Liputan6.com, Jakarta - Studi mengenai hubungan antara pemakaian media sosial dan kesehatan mental sudah dilakukan beberapa kali.
Salah satu yang kerap menjadi perhatian adalah rasa depresi dan kesepian yang berhubungan dengan pemakaian media sosial.
Untuk menjawab hal tersebut, peneliti dari Universitas Pennslyvania pun melakukan studi terkait hubungan antara rasa depresi dan pemakaian media sosial.
Advertisement
Baca Juga
Hasilnya, seseorang ternyata merasa lebih baik saat tidak mengakses media sosial. Dikutip dari Quartz, Kamis (23/5/2019), seseorang yang meninggalkan media sosial sejenak akan merasa lebih baik. Terlebih hal ini bisa dicoba pada momen bulan puasa seperti sekarang.
"Kami menemukan pembatasan pemakaian media sosial setidaknya 30 menit per hari, secara signifikan akan membawa perubahan yang lebih baik dari sisi mental bagi penggunanya,' tutur para peneliti dalam studinya.
Dalam studi kali ini, menurut ketua tim peneliti yang bernama Melissa G. Hunt, pihaknya memperluas cakupan studi kali ini ke beberapa media sosial lain. Sebab, dalam studi sebelumnya, objek studi lebih difokuskan pada Facebook.
Selama studi, para peneliti merekrut 143 mahasiswa untuk melakukan dua eksperimen berbeda. Satu dilakukan saat musim semi sedangkan kelompok lain melakukan eksperimen ketika musim gugur.
Masing-masing subjek penelitian diharuskan memiliki akun Facebook, Instagram, Snapchat, termasuk iPhone. Smartphone besutan Apple ini dipilih karena mampu menghitung durasi penggunaan aplikasi yang aktif dibuka.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Metode Penelitian
Lalu, mereka akan memantau penggunaan media sosial para subjek tersebut selama beberapa minggu. Setelahnya, mereka akan diberi kuisioner yang berhubungan dengan kondisi mentalnya.
Selama tiga minggu berikutnya, masing-masing kelompok diberi tugas berbeda. Satu kelompok tetap menggunakan media sosial seperti biasa, sedangkan kelompok lain dibatasi penggunaannya hingga 10 menit per hari.
"Dari eksperimen itu, kami menemukan bahwa mengurangi pemakaian media sosial secara signifikan berpengaruh pada menurunnya rasa kesepian dan depresi," tutur Hunt.
Kendati demikian, studi ini masih memiliki keterbatasan sebab studi ini hanya terbatas untuk iPhone saja dan tidak mencantumkan Twitter sebagai objek penelitian.
Oleh sebab itu, para peneliti menyebut masih ada kesempatan untuk studi lebih lanjut. Kendati demikian, mereka belum mengungkap lebih lanjut kemungkinan adanya penelitian selanjutnya.Â
Advertisement
Studi Soal Media Sosial dan Depresi
Dua tahun lalu, sebuah penelitian mengungkap penggunaan media sosial (medsos) di internet selama lebih dari dua jam menunjukan adanya tanda depresi.
Penelitian tersebut juga telah dilakukan ke subjek kalangan remaja berumur 13-17 tahun yang sering menggunakan smartphone-nya untuk 'berinteraksi' di jejaring sosial.
Mengutip informasi The Independent, penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti asal Kanada, International Association of Cyber Psychology, Training & Rehabilitation (iACToR) dengan melakukan observasi ke 750 subjek yang merupakan remaja dari berbagai institusi pendidikan di wilayah Ontario.
Penelitian yang juga dipublikasikan lewat jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking ini mengungkap, penggunaan medsos yang terlampau berlebihan rupanya mampu menunjukkan indikasi si pemilik jejaring sosial memiliki masalah gangguan mental dan memicu depresi.
"Kapasitas penggunaan jejaring sosial harusnya dibatasi sebagaimana mestinya. Jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu berjam-jam, hal tersebut akan menciptakan rasa candu bagi para pengakses," ungkap tim peneliti.
Menurutnya, hal itu mengubah cara pandang penggunanya jejaring sosial termasuk ke hal primer di dalam kehidupan pengguna. Bahayanya, penggunaan jejaring sosial secara berlebihan dapat berdampak negatif pada penggunanya.
"Jejaring sosial berfungsi sebagai alat komunikasi dan pencari informasi jika memang dibutuhkan. Namun hal tersebut bisa berubah fungsi 360 derajat menjadi sebuah 'pengisi dahaga' penggunanya ketika sedang kesepian," tambahnya.
Observasi yang telah dilakukan tim peneliti menyimpulkan sebagian besar dari 750 subjek anak remaja tersebut memang kerap kali tidak memiliki kegiatan apa-apa khususnya pada waktu malam hari. Oleh karena itu, mereka mengakses jejaring sosial sebagai 'teman' agar bisa mengisi kesepian mereka.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka mengalami tanda depresi, jika ini terus dilakukan, mereka akan melakukan hal lebih ekstrem seperti tindakan bunuh diri atau cyber bullying," tukasnya.
Mereka menambahkan, seharusnya ketika kesepian para anak remaja bisa melakukan kegiatan positif yang lebih menggaet mereka ke perkembangan fisik dan mental yang lebih sehat, seperti berolahraga, membaca buku, mendengarkan musik dan masih banyak lagi.
"Sudah seharusnya fungsi dari jejaring sosial dibatasi. Selagi masih ada waktu dan belum terlambat, kini peran orang tua yang harus mengawasi anak mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
(Jek/Isk)
Â