Masjid Saka Tunggal dengan Tradisi Tanpa Pengeras Suara dan Beduk Kanitennya

Di Desa Keniten, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, beduk telah menjadi ciri kreativitas warga.

diperbarui 26 Mei 2018, 07:40 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 07:40 WIB
Berkah Ramadan Bagi Pedagang Beduk Tanah Abang
Pedagang memajang beduk untuk dijual di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (14/5). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Jakarta Beduk jadi penanda khas ajakan umat Islam melaksanakan ibadah salat lima waktu yang dibawa oleh Walisanga pada abad ke 15/16. Tradisi tersebut berlanjut hingga kini. Beduk memiliki bentuk besar dan suara yang menggema sebagai ajakan untuk beribadah yang memiliki ciri khas yang unik membawa khazanah Islam.

Di Desa Keniten, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, beduk telah menjadi ciri kreativitas warga. Kurang lebih 16 warga Keniten terampil membuat kerajinan beduk sejak puluhan tahun silam. Mereka telah menjadi salah satu pemasok beduk di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Kerajinan beduk Keniten tak lepas dari tangan terampil Toufik Amin (46). Ia mempelajari pembuatan beduk secara turun temurun dari ayahnya. Beduk Keniten dikenal luas berkualitas suara baik, menggunakan bahan baku kayu pilihan serta pengolahan kulit yang baik.

"Permintaan beduk untuk surau atau masjid, ramai di bulan Rajab, Sya'ban dan Ramadan. Di Ramadan tahun 2018 ini, sejak dua bulan lalu pesanan yang masuk 100 beduk lebih. Permintaan terbanyak dari Bumiayu, Kabupaten Brebes dan Kroya Kabupaten Cilacap," katanya saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Rabu (23/5/2018).

Pembuatan beduk berkualitas, kata Toufik, karena bahan dasar kayu pilihan berjenis trembesi. Selain itu pembentangan kulit untuk beduk juga tak boleh asal. Pembuatan satu beduk umumnya bakal memakan waktu selama sepekan. "Kalau lebih bagus lagi pakai kayu jati memang. Tapi ongkos produksinya terlalu bengkak," kata Tofik.

Keberadaan beduk di Kabupaten Banyumas juga punya sejarah panjang terhubung dengan Masjid Saka Tunggal yang dibangun tahun 1288 di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon. Masjid ini juga jadi bagian kearifan lokal penganut Islam Aboge yang salah satu ciri khasnya mempertahankan tradisi tidak menggunakan pengeras suara. Mereka mempertahankan tradisi menandakan waktu salat dengan menabuh beduk dan melantangkan azan semata nyaring suara.

Juru kunci Masjid Saka Tunggal, Sulam, bercerita penanda waktu salat sejak dahulu kala menggunakan beduk dan kentongan, yakni semacam tetabuhan terbuat dari batang kayu. Beduk di Saka Tunggal juga berukuran kecil. Peletakan beduk tidak di luar masjid, tapi justru di di dalam masjid.

"Sudah bagian tradisi sejak dulu. Kalau beduk di sini juga sudah berumur tua," ujarnya.

Fungsi beduk di masa silam, sebagaimana dirujuk dari Historia.id dalam "Tak-tak-tak, Dung, Ini Sejarah Beduk" dengan mengutip Kees van Dijk, "Perubahan Kontur Masjid", dalam Peter JM Nas dan Martien de Vletter, Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah beduk, yang dipukul sebelum azan dikumandangkan.

 

Legenda Kutukan Kera

Berkah Ramadan Bagi Pedagang Beduk Tanah Abang
Pemandangan saat pengrajin menghaluskan kulit untuk membuat beduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (14/5). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Kisah beduk, di Saka Tunggal sendiri juga punya legenda tersendiri, yakni kutukan kera. Syahdan, kisah kutukan ini bermula dari kewajiban salat Jumat, yang mesti diikuti para santri. Suatu kali, seruan kewajiban ibadah yang ditandakan dengan suara beduk dan azan tak diindahkan beberapa santri. Mereka meninggalkan masjid dan justru menangkap ikan di sungai sampai membuat keributan.

Kecewa dengan kelakuan para santri tersebut, Mbah Mustolih (pendiri Masjid Saka Tunggal) marah besar. Sebagaimana para kiai yang dipercaya memiliki kelebihan karena kesalehannya, Mbah Mustolih lalu mengucapkan perkataan bahwa kelakuan para santri tersebut tak berbeda dengan perilaku kera. Tak dinyana, kata-kata itu justru jadi bencana, yakni segerombolan santri tersebut berubah diri menjadi kumpulan kera.

"Ini legenda setempat yang pernah diceritakan pada saya," kata Sulam.

Beduk sebagai bagian ciri khazanah Islam di Nusantara memang kaya cerita. Sampai kini, meski pengeras suara dan menara banyak dimanfaatkan, mudah ditemui menabuhkan beduk tetap jadi tradisi di masjid-masjid untuk pembuka azan. Suara tabuhan beduk juga kian semarak terdengar terutama saat menjelang Idul Fitri tiba. [ded]

 

Sumber: Merdeka

Reporter: Abdul Aziz

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya