Fraksi Hanura DPR mengusulkan adanya saksi-saksi yang dibiayai oleh negara di bawah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Langkah ini dianggap penting untuk mencegah kecurangan pada saat digelarnya pemungutan suara pemilu, terutama di daerah-daerah terpencil dan daerah perbatasan.
"Keberadaan saksi negara ini sangat penting, mengingat sampai saat ini kekacauan Daftar Pemilih Sementara (DPS) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bisa teratasi. Kekacauan DPS ini berpotensi besar membuka kecurangan-kecurangan yang sistemik dan terstruktur dalam Pemilu 2014," Kata Ketua Fraksi Hanura DPR Sarifuddin Sudding kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (31/7/2013).
Sudding menjelaskan, masalah-masalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu cukup banyak, seperti nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama, tapi terdaftar di tempat yang berbeda. Atau nama seorang laki-laki ditulis perempuan, serta data-data di TPS yang hanya memiliki daftar nama pemilih di bawah 10 orang.
Kekacauan identitas dan daftar pemilih ganda, tambah Sudding, sangat rentan menjadi target rekayasa dan penggelembungan suara. "Terlebih lagi ketika pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan masyarakat kurang optimal, maka kecurangan di TPS sangat mungkin dilakukan, terutama pada saat pencoblosan dan penghitungan suara," tutur Sudding.
Karena itu Sudding yang juga anggota Komisi III DPR ini mengharapkan ada saksi yang dibiayai oleh negara dan secara struktur berada di bawah Panwaslu, sehingga mereka tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di TPS.
"Problem parpol, terutama parpol yang belum memiliki SDM yang merata di semua daerah, adalah dalam hal penempatan saksi. Ketika melihat daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau, parpol boleh jadi akan mengalkulasi untuk menempatkan saksi di TPS tersebut," ungkap Sudding.
Artinya, jika wilayah tersebut merupakan daerah yang menjadi kantong parpol, bukan mustahil parpol yang bersangkutan akan menempatkan saksinya. Namun jika bukan kantong suara, parpol akan akan memilih untuk melepas TPS tersebut.
"Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam mengemban amanat konstitusi, yaitu menjadi pelaksana pemilu yang jujur dan adil. Sebab jika bukan negara yang turun tangan, siapa lagi yang bisa dipercaya oleh rakyat?" tandas Sudding. (Ado/Sss)
"Keberadaan saksi negara ini sangat penting, mengingat sampai saat ini kekacauan Daftar Pemilih Sementara (DPS) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bisa teratasi. Kekacauan DPS ini berpotensi besar membuka kecurangan-kecurangan yang sistemik dan terstruktur dalam Pemilu 2014," Kata Ketua Fraksi Hanura DPR Sarifuddin Sudding kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (31/7/2013).
Sudding menjelaskan, masalah-masalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu cukup banyak, seperti nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sama, tapi terdaftar di tempat yang berbeda. Atau nama seorang laki-laki ditulis perempuan, serta data-data di TPS yang hanya memiliki daftar nama pemilih di bawah 10 orang.
Kekacauan identitas dan daftar pemilih ganda, tambah Sudding, sangat rentan menjadi target rekayasa dan penggelembungan suara. "Terlebih lagi ketika pengawasan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan masyarakat kurang optimal, maka kecurangan di TPS sangat mungkin dilakukan, terutama pada saat pencoblosan dan penghitungan suara," tutur Sudding.
Karena itu Sudding yang juga anggota Komisi III DPR ini mengharapkan ada saksi yang dibiayai oleh negara dan secara struktur berada di bawah Panwaslu, sehingga mereka tidak bisa diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di TPS.
"Problem parpol, terutama parpol yang belum memiliki SDM yang merata di semua daerah, adalah dalam hal penempatan saksi. Ketika melihat daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau, parpol boleh jadi akan mengalkulasi untuk menempatkan saksi di TPS tersebut," ungkap Sudding.
Artinya, jika wilayah tersebut merupakan daerah yang menjadi kantong parpol, bukan mustahil parpol yang bersangkutan akan menempatkan saksinya. Namun jika bukan kantong suara, parpol akan akan memilih untuk melepas TPS tersebut.
"Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam mengemban amanat konstitusi, yaitu menjadi pelaksana pemilu yang jujur dan adil. Sebab jika bukan negara yang turun tangan, siapa lagi yang bisa dipercaya oleh rakyat?" tandas Sudding. (Ado/Sss)