Liputan6.com, Jakarta - Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap di Bandara Manila pada 11 Maret 2025 lalu dan beberapa jam sudah berada di dalam pesawat jet sewaan menuju Den Haag, Belanda, tempat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berkantor pusat.
Menurut pernyataan ICC, Duterte dituduh telah memimpin 'perang melawan narkoba' yang kejam selama menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 2016 hingga 2022, yang mengakibatkan ribuan pedagang dan pecandu narkoba, serta orang-orang lainnya yang tidak diadili dibunuh.
Baca Juga
Pemerintah Filipina mengklaim, aksi penangkapan ini didasarkan pada red notice dari Organisasi Kepolisian Internasional (Interpol). Namun hingga saat ini, red notice tersebut hanya disebutkan oleh media Filipina, sementara Markas besar Interpol belum mengeluarkan pernyataan resmi untuk membenarkan hal ini, dan info tentang penangkapan Duterte tidak ditemukan disitus web resmi Interpol.
Advertisement
Kemudian pada 20 Maret 2025, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Filipina serta saudari Presiden Ferdinand Marcos, Imee Marcos menunjukkan dalam sidang publik bahwa Interpol tidak mengeluarkan red notice yang ditujukan kepada Duterte, melainkan hanya mengeluarkan red diffusion.
Red notice harus diperiksa dan dikonfirmasi oleh Sekretariat Jenderal Interpol, yang merupakan permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk menemukan dan menangkap sementara seseorang yang akan diekstradisi, diserahkan, atau dilakukan tindakan hukum serupa.
Sedangkan, red diffusion merupakan permintaan informasi terjadi antara anggota Interpol secara tidak resmi, tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengharuskan tindakan yang dilaksanakan anggota negaranya, dan hanya berfungsi sebagai alat untuk menyebarluaskan informasi.
Hal ini berarti bahwa pemerintah Marcos menggunakan dokumen yang tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggantikan red notice, kemudian secara paksa menangkap Rodrigo Duterte dan mengekstradisinya ke luar negeri. Jika red notice terbukti palsu, maka penangkapan ini adalah upaya perhitungan politik.
Pengacara hak asasi manusia Internasional Arnedo Valera menilai penangkapan Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte tidak sah, tindakan ini melibatkan pelanggaran prosedur hukum, yang dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang sembrono.
Pemerintah Marcos berusaha untuk mencampuradukkan red notice dengan red diffusion, tindakan yang menipu ini sebenarnya adalah upaya untuk memberikan kedok 'hukum internasional' bagi tindakan penganiayaan politik mereka.
Sejak penangkapan Duterte, para pendukungnya di Manila dan Davao melakukan beberapa unjuk rasa untuk menolak penangkapan Duterte dan mengkritik pernyataan pemerintah yang kontradiktif, dengan alasan bahwa tindakan ini lebih jauh merusak kepercayaan publik pada pemerintah.
Senator Bong Go secara terbuka menyatakan bahwa penangkapan mantan presiden merupakan 'ekstradisi ilegal' oleh pemerintah Filipina.
"Mengapa kita sampai pada situasi seperti ini? Kita memiliki sistem peradilan, pengadilan dan hukum sendiri. Mengapa pemerintah membiarkan warga Filipina ditangkap di tanah mereka sendiri?," jelas Bong Go.
Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte Ditangkap atas Perintah ICC
Sebelumnya, Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap polisi di bandara internasional Manila pada Selasa (11/3/2025) atas perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang diajukan terhadapnya.
Duterte ditangkap setelah tiba dari Hong Kong dan dibawa ke dalam tahanan berdasarkan perintah ICC. Pengadilan tersebut telah menyelidiki pembunuhan besar-besaran yang terjadi di bawah kepemimpinannya selama perang melawan narkoba. Demikian diungkapkan Kantor Presiden Ferdinand Marcos Jr. seperti dilansir AP.
ICC memulai penyelidikan terhadap pembunuhan terkait narkoba di bawah pemerintahan Duterte sejak 1 November 2011, ketika dia masih menjabat sebagai wali kota Davao, hingga 16 Maret 2019, sebagai kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan. Duterte menarik Filipina dari Statuta Roma pada tahun 2019, sebuah langkah yang menurut aktivis hak asasi manusia bertujuan untuk menghindari pertanggungjawaban atas pembunuhan tersebut.
Pemerintahan Duterte berupaya menangguhkan penyelidikan oleh pengadilan global tersebut pada akhir tahun 2021. Mereka beralasan bahwa otoritas Filipina telah melakukan penyelidikan sendiri terhadap tuduhan yang sama, serta menegaskan bahwa ICC — yang berfungsi sebagai pengadilan upaya terakhir — tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini.
Hakim banding di ICC memutuskan pada Juli 2023 bahwa penyelidikan dapat dilanjutkan dan menolak keberatan dari pemerintahan Duterte.
Berbasis di Den Haag, Belanda, ICC dapat turun tangan ketika negara-negara tidak mau atau tidak mampu menuntut tersangka dalam kejahatan internasional yang paling kejam, termasuk genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang menggantikan Duterte pada tahun 2022 dan terlibat dalam perselisihan politik sengit dengan mantan presiden tersebut, telah memutuskan untuk tidak bergabung kembali dengan pengadilan global itu. Namun, pemerintahan Marcos menyatakan akan bekerja sama jika ICC meminta polisi internasional untuk menahan Duterte melalui apa yang disebut Red Notice, yaitu permintaan kepada lembaga penegak hukum di seluruh dunia untuk melacak dan menahan sementara seorang tersangka kejahatan.
Advertisement
Duterte Diterbangkan ke Den Haag untuk Hadapi Tuduhan ICC atas Perang Narkoba Mematikan
Sebuah pesawat yang membawa Rodrigo Duterte meninggalkan Manila menuju Den Haag pada Selasa 11 Maret 2025, setelah penangkapan sang mantan presiden berdasarkan surat perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Menurut ICC, Duterte yang berusia 79 tahun menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan. Operasi pemberantasan narkoba yang digencarkannya diduga menewaskan puluhan ribu orang yang kebanyakan pria miskin dan sering tanpa bukti keterlibatan narkoba.
Presiden Ferdinand Marcos Jr. mengatakan dalam konferensi pers bahwa pesawat yang membawa Duterte berangkat pada pukul 23.03 waktu setempat.
"Pesawat sedang dalam perjalanan ke Den Haag di Belanda, memungkinkan mantan presiden untuk menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perang narkoba berdarah yang dilakukannya," kata Marcos seperti dikutip dari CNA, Rabu (12/3).
Duterte ditangkap di bandara internasional Manila pada Selasa, menurut pernyataan istana presiden, setelah Interpol Manila menerima salinan resmi surat perintah penangkapan dari ICC.
Putri Duterte yang juga wakil presiden, Sara Duterte, mengaku bahwa ayahnya dibawa secara paksa ke Den Haag.
"Ini bukan keadilan — ini adalah penindasan dan penganiayaan," ungkap Sara.
Sebelumnya, Duterte telah menyampaikan melalui media sosial bahwa dia yakin Mahkamah Agung Filipina akan turun tangan dan mencegah pemindahannya.
"Mahkamah Agung tidak akan menyetujui itu. Kami tidak memiliki perjanjian ekstradisi," katanya di Instagram Live setelah pengacaranya mengajukan petisi.
Seorang juru bicara ICC mengonfirmasi surat perintah penangkapan pada Selasa dan mengatakan bahwa sidang awal akan dijadwalkan setelah Duterte berada dalam tahanan pengadilan.
Sementara para pendukungnya menyebut penangkapan itu "tidak sah", reaksi dari mereka yang menentang perang narkoba Duterte justru penuh sukacita.
Salah satu kelompok yang mendukung para ibu yang kehilangan anggota keluarganya dalam operasi pemberantasan narkoba menyebut penangkapan ini sebagai "perkembangan yang sangat disambut baik".
"Para ibu yang suami dan anaknya tewas karena perang narkoba sangat bahagia karena mereka telah menunggu ini untuk waktu yang sangat lama," kata Rubilyn Litao, koordinator Rise Up for Life and for Rights, kepada AFP.
Sementara itu, organisasi non-pemerintah di Filipina yang bergerak dalam isu hak asasi manusia, Karapatan, mengatakan bahwa penangkapan ini sudah lama tertunda.
Human Rights Watch menyatakan bahwa penangkapan ini adalah langkah penting untuk pertanggungjawaban di Filipina.
Namun, China memperingatkan ICC agar tidak melakukan "politisasi" dan "standar ganda" dalam kasus Duterte, dengan mengatakan bahwa mereka "secara ketat memantau perkembangan situasi".
Marcos: Pemerintah Hanya Jalankan Tugas
Penangkapan Duterte di bandara internasional Manila pada Selasa pagi terjadi setelah dia melakukan perjalanan singkat ke Hong Kong.
Dalam pidatonya di hadapan ribuan pekerja Filipina di Hong Kong pada Minggu, dia mengecam penyelidikan terhadap dirinya, menyebut penyelidik ICC sebagai "sons of whores". Namun, pada akhirnya dia mengatakan akan "menerima" jika penangkapan adalah takdirnya.
Filipina keluar dari ICC pada 2019 atas instruksi Duterte, namun pengadilan tersebut menyatakan bahwa mereka memiliki yurisdiksi atas pembunuhan yang terjadi sebelum penarikan dan juga pembunuhan di Davao ketika Duterte menjabat sebagai wali kota, bertahun-tahun sebelum dia menjadi presiden.
ICC memulai penyelidikan resmi pada September 2021. Namun, penyelidikan ini ditangguhkan dua bulan kemudian setelah Manila menyatakan sedang meninjau kembali ratusan kasus operasi narkoba yang menyebabkan kematian di tangan polisi, pembunuh bayaran, dan kelompok yang bertindak sendiri di luar hukum (vigilante).
Kasus ini dilanjutkan kembali pada Juli 2023 setelah panel lima hakim menolak keberatan Filipina soal pengadilan tidak memiliki yurisdiksi.
Sejak itu, pemerintah Marcos telah berkali-kali mengatakan bahwa mereka tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan.
Namun, Wakil Menteri Kantor Komunikasi Presiden Claire Castro pada Minggu mengatakan jika Interpol "meminta bantuan yang diperlukan dari pemerintah, mereka wajib mematuhinya."
Duterte masih sangat populer di kalangan banyak orang Filipina yang mendukung solusi cepatnya dalam menangani kejahatan. Pengaruh politiknya pun tetap besar.
Saat ini dia mencalonkan diri kembali untuk menjadi wali kota di bentengnya, Davao, dalam pemilihan sela pada Mei.
Ketika ditanya pada Selasa apa yang akan dia katakan kepada para pendukung Duterte, Marcos mengatakan bahwa pemerintah hanya menjalankan tugasnya.
"Kami harus memenuhi tanggung jawab kami, terhadap komitmen yang telah kami buat kepada komunitas internasional dan itulah yang terjadi di sini," ujarnya. "Politik tidak ada hubungannya dengan ini."
Duterte, yang mengaku sebagai pembunuh, saat menjabat presiden memerintahkan polisi untuk menembak mati tersangka narkoba jika nyawa mereka terancam dan bersikeras bahwa operasi pemberantasan narkoba itu menyelamatkan banyak keluarga dan mencegah Filipina menjadi "narco-politics state" - merujuk pada suatu negara di mana perdagangan narkoba memiliki pengaruh besar, bahkan mendominasi dalam sistem politik dan pemerintahan.
Advertisement
