Liputan6.com, Jakarta Gangguan identitas disosiatif atau yang dikenal juga dengan nama gangguan kepribadian multipel, adalah kondisi yang biasanya berkembang sebagai respons terhadap trauma. Trauma yang dialami oleh seseorang dapat menyebabkan pemisahan, atau disosiasi identitas yang beberapa diantaranya memunculkan perasaan berbeda dalam satu individu.
Oleh sebab itu, perawatan gangguan identitas disosiatif bertujuan untuk membantu individu, dalam mengelola trauma yang mereka alami, serta mengintegrasikan identitas yang terpecah menjadi satu. Terapi utama yang digunakan dalam perawatan ini adalah terapi integratif, di mana melibatkan kolaborasi antara psikiater dan psikoterapis.
Selama perawatan gangguan identitas disosiatif melalui terapi, individu diajarkan untuk mengenali dan memahami identitas yang terpecah, serta bagaimana identitas-identitas tersebut saling berhubungan. Selain itu, teknik terapi lain yang dapat digunakan mencakup terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi kelompok.
Advertisement
Sejumlah terapi ini bertujuan untuk mengurangi gejala disosiatif, seperti hilang ingatan dan pemisahan identitas, meningkatkan fungsi dan kualitas hidup individu, serta membantu mereka mengatasi respon terhadap trauma. Adapun perawatan gangguan identitas disosiatif membutuhkan kesabaran, kerja sama, dan komitmen dari individu yang mengalami kondisi ini.
Berikut ini perawatan gangguan identitas disosiatif yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Senin (29/4/2024).
Perawatan Gangguan Identitas Disosiatif
1. Psikoterapi
Perawatan gangguan identitas disosiatif yang pertama adalah psikoterapi, salah satu pendekatan terapi yang paling umum digunakan dalam pengobatan gangguan disosiatif. Pendekatan ini bertujuan untuk menyatukan berbagai aspek kepribadian individu yang mungkin terbagi-bagi, atau terpisah karena efek dari gangguan disosiatif. Proses psikoterapi membutuhkan waktu yang lama dan seringkali melibatkan eksplorasi mendalam, tentang pengalaman-pengalaman traumatis yang mungkin menjadi penyebab dari gangguan disosiatif tersebut. Selain itu, psikoterapi juga bertujuan untuk membantu individu memahami, mengelola, dan mengatasi gejala-gejala gangguan disosiatif mereka.
2. Terapi Keluarga
Terapi keluarga merupakan pendekatan terapi, yang melibatkan anggota keluarga individu yang mengalami gangguan disosiatif. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan dukungan kepada anggota keluarga, tentang gangguan disosiatif serta membantu mereka memahami, dan mengelola gejala-gejala yang mungkin timbul pada individu yang mengalami gangguan tersebut. Selain itu, terapi keluarga juga dapat membantu meningkatkan komunikasi dan dukungan antar anggota keluarga, yang dapat menjadi faktor penting dalam proses penyembuhan individu yang mengalami gangguan disosiatif.
3. Pemberian Obat-Obatan
Meskipun tidak ada obat yang secara khusus dapat menyembuhkan gangguan disosiatif, pemberian obat-obatan tertentu mungkin diperlukan untuk meredakan gejala-gejala yang terkait dengan gangguan tersebut, seperti kecemasan atau depresi. Biasanya, obat-obatan yang digunakan termasuk antidepresan atau obat anti-kecemasan. Penting untuk dicatat bahwa penggunaan obat-obatan harus selalu dilakukan di bawah pengawasan dokter.
4. Terapi Bicara
Terapi bicara seringkali disebut sebagai konseling, menjadi salah satu pendekatan yang sangat disarankan, untuk mengatasi gangguan disosiatif. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemahaman dan pemecahan akar masalah yang mendasari gejala-gejala individu. Tujuan utamanya adalah untuk membantu individu memahami penyebab yang mendasari gejala-gejalanya, serta memberikan keterampilan dan strategi untuk mengelola periode perasaan terputus yang mungkin mereka alami.
5. Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
Terapi Perilaku Kognitif, atau CBT, adalah pendekatan lain yang sering digunakan dalam pengobatan gangguan disosiatif. CBT bertujuan untuk mengubah pola pikir (kognitif) individu sehingga perilaku mereka dapat berubah. Dalam konteks gangguan disosiatif, CBT juga bertujuan untuk membantu individu mengidentifikasi dan mengatasi akar penyebab dari gangguan tersebut. Melalui CBT, individu diajarkan untuk mengenali dan mengubah pola pikir yang negatif dan tidak sehat, yang mungkin menyebabkan atau memperburuk gejala gangguan disosiatif.
6. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
EMDR adalah pendekatan terapi yang menggabungkan gerakan mata, dengan proses pemrosesan mental yang bertujuan untuk mengurangi efek traumatis, dari peristiwa-peristiwa yang menyebabkan gangguan disosiatif. Melalui EMDR, individu diajak untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa traumatis di masa lalu, sambil menggunakan gerakan mata atau rangsangan sensoris lainnya. Tujuannya adalah untuk membantu individu mengurangi kecemasan, ketegangan dan gejala-gejala disosiatif yang terkait dengan peristiwa traumatis tersebut.
Â
Advertisement
Mengenal Dissociative Identity Disorder dan Gejalanya
Dissociative Identity Disorder (DID) adalah sebuah kondisi kompleks, yang mengakibatkan individu mengalami pembentukan dua atau lebih kepribadian berbeda di dalam diri mereka. Kepribadian asli sering disebut sebagai kepribadian inti, sementara kepribadian tambahan disebut sebagai kepribadian alternatif. Setiap kepribadian yang ada dalam individu dengan DID dapat memiliki karakteristik yang unik, termasuk nama, jenis kelamin dan bahkan usia yang berbeda.
Ketika kepribadian alternatif muncul, individu tersebut sering kali mengalami amnesia dan kehilangan kesadaran akan keberadaan kepribadian alternatif tersebut, serta tindakan yang dilakukan oleh kepribadian tersebut ketika mengambil alih. Sebelumnya, kondisi ini memiliki berbagai istilah, seperti split disorder, multiple personality disorder, atau kepribadian ganda.
DID merupakan salah satu jenis utama dari gangguan disosiatif, menurut buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Gangguan disosiatif sendiri melibatkan ketidaksesuaian antara memori, pikiran dan identitas, yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari individu tersebut. Individu dengan DID, atau disebut juga kepribadian ganda, memiliki dua atau lebih identitas yang dikenal sebagai core dan alter. Core adalah kepribadian inti, sementara alter adalah kepribadian tambahan yang mungkin muncul.
Alter cenderung memiliki perbedaan yang mencolok antara satu sama lain, dalam hal karakteristik dan perilaku. Mereka dapat memiliki jenis kelamin, etnisitas, minat dan cara berinteraksi yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Beberapa tanda dan gejala umum yang sering terlihat pada individu dengan gangguan kepribadian ganda termasuk:
- Perasaan cemas yang berlebihan dan tidak dapat dikendalikan.
- Keyakinan yang tidak sesuai dengan realitas.
- Perasaan sedih dan putus asa yang berkepanjangan.
- Kehilangan orientasi atau arah.
- Sensasi seperti terpisah dari identitas atau tubuh sendiri.
- Cara individu melihat orang dan situasi sekitarnya terdistorsi atau tidak nyata.
- Lupa akan peristiwa atau informasi penting.
- Berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
- Melakukan tindakan yang menyebabkan cedera pada diri sendiri.
- Menggunakan zat-zat tersebut sebagai cara untuk mengatasi gejala atau merasa lega.
Penyebab
Gangguan Disosiatif adalah kondisi mental yang kompleks yang ditandai dengan pemisahan atau gangguan dalam fungsi normal pikiran, identitas, ingatan, atau kesadaran. Penyebab gangguan disosiatif bisa berasal dari berbagai faktor yang kompleks dan seringkali berinteraksi satu sama lain. Berikut ini merupakan beberapa penyebab umum gangguan disosiatif yang perlu dipahami lebih dalam:
1. Trauma
Pengalaman trauma yang ekstrem, seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, atau kecelakaan serius, dapat menjadi pemicu utama gangguan disosiatif. Individu yang mengalami trauma tersebut mungkin mengalami pemisahan diri dari peristiwa traumatis tersebut, melalui amnesia disosiatif atau bahkan memiliki identitas ganda sebagai mekanisme perlindungan diri.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang mengalami kekerasan, pertikaian keluarga yang parah, atau ketidakstabilan dapat berkontribusi terhadap perkembangan gangguan disosiatif. Stres kronis yang hadir dalam lingkungan tersebut dapat memicu respons yang tidak sehat dalam otak yang kemudian mengarah pada disosiasi.
3. Stres Emosional
Stres yang terkait dengan tekanan emosional, seperti kehilangan orang terdekat, perpisahan, atau situasi hidup yang sulit, juga dapat menjadi pemicu gangguan disosiatif. Proses disosiasi seringkali menjadi mekanisme perlindungan diri, yang digunakan untuk sementara melarikan diri dari realitas yang menyakitkan, atau tekanan emosional yang berlebihan.
4. Faktor Genetika dan Faktor Fisik
Studi menunjukkan bahwa gangguan disosiatif mungkin memiliki korelasi, dengan faktor genetik dan faktor fisik tertentu. Terdapat bukti bahwa kondisi ini dapat bersifat herediter, artinya dapat diturunkan dari generasi ke generasi, dan juga memiliki kaitan dengan perubahan kimia otak yang terkait dengan gangguan neurotransmitter.
Memahami penyebab-penyebab ini dengan lebih dalam, dapat membantu dalam diagnosis yang lebih tepat dan pengelolaan yang lebih efektif terhadap gangguan disosiatif. Melalui pendekatan yang holistik dan multidimensional, individu yang terkena gangguan ini dapat mendapatkan bantuan yang sesuai dan memulai proses pemulihan yang berkelanjutan.
Advertisement