog
Ilustrasi komunikasi, ngobrol, dialog. (Photo Copyright by Freepik)

Kesulitan membaca situasi sosial

Kesulitan membaca situasi sosial bisa mencakup berbagai aspek. Misalnya, dalam interaksi sehari-hari, seseorang mungkin kesulitan menyesuaikan volume suara mereka saat berbicara di berbagai konteks, seperti saat berbicara melalui telepon. Selain itu, mereka mungkin juga tidak peka terhadap tanda-tanda ketidaknyamanan pada orang lain, seperti bahasa tubuh atau ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Contoh lainnya adalah ketika seseorang terlihat tidak nyaman dengan topik obrolan tertentu. Orang yang kesulitan membaca situasi, mungkin tidak menyadari bahwa mereka seharusnya mengubah topik pembicaraan, untuk membuat orang tersebut merasa lebih nyaman. Akibatnya, mereka bisa saja melanjutkan topik yang membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Kesulitan memahami budaya dan adat istiadat

Setiap daerah memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda dan penting bagi setiap individu, untuk menghormati dan mengikuti adat tersebut saat berada di lingkungan tersebut. Namun, individu yang kurang peka secara emosional mungkin kesulitan dalam memahami dan mengikuti adat tersebut. Mereka cenderung tetap mempertahankan kebiasaan mereka sendiri, tanpa memperhatikan norma yang berlaku di sekitar mereka. Akibatnya, mereka bisa saja melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas atau tidak sopan oleh orang lain karena tidak sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Selain itu, mereka juga mungkin tidak memahami atau tidak peka terhadap norma sosial yang berlaku di lingkungan mereka, seperti norma mengenai berbicara di depan umum atau menggunakan barang milik orang lain tanpa izin.

Kurangnya kepekaan terhadap perasaan orang lain

Individu yang kurang peka secara emosional juga cenderung kurang mampu, dalam memahami dan merespons perasaan orang lain dengan tepat. Mereka mungkin tidak menyadari dampak kata-kata atau tindakan mereka terhadap perasaan orang lain, dan mungkin tidak tahu cara yang tepat untuk memberi dukungan atau menghibur orang yang sedang mengalami kesulitan. Hal ini membuat mereka dianggap kurang mampu dalam berempati dan sulit untuk memahami perasaan serta pengalaman orang lain. Dengan kurangnya kesadaran akan perasaan orang lain, mereka mungkin tidak menyadari pentingnya mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan yang diperlukan dalam situasi-situasi sulit.

Cara Menghindari Tone Deaf

Ilustrasi Komunikasi
Ilustrasi komunikasi. (dok. Priscilla Du Preez/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Menyadari kesalahan dan bersedia untuk memperbaikinya adalah tindakan yang sangat baik dalam menjalani kehidupan. Ini menunjukkan bahwa seseorang siap menerima kenyataan dan berkomitmen untuk berubah menjadi lebih baik. Jika Anda menyadari bahwa Anda mungkin terdengar tone deaf, ada langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk memperbaiki pemahaman Anda terhadap perasaan orang lain:

Melihat dari Perspektif Lain

Menurut penelitian, salah satu cara terbaik untuk memahami perasaan orang lain adalah dengan mencoba membayangkan diri Anda dalam situasi mereka. Cobalah untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Tanyakan pada diri sendiri, bagaimana Anda akan merasa jika berada dalam posisi mereka? Misalnya, jika Anda biasanya mudah membeli barang-barang, bayangkan bagaimana rasanya harus menabung untuk waktu yang lama karena uangnya terbatas. Dengan cara ini, Anda dapat mulai merasakan empati terhadap perasaan orang lain.

Bersikap Tepat pada Waktu yang Tepat

Perhatikan orang yang sedang berbicara dengan Anda dan responslah sesuai dengan isi ceritanya. Jika ceritanya menyedihkan, tunjukkan empati dengan merasa sedih juga. Jika ceritanya membahagiakan, berikanlah senyuman dan ucapkan selamat. Terkadang, orang hanya ingin merasa didengar saat mereka bercerita. Dengan memberikan respons yang sesuai, Anda dapat membuat mereka merasa lebih dipahami dan dihargai.

Bertanya dan Mendengarkan

Cerita orang lain mungkin sulit dipahami atau tidak masuk akal bagi Anda. Namun, perasaan orang lain tidak selalu bisa dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, penting untuk bertanya tentang perasaan mereka dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan bertanya, Anda memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menjelaskan perasaan mereka dengan lebih jelas. Ini membantu Anda memahami sudut pandang dan perasaan mereka dengan lebih baik.

Kadang, orang tidak menyadari jika mereka kurang peka terhadap perasaan orang lain. Mereka mungkin diberi label sebagai tidak empatik atau tidak berperasaan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka adalah orang yang buruk. Mereka hanya perlu melatih diri untuk lebih memahami dan menghargai perasaan orang lain, serta melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Dengan demikian, mereka dapat menjadi individu yang lebih baik dalam berinteraksi dengan orang lain.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya