Ingin Jadi Pengusaha Sukses? Begini Etika Bisnis dalam Islam

Etika bisnis Islam merupakan etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai Alquran

oleh Muhamad Husni TamamiLiputan6.com diperbarui 10 Des 2022, 22:30 WIB
Diterbitkan 10 Des 2022, 22:30 WIB
bisnis
bisnis

Liputan6.com, Jakarta - Rasulullah SAW merupakan seorang wirausahawan sukses dan entrepreneur sejati. Beliau adalah teladan bagi para sahabat dan tentunya umat muslim saat ini.

Dalam Islam sendiri telah diatur beberapa etika yang harus dijalankan ketika hendak berwirausaha atau berbisnis.

Etika bisnis secara umum didefinisikan sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan suatu hal yang berdampak baik buruknya pada manusia, tindakan relasi serta nilai dalam kontrak bisnis.

Sedangkan Etika bisnis Islam merupakan etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai Alquran.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

8 Etika Bisnis dalam Islam

Mengutip muhammadiyah.or.id. dalam etika bisnis Islam mencakup berbagai macam larangan yang harus dihindari sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Adapun larangan-larangan tersebut diantaranya: 

1. Kesamaran (Jahalah)

Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu larangan yang harus dihindari ketika berbisnis. Dalam istilah umum, jahalah mempunyai makna yang sama dengan ungkapan “tidak transparan” atau “membeli kucing dalam karung”. Hal ini mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala bentuk transaksi muamalah.

2. Perjudian (Maisir)

Salah satu yang motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk mendapatkan penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam perkembangannya, praktek perjudian (maisir) tidak lagi dimaknai sekedar praktek penyimpangan yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan aspek muamalah lainnya. Namun saat ini perjudian (maisir) justru dapat dijumpai dalam beberapa bentuk muamalah seperti jual-beli dan lainnya.

3. Penindasan (Az-Zhulmu)

Tindakan kezaliman sering terjadi dan digunakan oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan ini sering juga disebut dengan “Machiavellian” yaitu sikap menghalalkan segala cara asalkan tujuan bisa tercapai (al-ghayah tubalighul washilah). Kezaliman (penindasan) merupakan hal yang sangat dimurkai dan diharamkan dalam Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh Allah sampai orang tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya.

4. Mengandung Unsur Riba

Dalam banyak ayat dan hadis Nabi saw. persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan dengan sangat rinci. Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik bagi diri sendiri maupun orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. 

5. Unsur Membahayakan (adh-Dharar)

Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan mendasar, guna menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok manusia (dlaruriyat) ini lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam), yaitu: menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul ‘Aql), menjaga harta (hifzhul mal), menjaga keturunan (hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din). Maka barometer yang dapat dijadikan alat ukur untuk melihat apakah bisnis atau segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar), tentu mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.

6. Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar)

Secara bahasa, al-gharar memiliki arti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Kemudian, beliau menyatakan bahwa semua praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-buahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian.

7. Penyalahgunaan Hak (at–Ta’assuf)

Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’malil haqq) adalah penggunaan hak secara berlebihan yang berakibat pada pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika dikulik secara mendalam, adanya larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat absolut sebagaimana dianut oleh paham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan serba negara seperti dianut oleh paham sosialis.

8. Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar)

Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan menurut istilah, para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut. Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.

Penulis : Putry Damayanty

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya