Kehidupan Suku Baduy, Identitas, dan Asal-usulnya dari Pedalaman Banten

Baduy terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni Baduy dalam dan luar.

oleh Laudia Tysara diperbarui 23 Agu 2024, 09:45 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2024, 09:45 WIB
Ngertakeun Bumi Lamba
Masyarakat adat Kanekes Baduy turut hadir pada Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di kawasan Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat, Minggu, 23 Juni 2024. (Liputan6,com/Dikdik Ripaldi).

Liputan6.com, Jakarta - Baduy adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat adat Sunda yang tinggal di pedalaman Provinsi Banten, Indonesia. Komunitas ini dikenal karena keteguhan mereka dalam menjaga tradisi leluhur dan menolak modernisasi, menjadikan mereka salah satu suku paling unik di Indonesia.

Mengenali Suku Baduy penting bagi kita untuk memahami kekayaan budaya Indonesia dan bagaimana sebuah komunitas dapat mempertahankan identitasnya di tengah arus globalisasi.

Mempelajari tentang Baduy memberi kita wawasan tentang cara hidup alternatif yang harmonis dengan alam dan nilai-nilai tradisional. Suku ini menunjukkan bahwa ada cara hidup yang berbeda dari masyarakat modern pada umumnya, di mana kesederhanaan dan pelestarian lingkungan menjadi prioritas utama.

Keunikan Baduy juga menjadi daya tarik bagi para peneliti, antropolog, dan wisatawan yang ingin mempelajari atau mengalami kehidupan yang berbeda dari hiruk-pikuk perkotaan.

Suku Baduy bermukim di wilayah Pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Meskipun lokasinya tidak terlalu jauh dari Kota Jakarta, sekitar 160 kilometer, namun kehidupan mereka sangat berbeda dari masyarakat urban.

Baduy terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni Baduy Dalam yang masih sangat tradisional dan tertutup. Lalu, Baduy Luar yang sudah lebih terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar. Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Jumat (23/8/2024).

Lokasi Keberadaan Suku Baduy

Rangkaian Tradisi Adat Ngaseuk Suku Baduy Luar
Masyarakat adat Suku Baduy melakukan Tarian Ngalage usai rangkaian tradisi adat Ngaseuk di kampung Karangkerit, desa Bojong Menteng, Banten, Senin (1/11/2021). Tradisi Ngaseuk merupakan musim tanam untuk suku Baduy yang nanti hasil panen untuk upeti pemerintah daerah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Suku Baduy bermukim di wilayah Pegunungan Kendeng, tepatnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Melansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud RI), lokasi Desa Kanekes berjarak sekitar 160 km dari ibu kota Jakarta dan sekitar 78 km dari pusat pemerintahan Provinsi Banten di kota Serang.

Jarak dari pintu masuk Desa Kanekes ke pusat kota Kecamatan Leuwidamar adalah 27 km, sementara jarak ke pusat kota Kabupaten Lebak di Rangkasbitung sekitar 50 km.

Wilayah Baduy memiliki kondisi geografis yang berbukit-bukit, menjadi bagian dari kawasan Pegunungan Kendeng. Luas Desa Kanekes, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 1990, adalah 5.101,85 hektar. Area ini mencakup huma (ladang atau lahan pertanian), permukiman, serta hutan lindung. Masyarakat Baduy tersebar di sekitar 59 kampung yang terbagi dalam dua wilayah utama.

Pola permukiman Baduy dibangun dalam bentuk kampung atau lembur. Setiap kampung didirikan di lokasi yang memiliki sumber air, baik berupa mata air, sungai, atau selokan. Di dalam kampung, rumah-rumah panggung dibangun mengelompok dengan jarak antar rumah sekitar 2-3 meter.

Meskipun rumah-rumah ini tidak memiliki jendela, udara dan sinar matahari dapat masuk melalui celah-celah dinding. Tata letak kampung Baduy dirancang sedemikian rupa dengan mempertimbangkan kebutuhan dan tradisi mereka.

Lokasi Tinggal Baduy Luar

Baduy Luar, yang juga dikenal sebagai Baduy Panamping, menempati wilayah di sebelah timur, barat, dan utara dari Desa Kanekes. Melansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud RI), wilayah Baduy Luar terdiri dari 56 kampung.

Berbeda dengan Baduy Dalam yang hanya memiliki tiga kampung tetap, jumlah kampung di wilayah Baduy Luar dapat bertambah seiring waktu, karena penambahan anak kampung hanya diizinkan di wilayah ini.

Baduy Luar memiliki karakteristik yang berbeda dengan Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Luar sudah lebih terbuka terhadap interaksi dengan dunia luar dan telah mengadopsi beberapa elemen modernitas, meskipun masih dalam batasan tertentu.

Mereka sudah diperbolehkan menggunakan beberapa peralatan modern dan berinteraksi dengan pengunjung atau wisatawan. Namun, mereka tetap menjaga banyak tradisi dan nilai-nilai adat Baduy.

Selain Baduy Luar yang tinggal di dalam wilayah Desa Kanekes, terdapat juga kelompok yang disebut warga Dangka. Mereka adalah warga Baduy yang tinggal di luar Desa Kanekes namun masih dianggap sebagai bagian dari komunitas Baduy. Meskipun berada di luar Kanekes, mereka tetap terlibat dalam kegiatan adat di Baduy dan para pemimpin mereka selalu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan penting di komunitas Baduy.

 

Identitas dan Kehidupan Suku Baduy

Suku Baduy Zero COVID-19 dan Wasiat Leluhurnya
Suku Baduy yang tinggal di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Banten (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Baduy adalah suku yang termasuk dalam rumpun suku Sunda. Melansir dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf RI), Suku Baduy, atau dalam bahasa Sunda disebut Urang Kanékés, merupakan sub-etnis dari suku Sunda yang tinggal di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Populasi mereka diperkirakan sekitar 26.000 orang.

Baduy dikenal sebagai kelompok masyarakat yang menutup diri dari dunia luar, terutama Baduy Dalam yang masih sangat menjaga tradisi dan menolak modernisasi.

Kehidupan Suku Baduy sangat unik dan berbeda dari masyarakat modern pada umumnya. Mereka hidup dengan prinsip kesederhanaan dan harmoni dengan alam. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani di lahan kering atau ngahuma. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan seperti menyadap nira, membuat kerajinan anyaman, menenun kain khas Baduy, dan membuat gula aren.

Baduy Dalam masih sangat ketat dalam menjaga tradisi, menolak penggunaan teknologi modern, dan bahkan tidak mengizinkan penggunaan listrik di wilayah mereka.

Suku Baduy memiliki sistem pemerintahan ganda, yaitu sistem pemerintahan formal yang mengacu pada sistem pemerintahan negara Indonesia, dan sistem pemerintahan informal atau adat yang disebut lembaga kapuunan.

Dalam sistem adat, pemimpin tertinggi adalah puun yang dianggap sebagai keturunan langsung dari karuhun atau leluhur mereka. Kehidupan sosial dan budaya Baduy sangat diatur oleh adat istiadat yang ketat, termasuk dalam hal pernikahan, upacara adat, dan interaksi dengan dunia luar.

 

Kepercayaan Suku Baduy

Rangkaian Tradisi Adat Ngaseuk Suku Baduy Luar
Masyarakat adat Suku Baduy Luar jalan kaki menuju tempat rangkaian tradisi adat Ngaseuk di kampung Karangkerit, desa Bojong Menteng, Banten, Senin (1/11/2021). Tradisi Ngaseuk merupakan musim tanam untuk suku Baduy yang nanti hasil panen untuk upeti pemerintah daerah. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Suku Baduy menganut kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan. Melansir dari Fishipol UNY, kepercayaan ini merupakan sistem keyakinan yang unik, menggabungkan elemen-elemen animisme, dinamisme, dan penghormatan terhadap leluhur.

Dalam Sunda Wiwitan, mereka percaya pada Nabi Adam atau yang mereka sebut sebagai Nabi Adam Tunggal. Menurut kepercayaan mereka, Nabi Adam Tunggal adalah orang pertama yang turun ke bumi, dan tempat jatuhnya tepat berada di daerah Baduy.

Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, tidak ada tempat ibadah formal seperti masjid atau gereja. Mereka juga tidak memiliki simbol-simbol keagamaan yang nyata atau ritual ibadah harian seperti sholat lima waktu dalam Islam. Sebaliknya, mereka menekankan pada konsep "hidup benar" dan "ngaji diri" atau introspeksi diri.

Menurut penuturan salah satu petinggi Baduy, masyarakat Baduy diajarkan untuk hidup benar, tidak rakus, tidak sombong, tidak iri dengan sesama, dan tidak berbuat jahat.

Pusat spiritual Suku Baduy berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Tempat ini dianggap sakral dan merupakan sisa kompleks peninggalan megalitik. Pemimpin spiritual tertinggi adalah puun, yang dianggap sebagai keturunan langsung dari leluhur mereka.

Puun memimpin berbagai upacara adat penting seperti kawalu, ngalaksa, seba, muja, dan tolak bala. Meskipun mereka memiliki kepercayaan sendiri, Suku Baduy tetap mengakui keberadaan mereka sebagai bagian dari negara Indonesia dan menghormati pemerintah, yang tercermin dalam tradisi seba atau mengantarkan hasil panen kepada pemerintah setempat setiap tahun.

Asal-usul Suku Baduy

Asal-usul Suku Baduy masih menjadi subjek perdebatan di kalangan para ahli. Melansir dari VOI, terdapat beberapa versi mengenai asal-usul masyarakat Baduy. Satu versi menyatakan bahwa orang Baduy merupakan pelarian dari Kerajaan Pajajaran di Bogor.

Versi lain mengatakan bahwa orang Baduy berasal dari Banten Utara yang berpindah ke arah pegunungan di sebelah selatan Banten dan menetap di Desa Kanekes karena pengaruh sosial politik.

Pleyte (1909) menganggap orang Baduy berasal dari daerah Bogor, yaitu Pajajaran. Sementara Jacob dan Meijer J.J (1891) berpendapat orang Baduy melarikan diri dari pengaruh Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin yang diperkirakan berasal dari daerah Banten Utara.

Kruseman dan Penning mencoba menggabungkan dua pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa orang Baduy adalah penduduk Banten yang mengaku keturunan Pajajaran, kemudian merasa terdesak oleh Maulana Hasanudin pada abad ke-16 dan menyingkir ke daerah Pegunungan Kendeng.

Menurut Sucipto dan Limbeng dalam "Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten" (2007), sebutan "Baduy" sebenarnya diberikan oleh orang luar. Ada yang mengatakan sebutan itu muncul karena mereka menetap di daerah bernama Cibaduy atau dekat Sungai Cibaduy.

Ada juga anggapan bahwa sebutan itu merupakan ejekan dari penduduk Banten Selatan yang sudah menganut agama Islam, menyamakan mereka dengan orang Badawi di Arab. Masyarakat Baduy sendiri lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes atau urang Rawayan, atau menyebut diri sesuai dengan kampung asalnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya