Liputan6.com, Jakarta - Muharram merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Dari sejumlah bulan yang ada, Allah SWT telah memilih empat di antaranya sebagai bulan mulia (asyhurul hurum), termasuk bulan Muharrram.
Tak heran jika masyarakat di beberapa daerah turut menyambut bulan ini dengan suka cita melalui tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Termasuk salah satunya tradisi Tabuik yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat. Tabuik merupakan tradisi bulan Muharram khas masyarakat Minang yang kental dengan nuansa islami dan sosial.
Advertisement
Baca Juga
Tradisi ini dilaksanakan pada hari Asyura, 10 Muharram. Tujuan upacara ini dilakukan untuk mengenang kematian Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Penasaran dengan tradisi Tabuik dari Sumatra Barat ini? Simak rangkuman selengkapnya sebagaimana dihimpun dari laman merdeka.com.
Saksikan Video Pilihan ini:
Asal Usul Tabuik
Mengutip kebudayaan.go.id, tradisi Tabuik ini dibawa oleh orang-orang Madras dan Bengali. Mereka sempat tinggal di Bengkulu, menikah dengan warga setempat dan keturunan selanjutnya diberi nama orang Sipai.
Pada awalnya, tradisi ini untuk berkabung saat ada anggota keluarga yang meninggal, namun terjadi akulturasi dengan budaya setempat sehingga lahirlah Tabuik atau Tabot.
Selain itu, awal mula tradisi ini rupanya dilakukan oleh orang-orang Syi'ah untuk mengenang gugurnya seorang Muslim bernama Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Namun, banyaknya pengaruh dari luar telah melunturkan keaslian tradisi. Hal ini karena orang-orang Sipai mulai lepas dari ajaran Syi'ah. Pada akhirnya upacara ini hanya untuk memenuhi wasiat leluhur. Bahkan, keterlibatan orang-orang Sipai ini hanya sebagai bentuk pengembangan budaya di daerah tersebut.
Lazimnya, upacara ini berlangsung pada 10 Muharam dalam kalender Islam atau disebut dengan Hari Asyura. Tujuan dari upacara ini untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein.
Advertisement
Prosesi Tabuik
Tabuik diambil dari bahasa Arab Melayu yang artinya peti atau keranda yang dihiasi bunga-bunga dan kain warna-warni dan dibawa secara arak-arakan keliling kampung.
Sementara di Pariaman, Tabuik adalah keranda yang diibaratkan membawa jenazah Husein bin Ali yang terbuat dari bambu, kayu rotan yang dihiasi bunga-bunga "Salapan".
Proses jalannya Tabuik ini sangat sakral dan kolosal, hal ini membutuhkan banyak massa mulai dari persiapan hingga tahap akhir. Lazimnya upacara ini melibatkan warga setempat sampai pihak dari luar daerah yang sudah mengerti terkait upacara tersebut.
Sebelum acara dimulai, biasanya rumah Tabuik mendirikan sebuah tempat yang dilingkari dengan bahan bernama Pimpiang yang bentuknya persegi empat dan di dalamnya diberi corak bernama Daraga. Fungsinya untuk menyimpan alat ritual dan tempat pelaksanaan Maatam.
Bagi masyarakat Pariaman, tradisi Tabuik sudah menjadi cerminan sikap dan pola hidup. Nilai yang terkandung di setiap proses Tabuik merupakan momen penting bagi masyarakat.
Selain itu, Tabuik juga merupakan tradisi sosial keagamaan masyarakat Minangkabau, khususnya di Padang Pariaman.