Liputan6.com, Jakarta - Salah satu upaya orangtua yang sangat mulia adalah memilihkan pasangan yang baik untuk anaknya yang hendak menikah.
Ini tentu sangat baik sebagai bentuk kehati-hatian orang tua agar anaknya memiliki masa depan yang indah dan cerah, sebagaimana tujuan pernikahan, yaitu untuk meraih sakinah (ketenangan) mawaddah (kasih sayang) dan rahmah.
Advertisement
Baca Juga
Kendati demikian, upaya mulia orang tua tersebut acap kali berujung pada pemaksaan kepada anaknya. Dengan dalih ‘yang terbaik’ dan ‘demi masa depan’, tidak jarang ditemukan orang tua yang memaksa anaknya untuk menikah dengan seseorang pilihannya, di mana sang anak tidak memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga dengannya.
Alhasil, tidak jarang rumah tangga yang dibangun atas dasar pernikahan paksa tersebut menjadi rumah tangga yang tidak harmonis. Kedua pasangan suami-istri tidak memiliki sikap peduli.
Yang lebih parah adalah tidak jarang seorang anak melarikan diri dan memilih untuk meninggalkan orangtua karena paksaan pernikahan. Lantas, bagaimana sebenarnya hak-hak orangtua dalam menentukan pasangan seorang anak menurut Islam?
Saksikan Video Pilihan ini:
Hak Orang Tua dalam Menentukan Pasangan Anaknya
Salah satu Mufti Mesir kontemporer, Syekh Ali Jumah pernah ditanya perihal batasan hak orangtua dalam menentukan pasangan anaknya. Kemudian ia menjawab bahwa hak orang tua dalam menentukan calon suami maupun istri hanya sebatas memberikan nasihat dan mengarahkan pada calon yang lebih baik saja, bukan memaksanya untuk menikah dengan calon tertentu. Dalam kitabnya disebutkan,
سَاوَى الْاِسْلَامُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي حَقِّ اخْتِيَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِلْأَخَرِ، وَلَمْ يَجْعَلْ لِلْوَالِدَيْنِ سُلْطَةُ الْاِجْبَارِ عَلَيْهِمَا. فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ، وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَجْبِرَا أَوْلَادَهُمَا ذُكُوْرًا أَوْ اِنَاثًا
Artinya: “Islam menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam menentukan hak pilih keduanya pada yang lain (pasangannya-calon suaminya). Dan, (Islam) tidak memberikan otoritas pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya (laki-laki dan perempuan). Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya (menikah dengan orang tertentu), baik laki-laki maupun perempuan.” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan lima Yusghilu al-Azhan, [Darul Maqattham: 2009], halaman 67).
Pendapat senada juga disampaikan oleh al-Imam al-Faqih Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Muflih al-Muqdisi (wafat 763 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk menentukan calon suami atau calon istri yang tidak diinginkan anaknya, bahkan jika di saat yang bersamaan ia menolak ketentuan orang tuanya, maka ia tidak termasuk anak yang durhaka,
لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا
Artinya: “Tidak ada hak bagi salah satu orang tua untuk menentukan calon (suami/istri) yang tidak diinginkan anaknya. Sungguh, jika ia menolak maka ia tidak termasuk durhaka.” (Ibnu Muflih, al-Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1999 M\1419 H], juz II, halaman 55).
Dengan demikian, memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya adalah tindakan yang tidak tepat. Sebab, pernikahan tidak boleh dibangun atas dasar paksaan dan tekanan. Kedua calon suami dan istri memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan calon pendamping hidupnya sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, dalam riwayat sahabat Ibnu Abbas disebutkan bahwa pada masa Rasulullah terdapat seorang gadis yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak dicintai putrinya, akhirnya gadis tersebut mengadukan nasibnya kepada nabi, kemudian nabi memberikan hak kepadanya untuk memilih antara meneruskan pernikahannya atau tidak,
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِىَّ فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِىُّ
Artinya: “Sungguh terdapat seorang gadis datang kepada nabi, kemudian ia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia tidak senang (dengan pilihan ayahnya), maka nabi memberikan pilihan (antara meneruskan dan merusak pernikahan) kepadanya.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah dengan tegas melarang untuk memaksa seorang anak menikah,
لَاتُنْكِحُهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ
Artinya: “Jangan nikahkan wanita, sedangkan ia dalam keadaan terpaksa.” (HR An-Nasai).
Dengan berdasarkan dua hadis tersebut, Syekh Ali Jumah dalam kitabnya menegaskan bahwa haram hukumnya bagi kedua orang tua memaksa anaknya untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Seorang anak memiliki hak yang bebas dalam menentukan hidupnya dengan siapa. Ia juga diperbolehkan untuk menolak paksaan orang tua tersebut,
فَالزَّوَاجُ يُعْتَبَرُ مِنْ خُصُوْصِيَاتِ الْمَرْءِ، وَاِنَّ اِجْبَارَ أَحَدِ الْوَالِدَيْنِ اِبْنَتَهُ عَلَى الزَّوَاجِ بِمَنْ لَا تُرِيْدُ مُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ
Artinya: “Pernikahan merupakan hak khusus bagi setiap orang. Oleh karenanya, pemaksaan salah satu orang tua pada anak perempuannya untuk menikah dengan orang yang tidak dia inginkan adalah diharamkan secara syariat, karena termasuk perbuatan zalim.” (Syekh Ali Jumah, 68).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak orang tua dalam pernikahan anaknya hanyalah sebatas mengarahkan, menasihati, dan menunjukkan saja. Ia tidak memiliki hak untuk memaksa anaknya menikah dengan orang tertentu, bahkan sebaliknya, seorang anak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Wallahu a’lam.
Advertisement