Liputan6.com, Jakarta - Salah satu tanda wanita menjadi dewasa atau baligh adalah telah mengalami haid atau menstruasi. Secara normal, menstruasi ditandai dengan keluarnya darah dari organ tubuh wanita yang teratur dan berulang setiap bulannya.
Siklus bulanan ini terjadi karena sel telur wanita tidak dibuahi dan pada akhirnya meluruh dengan sendirinya melalui menstruasi. Bagi umat Islam, wanita yang tengah mengalami menstruasi dilarang melakukan beberapa ibadah di antaranya salat dan puasa.
Advertisement
Sebagaimana dikatakan Al hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: "Larangan salat bagi perempuan haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam salat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci". Begitu juga dengan ibadah puasa. "Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ta'abudi (hal yang berkaitan dengan ibadah)."
Advertisement
Baca Juga
Saat mengalami menstruasi, wanita dikatakan tidak dalam keadaan suci atau kotor. Untuk itu, larangan salat saat haid sangat tegas dan tidak boleh dilanggar. Sebagaimana hadist riwayat Bukhari dan Muslim: "Apabila haid datang, tinggalkanlah salat."
Riwayat hadist Bukhari lainnya juga menjelaskan tidak perlu mengqadha salat ketika selesai menstruasi. "Suatu hari, datanglah seorang wanita dan bertanya kepada Aisyah, 'Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha salat bila telah suci dari haid?' Kemudian istri Nabi pun bertanya, 'Apakah engkau wanita Hururiyah? Kami dulunya haid di masa Nabi SAW. Beliau tidak memerintahkan kami mengganti salat," (HR. Bukhari).
Lantas, kapan waktu yang tepat untuk bersuci setelah haid agar wanita bisa segera melaksanakan ibadah salat maupun puasa?
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Bedakan Haid, Istihadah, dan Nifas
Sebelum membedah kapan waktu yang tepat untuk bersuci setelah haid, penting pula untuk mengetahui perbedaan haid, nifas, dan istihadah. Pasalnya, ketiganya sama-sama merupakan proses keluarnya darah dari organ intim wanita, namun ketiganya memiliki hukum yang berbeda.
Mengutip buku Ladang-ladang Pahala bagi Wanita oleh Umi Hasunah Ar-Razi, para ulama memiliki pendapat masing-masing terkait siklus haid. Memang, siklus dan lama haid setiap wanita bisa berbeda-beda. Namun, sebagian ulama menjelaskan bahwa batasan minimum haid, yaitu sehari semalam dengan catatan, darah yang keluar dari rahim wanita tidak pernah terputus atau terus-menerus.
Sebagian ulama lainnya mengatakan lama haid normalnya selama 6 sampai 7 hari. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa haid harus terjadi selama 15 hari 15 malam. Dengan begitu, jika seorang wanita mengalami haid selama 16 hari bahkan lebih, maka darah yang keluar bukanlah haid, melainkan istihadah atau terjadi kelainan maupun penyakit.
Begitu juga bila darah yang keluar terputus-putus atau pada saat-saat tertentu saja maka bisa dikatakan sebagai istihadah. Meskipun berlangsung selama 15 hari namun tidak terus menerus maka bisa dikatakan istihadah.
Seorang wanita lazimnya akan mengalami haid sekitar satu sampai dua kali dalam sebulan. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa seorang wanita akan mengalami masa suci sedikitnya 15 hari.
Seorang wanita yang mengalami haid setidaknya mengeluarkan darah selama 24 jam. Selain itu, seorang wanita juga dapat dikatakan mengalami haid jika ia mengeluarkan darah selama tujuh jam dalam siklus melompat-lompat. Misalnya, pada hari pertama, seorang wanita mengalami haid selama tujuh jam. Kemudian, di hari kedua dan ketiga, ia tidak mengeluarkan darah sama sekali.
Namun, pada hari keempat dan kelima, ia mengeluarkan darah selama 10 dan 8 jam. Dalam hal ini, jika durasi darah yang keluar kurang dari 24 jam, maka dalam hukum Islam, darah tersebut dianggap bukan haid, melainkan istihadah.
Adapun nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah wanita melahirkan. Lama keluarnya darah nifas berbeda-beda namun lazimnya mencapai 40 hari setelah melahirkan. Selama masa nifas, seorang perempuan juga dilarang untuk salat, puasa, dan berhubungan intim dengan suaminya.
Advertisement
Hukum Flek Sesudah Haid
Bagaimana pula dengan flek atau bercak kecoklatan yang keluar setelah haid? Apakah wanita bisa melaksanakan salat saat masih ada flek?
Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal menulis dalam rumaysho.com, terdapat dua hadist yang menjelaskan hal ini. Pertama, hadist dari Ummu 'Athiyah RA yang berkata: "Kami tidak menganggap sebagai haid pada cairan keruh (kudrah) dan warna kekuningan (shufrah) setelah bersuci. (HR. Bukhari no.326; Abu Daud, no 308; An-Nasai no 1:186).
Hadist kedua adalah, beberapa wanita pernah diutus menemui Aisyah RA dengan membawa wadah kecil berisi kapas. Kapas itu terdapat warna kuning (flek) Aisyah berkata: "Jangan terburu-buru (menganggap suci) sampai engkau melihat al-qashashah al-baydha (cairan putih). (HR.Bukhari secara mu'allaq tanpa sanad).
Dijelaskan, hukum flek baik kudrah (cairan keruh) dan shufrah (cairan kuning). Di mana jika cairan tersebut keluar pada masa haid atau bersambung dengan haid, dihukumi sebagai haid.Sedangkan jika keluar di selain masa haid, maka dihukumi bukan haid. Ini menjadi pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Hambali, salah satu pendapat Malikiyah, salah satu pendapat Syafi’iyah, dipilih juga oleh Ibnu Taimiyah, termasuk Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (Mulakhkash Fiqh Al-‘Ibadat, halaman. 139).
Adapun tanda suci dari haid pada wanita terlihat al-qashshah al-baydha’, yaitu cairan putih keluar dari rahim ketika berhentinya darah haid. Ciri lainnya, terlihat jufuf (kering), atau dinilai suci ketika sudah terasa kering.
Tandanya adalah dicoba dengan kapas, lalu tidak tampak lagi cairan kuning dan cairan keruh."Tanda selesainya wanita dari haid tergantung kebiasaan. Ada wanita yang memiliki tanda dengan keluarnya al-qashshah al-baydha’, ada yang al-jufuf saja, ada juga yang kedua-duanya. Kebanyakan wanita tanda berhentinya adalah al-qashshah al-baydha’, ada juga dengan al-jufuf. Al-qashshah al-baydha’ adalah tanda yang paling terlihat jelas. Jadi, kalau sudah terlihat al-qashshah al-baydha’, tanpa perlu menunggu al-jufuf," jelas Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal.
Â