Menunda Bayar Utang Padahal Sudah Mampu, Apakah Termasuk Dosa?

Biasanya antara si penagih utang dengan orang yang berhutang memiliki kesepakatan waktu pelunasan. Namun, bagaimana jika seseorang menunda membayar hutangnya padahal sudah mampu? Begini hukumnya dalam islam.

oleh Putry Damayanty diperbarui 10 Jul 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2024, 20:30 WIB
hutang tagihan finansial uang kesulitan
ilustrasi perempuan keuangan/Kmpzzz/Shutterstock

Liputan6.com, Jakarta - Manusia bekerja setiap hari untuk menuhi kebutuhan hidupnya. Namun, kehidupan zaman sekarang tampaknya terasa semakin keras dan berat sehingga beberapa orang terlebit utang.

Banyak yang akhirnya menghalalkan segala cara harus saling adu domba tanpa pandang bulu baik kawan maupun lawan demi bisa bertahan hidup.

Tak jarang juga dijumpai orang-orang memilih untuk berhutang karena situasi terdesak. Keadaan ini semakin sesak dan terus berulang hingga uang dapat terkumpulkan.

Namun, di sisi lain ada orang-orang yang berhutang tapi menyepelekan untuk membayar utangnya. Ia berani menunda membayar utang padahal sudah mampu.

Jika dilihat dari sudut pandang Islam, bagaimana hukum menunda bayar utang padahal sudah mampu? Apakah termasuk perbuatan dosa? Berikut penjelasannya mengutip dari laman bincangsyariah.com.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Syarat Penagihan Utang

Ilustrasi Stress
Ilustrasi Stres karena terjerat utang | foto : istimewa

Dalam pembahasan fikih muamalah, akad yang mengatur utang-piutang disebut dengan akad qardh, yang dalam akad ini pihak pemberi hutang disebut dengan muqridh, dan pihak yang berhutang disebut dengan muqtaridh. Hukum asal dari memberi hutang adalah sunnah karena merupakan salah satu bentuk  menolong orang lain dari kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi:

 مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ العَبْدِ مَا دَامَ العَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ. رواه مسلم

“Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim)

Dalam akad qardh sendiri menurut mayoritas ulama tidak disyaratkan adanya jangka waktu tertentu untuk pelunasan. Bila syarat tersebut disebutkan saat akad berlangsung, maka syarat tersebut otomatis gugur. Oleh sebab itu, pihak pemberi hutang boleh-boleh saja menagih hutang sebelum jatuh tempo. Hal ini sebagaimana diutarakan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (33/128):

“Syarat tempo hutang. Ulama berbeda pendapat dalam hal sahnya syarat jangka waktu dalam akad hutang piutang.Terdapat dua pendapat salah satunya pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, serta pendapat dari Imam al-Awza’i, Imam Ibn al-Mundzir dan ulama lainnya bahwa dalam utang piutang tidak diwajibkan adanya penentuan tempo pelunasan meskipun sudah disyaratkan dalam akad. Oleh karena itu, pihak yang memberi hutang boleh menagih sebelum jatuh tempo” 

Meskipun boleh menagih hutang sebelum jatuh tempo, hanya saja sebaiknya ditangguhkan terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub (halaman 274):

وَلَوْ شَرَطَ أَجَلًا فَالشَّرْطُ لَغْوٌ وَلِلْمُقْرِضِ مُطَالَبَتُهُ قَبْلَ حُلُوْلِهِ وَيُسَنُّ لَهُ الوَفَاءُ بِالتَّأْجِيْلِ

“Seandainya disyaratkan adanya tempo pelunasan, maka syarat tersebut menjadi sia-sia. Pihak pemberi hutang boleh menagih utangnya sebelum jatuh tempo, namun sunnah baginya menagihnya sesuai dengan waktu yang disepakati".

Hukum Menunda Membayar Utang

Jangan Buat Foya-foya, Sulap Utang Menjadi Untung dengan Cara ini
(Foto: Ilustrasi)

Sebagai catatan tambahan, pihak pengutang yang tidak melunasi hutangnya sebelum jatuh tempo padahal sudah mampu, ia tidak tergolong sebagai penunda-nunda pelunasan hutang yang mendapat dosa.

Sebab yang masuk kategori ini adalah orang yang mampu membayar namun menunda bayar hutang sampai setelah tempo waktu yang ditentukan, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’ (5/67):

(ش قَوْلُهُ “مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ” الـمَطْلُ هُوَ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتُحِقَّ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ. فَلَا يَكُوْنُ مَا لَمْ يَحِلَّ أَجَلُهُ مِنَ الدُّيُوْنِ مَطْلًا. وَإِنَّمَا يَكُوْنُ مَطْلًا بَعْدَ حُلُوْلِ أَجَلِهِ.

“(Penjelasan) hadis Nabi ‘Penundaan bayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.’ Penundaan yang dimaksud dalam hadis ini adalah mencegah untuk membayar hutang yang seharusnya ia lunasi. Oleh karena itu, bila masih belum jatuh tempo maka tidak dikategorikan sebagai upaya penundaan pelunasan hutang. Dikatakan sebagai perbuatan menunda-nunda bila dilakukan sesudah jatuh tempo”

Wallahu a’lam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya