Alissa Wahid: Terima Kasih Ahmadiyah, untuk Menjadi Wajah Islam yang Rahmatan Lil Alamin

Presiden ke-4 RI, Kh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah pemimpin pertama yang secara formal menyambut kunjungan Khalifah Jemaah Ahmadiyah IV, Mirza Tahir Ahmad di Bina Graha, Jakarta pada 28 Juni 2000

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 30 Jul 2023, 20:56 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2023, 20:56 WIB
Alyson Sara Natasha Bear, perwakilan First Nations Kanada dalam Jalsa Salana 2023 (MTA International)
Alyson Sara Natasha Bear, perwakilan First Nations Kanada dalam Jalsa Salana 2023 (MTA International)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang hidupnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah sosok pengawal pluralitas dan pejuang toleransi. Ia setia membela hak-hak komunitas Ahmadiyah, untuk hidup dan mendapatkan perlindungan. Setuju maupun tak setuju dengan ajarannya, itu soal lain.

Presiden ke-4 RI tersebut adalah pemimpin pertama yang secara formal menyambut kunjungan Khalifah Jemaah Ahmadiyah IV, Mirza Tahir Ahmad di Bina Graha, Jakarta pada 28 Juni 2000.

Itu adalah kunjungan pemimpin global Ahmadiyah pertama dan satu-satunya ke Indonesia.

Putri pertama Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid mewarisi semangat tersebut. Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian itu bahkan hadir dalam acara jalsa salana atau pertemuan global komunitas Ahmadiyah di Inggris, yang digelar 28-30 Juli 2023.

Ia mengungkapkan, hubungan antara keluarga Gus Dur dengan jemaah Ahmadiyah di Indonesia maupun dan global terus menguat hingga saat ini melewati masa-masa yang baik maupun penuh tantangan.

“Kini, Presiden Wahid telah berpulang. Saya memimpin Jaringan Gusdurian Indonesia dan komunitas lintas agama untuk mempromosikan kemanusiaan dan perdamaian,” kata Alissa Wahid saat memberikan sambutan di Jalsa Salana 2023, Sabtu 29 Juli 2023.

Lewat jaringan tersebut, tambah dia, pihaknya bekerja sama dengan warga Ahmadiyah di Indonesia, khususnya ketika terjadi persekusi dan tekanan terhadap komunitas tersebut.

“Lewat interaksi tersebut, warga Ahmadiyah yang saya temui adalah manusia-manusia luar biasa. Mereka pekerja keras, yang menunjukkan integritas, kemanusiaan, kemauan berkolaborasi dan penuh hormat,” kata Alissa.

Warga Ahmadiyah, di mata psikolog tersebut, adalah para pecinta damai dan memberikan kontribusi pada masyarakat. Ia meyakini, sikap mereka adalah cerminan dari apa yang diajarkan di dalam komunitas Ahmadiyah.

“Jadi, kapan pun saya bersama seorang Ahmadi, saya melihat apa yang diajarkan Rasulullah: sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain,” tambah Alissa.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa komunitas Ahmadiyah menghadapi banyak tantangan di sejumlah penjuru bumi, termasuk Indonesia. Kekerasan dan persekusi masih terjadi, namun itu justru jadi penguat bukannya penghancur.

“Dengan semangat “lover for all, hatred for none” di dunia yang dipenuhi kebencian, cinta yang Anda bawa memancarkan harapan,” kata Alissa. “Terima kasih telah menjadi wajah Islam yang rahmatan lil alamin, Islam sebagai anugerah bagi semesta, bersama banyak organisasi muslim lainnya.”

 

Simak Video Pilihan Ini:

Diskriminasi dan Persekusi Masih Dialami

Alissa Wahid mewakili Indonesia untuk memberikan sambutan di acara Jalsa Salana 2023(MTA International)
Alissa Wahid mewakili Indonesia untuk memberikan sambutan di acara Jalsa Salana 2023(MTA International)

Setidaknya ada tiga hal soal Ahmadiyah yang menjadi topik sejumlah tokoh yang hadir dan memberikan sambutan, yakni pesan damai Ahmadiyah, kontribusinya pada masyarakat, juga diskriminasi dan persekusi yang masih dialami saat ini.

Apa yang terjadi di Pakistan jadi sorotan. Pemerintah setempat melarang komunitas Ahmadiyah merayakan Idul Adha dan melakukan ibadah kurban.

Aksi vandalism juga menyasar sejumlah masjid Ahmadiyah. Salah satunya aksi perusakan di Saddar, Karachi. Video pelaku sedang beraksi menggunakan martil sempat viral di media sosial.

Hal serupa dialami komunitas adat Bangsa-Bangsa Pertama (First Nations) di Kanada. Perwakilannya, Alyson Sara Natasha Bear juga hadir di acara jalsa salana.

Wakil Ketua Federation of Souvereign Indigenous Nations itu tampil mengesankan, dengan topi adat yang dibuat dari bulu-bulu binatang. “Di negara kami, komunitas kami mengalami genosida. Mereka berusaha membunuh kami, merampas budaya serta tanah milik kami,” kata dia.

Seperti halnya Ahmadiyah, suku asli tersebut terus berupaya bangkit dan terus bertahan. “Kami melakukannya lewat cinta, dengan mewariskan cinta dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kami melakukannya lewat doa. Nenek moyang kami berdoa untuk tujuh generasi ke depan dan doa itu lah yang kini melindungi kami,” tambah Alyson.

Kehadirannya dalam acara jalsa salana adalah untuk menjalin persahabatan dan jejaring yang baru. Juga sekutu baru. “Kami ada di sini untuk membangun sebuah ‘jembatan’, dan saling mendukung.”

Jaringan Ahmadiyah diketahui menyebar hingga Kanada. Komunitas itu membangun Peace Village atau permukiman di atas tanah seluas 400 ribu meter persegi. Masjid Baitul Islam berada di dalamnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya