Strategi Mengatasi Doom Spending, Tips Finansial untuk Generasi Z dan Milenial

Pengeluaran berlebihan bisa berdampak pada keuangan di masa depan.

oleh Mochamad Rizal Ahba Ohorella diperbarui 18 Okt 2024, 09:26 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2024, 09:26 WIB
Ilustrasi berlebih-lebihan, boros, memborong, struk belanja
Ilustrasi berlebih-lebihan, boros, memborong, struk belanja. (Photo Copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Doom spending, atau perilaku belanja berlebihan yang dipicu oleh stres dan kecemasan, telah menjadi fenomena yang semakin umum di kalangan Generasi Z dan milenial. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial yang meningkat, banyak yang merasa terdorong untuk mencari pelarian melalui konsumsi barang dan jasa.

Namun, alih-alih memberikan kenyamanan, perilaku ini sering kali memperburuk kondisi keuangan pribadi dan menambah beban psikologis. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami dan mengatasi doom spending demi mencapai kestabilan finansial dan kesejahteraan mental. Memahami dampak negatif dari doom spending adalah langkah awal yang krusial untuk mengelola keuangan secara lebih bijaksana.

Generasi Z dan milenial perlu menyadari bahwa meskipun belanja dapat memberikan kepuasan sesaat, kebiasaan ini dapat menimbulkan masalah jangka panjang seperti utang yang menumpuk dan stres finansial. Dengan strategi yang tepat, mereka dapat mengembangkan kebiasaan belanja yang lebih sehat dan membangun ketahanan finansial, dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber, Jum'at (18/10/2024).

Definisi Doom Spending

1. Pengertian Doom Spending
Berbelanja untuk mengurangi stres. (Hak Cipta Pexels/Karolina Kaboompics)

Doom spending adalah kebiasaan belanja impulsif yang terjadi sebagai reaksi terhadap stres, kecemasan, atau ketidakpastian. Saat menghadapi situasi yang menekan, banyak orang cenderung membeli barang atau jasa sebagai cara untuk melupakan masalah sejenak. Istilah ini menggambarkan kecenderungan mencari kepuasan instan melalui konsumsi, meskipun belanja tersebut tidak direncanakan dan sering kali tidak diperlukan (konsumtif).

Perilaku ini dapat dipicu oleh berbagai faktor emosional dan lingkungan. Ketidakpastian ekonomi, tekanan pekerjaan, atau bahkan masalah dalam hubungan pribadi dapat mendorong individu untuk mencari pelarian melalui belanja. Meskipun memberikan kepuasan sementara, doom spending sering kali berakhir dengan penyesalan, terutama saat menyadari dampak jangka panjangnya pada keuangan pribadi.

Alasan Pemborosan Uang

Penyebab Doom Spending
Berbelanja tanpa pertimbangan matang. (Hak Cipta Pexels/Sarah Chai)

Ada beberapa faktor yang mendorong perilaku doom spending, di antaranya adalah tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan pengaruh media sosial. Generasi Z dan milenial sering kali merasa terjebak dalam kehidupan yang serba cepat dan kompetitif. Akibatnya, mereka cenderung mencari cara untuk mengurangi stres. Dalam situasi sulit, berbelanja bisa tampak sebagai cara mudah untuk mengatasi perasaan negatif.

Media sosial juga memiliki peran signifikan dalam mendorong perilaku ini. Platform-platform tersebut sering menampilkan gaya hidup mewah yang dapat memicu rasa iri dan tekanan untuk mengikuti tren. Ketika individu merasa perlu menunjukkan status atau memiliki barang tertentu, dorongan untuk berbelanja menjadi lebih kuat, meskipun ini dapat memperburuk situasi keuangan mereka.

Efek Buruk dari Pemborosan Dana

3. Dampak Negatif Doom Spending
Keuangan semakin berkurang, kesehatan mental pun turut terpengaruh.

Pemborosan yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai dampak buruk, baik dari sisi keuangan maupun psikologis. Dari sudut pandang keuangan, belanja yang tidak terencana dapat menyebabkan akumulasi utang dan kesulitan dalam mengatur anggaran bulanan. Saat pengeluaran melampaui pendapatan, seseorang bisa terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diatasi, yang pada akhirnya menambah stres dan berdampak negatif pada kesehatan finansial secara keseluruhan.

Dari sisi psikologis, kebiasaan ini dapat memperparah masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Ketika belanja dijadikan sebagai cara untuk melarikan diri, individu bisa merasa semakin tertekan saat dihadapkan dengan realitas keuangan mereka. Ini menciptakan lingkaran setan di mana seseorang merasa perlu berbelanja lebih banyak untuk menghindari kenyataan, yang pada akhirnya merusak kesejahteraan emosional dan menurunkan kualitas hidup.

Walaupun stres tidak sepenuhnya dapat dihindari, mencari cara lain untuk menguranginya adalah pilihan yang bijak. Untuk kesehatan mental dan kesejahteraan keuangan yang lebih baik di masa depan, pemborosan seperti ini harus dihentikan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya