Irjen Teddy Minahasa Ditangkap karena Narkoba, Ini Perspektif Islam Tentang Hukuman Mati

Padahal, sanksi pengedar narkoba amat berat, yakni hukuman mati. Kajian dalam perspektif hukum agama untuk hukuman mati ini pun sudah dilakukan oleh otoritas maupun berbagai Ormas Islam

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Okt 2022, 00:30 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2022, 00:30 WIB
THUMBNAIL jatim
Irjen Teddy Minahasa Putra, Kapolda Jatim Baru

Liputan6.com, Jakarta - Pejabat tinggi polisi yang baru saja ditunjuk menjadi Kapolda Jatim, Irjen Teddy Minahasa ditangkap karena diduga terlibat peredaran narkoba. Tentu saja ini kabar yang mengejutkan semua pihak.

Kasus ini pun seolah membenarkan bahwa narkoba di Indonesia sudah sangat kronis. Padahal, belum lama ini ia baru saja ditunjuk menggantikan Irjen Nico Afinta, usai tragedi Kanjuruhan.

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengatakan, Teddy Minahasa juga menjalani tes urine untuk mengetahui apakah dia ikut mengonsumsi selain terlibat pengedaran narkoba, atau tidak. Teddy tiga kali dites urine.

"Terkait masalah tes untuk Irjen TM dilakukan 3 kali tes. Memang satu hal yang didapat terkait dengan masalah obat tertentu tapi bukan narkoba," ujar Listyo di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Jumat (14/10/2022).

Menurut dia, kandungan obat yang terdapat dalam urine Teddy Minahasa masih diteliti oleh tim dokter. "Mungkin terkait apa yang dikonsumsi nanti akan didalami tim dokter," kata Listyo.

Sebelumnya, Kapolri membenarkan Kapolda Jatim Irjen Teddy Minahasa ditangkap Propam. Dia juga mengamini penangkapan Teddy Minahasa terkait dengan kasus narkoba.

"Ada dugaan keterlibatan Irjen TM, kemarin saya minta Kadiv Propam menjemput dan memeriksa," ujar Listyo.

Menurut dia, saat ini, Irjen TM ditetapkan sebagai terduga pelanggar dan sudah ditempatkan di tempat khusus.

Darurat narkoba telah terjadi di Indonesia. Padahal, sanksi pengedar narkoba amat berat, yakni hukuman mati. Kajian dalam perspektif hukum agama untuk hukuman mati ini pun sudah dilakukan oleh otoritas maupun berbagai Ormas Islam. Salah satunya, Nahdlatul Ulama (NU).

Hasilnya, seluruhnya menyatakan bahwa hukuman mati tak bertentangan dengan HAM. Sebab, narkoba merupakan momok yang menakutkan bagi kita semua karena besarnya dampak negatif yang ditimbulkan. Bahkan dilaporkan setiap hari ada 40 nyawa melayang akibat keganasan narkoba.

 Tim Rembulan

Saksikan Video Pilihan Ini:

Hukuman Mati dalam Perspektif Islam

Infografis Laporan Khusus Narkoba
Infografis Laporan Khusus Narkoba (liputan6.com/desi)

Mengutip laman NU, memang tidak ada nash yang secara sharih menjelaskan tentang ketentuan hukuman had atau kafarat bagi bandar narkoba. Padahal bandar narkoba jelas merupakan aktor penting yang berperan sebagai penyedia barang haram yang telah memakan korban yang tidak sedikit, merusak generasi bangsa kita, dan menimbulkan efek negatif (mafsadah) yang luar biasa besarnya.

Di dalam hukum Islam dikenal istilah ta’zir. Menurut kesepakatan para ulama, ta’zir merupakan hukuman yang disyariatkan atas pelanggaran atau kemaksiatan yang di dalamnya tidak terdapat ketentuan hukuman had dan kafarat.

Hal ini sebagaimana dikemukakan Ibnu Taimiyah. “Para ulama telah sepakat bahwa hukuman ta’zir itu disyariatkan untuk setiap pelanggaran (ma’shiyah) yang tidak terdapat ketentuan hukuman had dan kafarat”. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatwa, Iskandaria-Dar al-Wafa`, cet ke-3, 1426 H/2005 M, juz, 30, h. 39).

Pertanyaan penting yang harus diajukan di sini adalah apakah hukuman ta’zir diperbolehkan sampai pada taraf menghukum mati? Dalam pandangan kami, jelas diperbolehkan sepanjang pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang massif.

Bahkan memberikan hukuman ta’zir dengan cara menghukum mati pernah dilakukan pada masa sayyidina Umar bin al-Khaththab ra. Sayyidina Umar bin al-Khaththab ra pernah mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak mereka untuk mendiskusikan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku liwath. Mereka pun kemudian mengeluarkan fatwa agar pelakunya dihukum mati dengan cara dibakar.

"Bahwa sayyidina Umar bin al-Khaththab ra mengumpulkan para sahabat senior yang alim dan mengajak mereka bermusayawarah mengenai hukuman yang layak bagi pelaku liwath. Kemudian mereka pun memberikan fatwa hukuman mati bagi pelaku tersebut dengan cara membakarnya. Model hukuman ini merupakan model yang paling mengerikan dalam bab hukuman ta’zir…” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahbib al-Arba`ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 5, h. 249).

Berangkat dari penjelasan ini maka menghukum mati bandar narkoba itu jelas diperbolehkan dengan pertimbangan bahwa ia telah melakukan suatu tindak kejahatan yang membawa dampak negatif yang sangat luar biasa bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Bahkan dalam beberapa kasus kami pernah mendengar bahwa para bandar narkoba yang tertangkap kemudian dipenjara, masih saja bisa menjalankan bisnisnya dari dalam penjara. Ini artinya hukuman penjara ternyata tidak bisa memberi efek jera. Dan sudah barang tentu hukuman mati pantas diberikan kepadanya. Sebab, kejahatan yang ia lakukan ternyata tidak dapat dicegah.

Nahdlatul Ulama sendiri dalam Muktamar ke-31 di Asrama Haji Donohudan-Boyolali-Jawa Tengah telah memutuskan kebolehan untuk menghukum mati bagi pemasok psychotropika dan narkotika. Alasan yang dikemukan dalam keputusan tersebut adalah karena menimbulkan mafsadah yang besar. (Lihat, Ahkam al-Fuqaha`, Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr, cet ke-1, 2011, h. 618-624).

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya