Fadli Zon Sentil Capres Boneka Lewat Sajak

Setelah Airmata Buaya, Sajak Seekor Ikan, dan Sandiwara, kini ia menciptakan Sajak Tentang Boneka.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 03 Apr 2014, 12:27 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2014, 12:27 WIB
4-tokoh-politik-140104b.jpg
Untuk membuat bangsa Indonesia lebih baik diperlukan pemimpin yang kuat dan yang mampu menerima koreksi ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra kembali merilis sajak berbau satire. Setelah Airmata Buaya, Sajak Seekor Ikan, dan Sandiwara, kini ia menciptakan Sajak Tentang Boneka pada Kamis (3/4/2014).

Berikut bunyinya:

sebuah boneka
berbaju kotak merah muda
rebah di pinggir kota

boneka tak bisa bersuara
kecuali satu dua kata
boneka tak punya wacana
kecuali tentang dirinya
boneka tak punya pikiran
karena otaknya utuh tersimpan
boneka tak punya rasa
karena itu milik manusia
boneka tak punya hati
karena memang benda mati
boneka tak punya harga diri
apalagi nurani

dalam kamus besar boneka
tak ada  kata jujur, percaya dan setia
boneka bebas diperjualbelikan
tergantung penawaran
boneka jadi alat mainan
bobok-bobokan atau lucu-lucuan
boneka mengabdi pada sang tuan
siang dan malam

boneka bisa dipeluk mesra
boneka bisa dibuang kapan saja

sebuah boneka
tak punya agenda
kecuali kemauan pemiliknya

Fadli Zon, 3 April 2014

Menurut Fadli, puisi-puisi yang ia buat bukan untuk menyindir menyerang pihak-pihak tertentu. Ia justru heran dengan pihak-pihak yang merasa tersindir dengan puisi yang dibuatnya.

"Dalam puisi kita berbicara tentang nilai, bukan orang. Kita bicara tentang karakter dan nilai yang ditinggalkan. Ini adalah politik yang lebih substansi. Jika ada pihak yang merasa tersindir atau diserang, masyarakat dapat menilai sendiri," ungkap Fadli.

Fadli mengatakan, ia tidak ambil pusing dengan anggapan puisi-puisi yang ia buat justru akan menyerang balik Gerindra. "Kami percaya diri dan sama sekali tidak khawatir dengan citra buruk. Kami merasa telah mencontohkan politik yang bermoral tinggi. Ini adalah bagian dari politik yang berbudaya," katanya.

Berpuisi, sambungnya, jauh lebih baik daripada saling mencaci-maki. Justru bisa menjadi kultur baru dalam politik. Ia juga mempersilakan pihak lain bila ingin membalas puisi atau pantun.

"Dengan saling berpuisi justru dapat menjadi pendidikan politik baru dengan pendekatan sastra," tukas Fadli.

(Shinta Sinaga)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya