Wawancara Akademisi Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani: 17 Tahun Pelajari Ahmadiyah, Benarkah Sesat?

Ahmad Najib Burhani jadi salah satu wakil Indonesia yang naik podium di acara jalsa salana atau pertemuan tahunan komunitas Ahmadiyah di Inggris, pada 28-30 Juli 2023. Dia bukan Ahmadiyah, tapi seorang akademisi yang terafiliasi dengan Muhammadiyah

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 04 Agu 2023, 07:43 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2023, 16:57 WIB
Ahmad Najib Burhani, akademisi Muhammadiyah yang 17 tahun mempelajari Ahmadiyah (Liputan6/Elin Kristanti)
Ahmad Najib Burhani, akademisi Muhammadiyah yang 17 tahun mempelajari Ahmadiyah (Liputan6/Elin Kristanti)

Liputan6.com, Jakarta - Ahmad Najib Burhani jadi salah satu wakil Indonesia yang naik podium di acara jalsa salana atau pertemuan tahunan komunitas Ahmadiyah di Inggris, pada 28-30 Juli 2023.

Dia bukan Ahmadi, tapi terafiliasi dengan Muhammadiyah. Dalam paparannya di depan ribuan peserta, Najib memaparkan perkenalannya dengan Ahmadiyah 17 tahun lalu, saat menempuh pendidikan pasca-sarjana di Inggris. Kedekatan berlanjut usai meneruskan sekolah ke California, Amerika Serikat.

“Pada 2011, terjadi tragedi di Indonesia di mana tiga Ahmadi di Cikeusik dibunuh secara brutal,” kata Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) PP Muhammadiyah itu, Minggu 30 Juli 2023.

“Yang mengejutkan, alih-alih menyampaikan belasungkawa, sebagian besar media di Indonesia dan banyak orang menyalahkan para korban dan menyatakan bahwa mereka pantas didiskriminasi, diusir dari desa, bahkan dibunuh.”

Kejadian tak manusiawi itu membuatnya memutuskan untuk mempelajari Ahmadiyah dengan cermat. Bukan untuk memberikan pembelaan, melainkan meluruskan kesalahpahaman dan prasangka buruk terhadap komunitas tersebut.

Disertai berjudul “When Muslim are not Muslim: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia” rampung disusun pada 2013. Karyanya diganjar Charles Wendell Memorial Award.

Temuan-temuan Najib, di antaranya terkait tuduhan sesat dan bukan Islam yang dialamatkan pada komunitas Ahmadiyah, dari sudut pandang seorang akademisi. Apakah itu?

Berikut wawancara Liputan6.com dengan Ahmad Najib Burhani, profesor riset di Badan Risen dan Inovasi Nasional (BRIN):

 

Simak Video Pilihan Ini:

Wawancara Ahmad Najib

Anda 17 tahun mengenal dan mempelajari Ahmadiyah. Apa temuan yang Anda dapatkan, khususnya terkait tuduhan sesat yang dialamatkan pada komunitas tersebut?

Ahmadiyah, salah satunya, dituduh mengikuti kitab suci yang berbeda dengan umat Islam lainnya, yaitu Tadhkirah bukan Alquran. Tuduhan itu dibantah oleh Ahmadiyah. Bahkan, Jemaat Ahmadiyah sangat aktif dalam bidang penerjemahan Alquran dan dapat dilihat sebagai pionir dalam upaya menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa.

Khususnya pada paruh pertama Abad ke-20, Alquran terjemahan Ahmadiyah dijunjung tinggi dan berfungsi sebagai sumber pengetahuan penting tentang Islam dan prinsip-prinsipnya bagi banyak muslim Indonesia yang tidak dapat mengakses kitab suci yang aslinya menggunakan Bahasa Arab.

Menurut saya, secara ajaran dan praktik-praktiknya, Ahmadiyah dan kelompok Sunni 90 persen lebih itu sama. Dari salat dan ibadah yang lain. Kita lihat bersama di sini, apakah mereka syahadatnya berbeda? Tidak juga. Apakah mereka berhajinya ke Inggris atau Qadian? Itu tidak benar.

Tapi penyampaian yang selalu menjadi kontroversi adalah soal kenabian. Pejelasan dan bahasa yang disampaikan selalu tidak ketemu. Termasuk soal baiat dan posisi khalifah di Ahmadiyah.

Menurut saya, yang paling mudah adalah melihatnya seperti posisi mursyid dalam tarekat Sunni.

Kita bisa melihat bahwa Ahmadiyah itu adalah gerakan tarekat, dengan khalifah sebagai mursyidnya dan juga ajaran-ajaran yang dilakukan lebih bersifat spiritualitas, lebih ke penguatan iman untuk mendapatkan keselamatan dan tidak berpikir banyak pada persoalan dunia. Ini paling mudah untuk memahaminya.

Masih terkait kenabian, kelompok Sunni melihatnya sebagai harga mati. Mereka juga tidak menerima konsep imamah di Syiah. Karena Ahmadiyah percaya nabi setelah Muhammad maka kemudian dianggap kafir, misalnya.

Saya bertemu keturunan Pakistan non-Ahmadiyah. Dari sudut pandangnya, ia mengklaim Ahmadiyah adalah bikinan Inggris saat mereka menjajah negara itu, bagaimana menurut Anda?

Tuduhan itu basisnya tidak kuat. Seperti halnya Ahmadiyah, ada juga yang menyebut Sikh dan Bahai bikinan Inggris. Pokoknya yang tidak disukai itu diasosiasikan dengan penjajah dan sebagainya.

Mungkin anggapan itu muncul karena pemerintah Inggris mengembalikan tanah milik keluarga Mirza Ghulam Ahmad, atau secara politik Ahmadiyah dianggap menjadi alat memecah belah. Tuduhan-tuduhan itu basisnya lemah dan tidak relevan untuk melihat sebuah gerakan.

Dari yang saya pahami, Ahmadiyah awalnya adalah gerakan yang sifatnya reformasi keagamaan, bagaimana memenangkan kompetisi dengan minionaris Kristen.

Dikaitkan dengan strategi berdakwah Ahmadiyah yang dianggap mirip dengan Kristiani, saya pikir tidak lantas membuktikan tudingan bahwa mereka ‘setengah Islam, setengah Kristen’.

Muhammadiyah, misalnya mengadopsi dari sistem yang ada di dalam Kristen, dengan sekolah, dengan charity dan sebagainya. Itu kan tidak berarti bahwa itu adalah buatan, Belanda atau lainnya.

Menurut Anda, apa yang membuat orang-orang mau bergabung dengan Ahmadiyah?

Orang bergabung dengan Ahmadiyah bukan semata-mata karena strategi khasnya dalam menyebarkan keyakinannya, tetapi lebih sering karena tiga faktor lainnya.

Pertama, ikatan yang erat dan kuat antar anggota Ahmadiyah, seperti saling membantu dalam pembangunan ekonomi. Kedua, keyakinan spiritual dan mistik Ahmadiyah, seperti keyakinan mesianik mereka dan keyakinan akan keterlibatan Tuhan dalam membantu Ahmadiyah dalam urusan duniawi.

Ketiga, etika dan moralitas pengikut Ahmadiyah, sebagaimana tercermin dalam perilaku para mubalighnya yang sadar dan bersemangat, terutama ketika mereka dihina oleh lawan mereka.

 

Apa yang membuat sejumlah orang menganggap Ahmadiyah sebagai ancaman dan menjadi sasaran persekusi?

Anggapan bahwa Ahmadiyah adalah ancaman, menurut saya, agak absurd. Meminjam istilah ancaman teologis, kelompok itu dianggap mengkorupsi keagamaan, mengganggu keimanan dan keamanan. Dianggap bisul, kanker atau ‘menusuk dari belakang’. Semua itu abstrak, parameternya apa?

Namun, hal itu lah yang kadangkala yang dipakai orang untuk kemudian menuduh Ahmadiyah sebagai ancaman.

Ada lagi ancaman yang dianggap lebih kongkret, soal jumlah. Ada kekhawatiran jika Ahmadiyah jumlahnya besar, kelompok lain yang kemudian akan balik diusir. Melihat ancaman dari sisi jumlah, juga aneh. Misalnya, kenapa Lia Eden yang jumlah anggotanya 24 orang itu juga dianggap sebagai ancaman. Tidak make sense kan?

Di Indonesia, fatwa terkait Ahmadiyah sudah ada sejak dulu, tahun 1929, 1985, meskipun bahasanya berbeda. Fatwa yang dikeluarkan pada 2005 seperti memantik orang untuk bergerak dan pihak pemerintah mengambil aksi, sementara sebelumnya hanya bersifat teologis. Itu menjadi faktor kenapa terjadi eskalasi diskriminasi dari sebelumnya.

Ada juga berbagai gerakan keagamaan yang mungkin agresif terhadap kelompok yang dianggap sesat, sementara pemerintah tidak melakukan proteksi pada Ahmadiyah.

Apa masukan Anda untuk komunitas Ahmadiyah agar masyarakat awam lebih mengenal dan tidak menganggap mereka bukan kelompok yang eksklusif?

Ahmadiyah saat ini sudah berusaha membaur dengan masyarakat, membuka diri, bersahabat, dan melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Mereka telah melakukan langkah-langkah yang dulu tidak dilakukan.

Namun, dari kelompok Islam yang lain sepertinya sudah tertutup. Ahmadiyah sudah berusaha melakukan pendekatan, tapi belum berhasil ketemu. Belum ada jembatan untuk mempertemukan.

Yang terpenting saat ini, tidak ada lagi penutupan dan penghancuran masjid Ahmadiyah, itu yang setidaknya bisa dilakukan. Kalaupun belum bisa bekerja sama, paling tidak jangan saling merusak dan menghancurkan satu sama lain, apalagi sampai membunuh.

Kadangkala ada permintaan aneh yang meminta Ahmadiyah keluar dari Islam, membentuk agama sendiri. Alasannya, mereka akan mendapat perlindungan sebagai agama sendiri. Siapa yang menjamin? Jangan-jangan seperti Pakistan, ketika dianggap bukan Islam, mereka melakukan ibadah yang mirip dengan Islam kemudian dipersekusi dan diskriminasi.

Semuanya mengklaim sebagai ‘the true Islam’, bagi saya itu tidak apa-apa, itu adalah bagian dari keyakinan. Saya berharap, nantinya ada kolaborasi yang tidak kontroversial, dalam konteks sains atau ilmu pengetahuan misalnya. Barangkali itu bisa menjadi jembatan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya