Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan viralnya informasi mengenai beberapa produk yang identik dengan minuman beralkohol seperti tuak, beer, dan wine yang diklaim telah mendapatkan sertifikasi halal. Kontroversi ini memunculkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat: "Sertifikasi halal dikeluarkan oleh siapa?" Mengingat produk-produk tersebut secara umum dikenal sebagai minuman haram dalam Islam.
Baca Juga
Advertisement
Kasus ini menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan sengit tentang kredibilitas proses sertifikasi halal di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga yang selama ini dikenal memiliki otoritas dalam hal fatwa kehalalan produk, bahkan menyatakan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut.
Kontroversi ini tidak hanya menimbulkan kebingungan di masyarakat, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang sistem sertifikasi halal di Indonesia. Siapa sebenarnya yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal? Bagaimana proses sertifikasinya? Dan mengapa bisa terjadi kasus seperti ini?
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang sertifikasi halal di Indonesia, pihak-pihak yang terlibat, sejarah perkembangannya, hingga kontroversi terkini yang mengemuka. Mari kita telusuri bersama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang isu krusial ini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (2/10/2024).
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal, penting bagi kita untuk memahami sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia. Perjalanan sertifikasi halal di negeri ini memiliki latar belakang yang panjang dan menarik.
Awal Mula: Labelisasi Produk Non-Halal
Cikal bakal sertifikasi halal di Indonesia sebenarnya dimulai dari kebijakan labelisasi produk non-halal. Pada tahun 1976, Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi. Keputusan ini mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi untuk diberi label "mengandung babi" dengan gambar babi merah di atas latar putih.
Kasus Lemak Babi dan Lahirnya LPPOM-MUI
Titik balik dalam sejarah sertifikasi halal di Indonesia terjadi pada tahun 1988. Saat itu, masyarakat dihebohkan dengan temuan penelitian Dr. Ir. H. Tri Susanto, M.App.Sc., yang menyebutkan beberapa produk makanan populer mengandung lemak babi. Kasus ini memicu keresahan di kalangan umat Islam dan mendorong pemerintah serta MUI untuk mengambil tindakan.
Sebagai respon terhadap situasi ini, pada 6 Januari 1989, MUI mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM-MUI). Lembaga ini diberi mandat untuk melakukan pengkajian kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat.
Era Sertifikasi Halal oleh MUI
Sejak berdirinya LPPOM-MUI, proses sertifikasi halal di Indonesia mulai berjalan lebih sistematis. MUI, melalui LPPOM-MUI, menjadi lembaga yang dipercaya untuk melakukan audit dan memberikan sertifikasi halal kepada produk-produk yang memenuhi syarat. Selama puluhan tahun, MUI memegang peran sentral dalam proses sertifikasi halal di Indonesia.
Advertisement
Sertifikasi Halal Dikeluarkan oleh Siapa?
Setelah memahami sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia, kita akan masuk ke pertanyaan inti: sertifikasi halal dikeluarkan oleh siapa? Jawabannya tidak sesederhana yang mungkin dibayangkan, karena telah terjadi perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Era Baru: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Sejak tanggal 17 Oktober 2019, kewenangan penerbitan sertifikat halal di Indonesia beralih dari MUI ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). BPJPH adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia.
Pembentukan BPJPH didasarkan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini mengamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Peran BPJPH dalam Sertifikasi Halal
BPJPH memiliki wewenang untuk:
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH
3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada produk
4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri
5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal
Proses Sertifikasi Halal oleh BPJPH
Proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh BPJPH melibatkan beberapa tahapan:
1. Pengajuan permohonan sertifikasi halal oleh pelaku usaha
2. Pemeriksaan kelengkapan dokumen
3. Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)
4. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
5. Sidang fatwa halal oleh MUI
6. Penerbitan sertifikat halal
Peran MUI dalam Era BPJPH
Meskipun kewenangan penerbitan sertifikat halal telah beralih ke BPJPH, MUI tetap memiliki peran penting dalam proses sertifikasi halal. MUI bertugas:
1. Memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk
2. Melakukan sertifikasi terhadap Auditor Syariah
3. Melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)
Kontroversi Terkini: Produk Alkohol Bersertifikat Halal
Setelah memahami siapa yang berwenang mengeluarkan sertifikasi halal, mari kita bahas kontroversi terkini yang mengemuka. Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan beredarnya informasi bahwa beberapa produk yang identik dengan minuman beralkohol seperti tuak, beer, dan wine telah mendapatkan sertifikasi halal.
Kronologi Kejadian
Berdasarkan informasi yang beredar, ditemukan bahwa beberapa produk dengan nama yang mengandung kata "tuak", "beer", "wine", dan bahkan "tuyul" telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH. Informasi ini menyebar cepat di media sosial dan memicu keresahan di masyarakat.
Tanggapan MUI
Menanggapi kontroversi ini, MUI segera melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mengklarifikasi masalah. Hasil investigasi MUI mengonfirmasi bahwa informasi tersebut valid. Produk-produk tersebut memang memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
Prof. Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa, menegaskan bahwa penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI menyatakan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut.
Standar Penamaan Produk Halal
MUI menjelaskan bahwa berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal dan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan:
1. Produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
2. Produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol.
3. Pengecualian diberikan untuk produk yang termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.
Kerawanan dalam Sertifikasi Self Declare
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda, seperti dilansir dari laman MUI menjelaskan bahwa sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, terutama melalui self declare, harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi standar halal yang berlaku.
Advertisement
Dampak Kontroversi dan Langkah ke Depan
Kontroversi ini tentu saja memiliki dampak yang signifikan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sistem sertifikasi halal di Indonesia. Beberapa dampak dan langkah ke depan yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Urgensi Sinergi antar Lembaga
Kasus ini menunjukkan pentingnya sinergi yang lebih baik antara BPJPH dan MUI dalam proses sertifikasi halal. Kedua lembaga perlu meningkatkan koordinasi untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.
2. Evaluasi Sistem Self Declare
Sistem sertifikasi halal melalui self declare perlu dievaluasi kembali. Perlu ada mekanisme kontrol yang lebih ketat untuk memastikan bahwa produk yang mendapat sertifikasi melalui jalur ini benar-benar memenuhi standar kehalalan yang ditetapkan.
3. Edukasi Masyarakat
Penting untuk meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang proses sertifikasi halal dan bagaimana cara memverifikasi keabsahan sertifikat halal suatu produk.
4. Penguatan Regulasi
Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memperkuat regulasi terkait sertifikasi halal, terutama dalam hal penamaan produk dan standar yang harus dipenuhi.
5. Transparansi Proses Sertifikasi
BPJPH perlu meningkatkan transparansi dalam proses sertifikasi halal. Informasi tentang produk yang telah mendapatkan sertifikat halal harus mudah diakses oleh masyarakat.
Pertanyaan "sertifikasi halal dikeluarkan oleh siapa?" kini memiliki jawaban yang lebih kompleks. Secara resmi, BPJPH adalah lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal di Indonesia. Namun, proses sertifikasi halal melibatkan berbagai pihak, termasuk MUI yang masih memegang peran penting dalam memberikan fatwa kehalalan produk.
Kontroversi terkini mengenai produk beralkohol yang mendapat sertifikat halal menunjukkan bahwa masih ada celah dalam sistem sertifikasi halal di Indonesia. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk terus meningkatkan kualitas dan integritas proses sertifikasi halal.
Ke depan, diperlukan upaya bersama dari pemerintah, lembaga keagamaan, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memastikan bahwa sistem sertifikasi halal di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan terpercaya. Dengan demikian, tujuan utama sertifikasi halal untuk memberikan jaminan dan ketenangan bagi konsumen Muslim dalam mengonsumsi produk dapat tercapai.