Jangan Berdasar Hawa Nafsu, Buya Yahya Beri Pesan Menyentuh tentang Perceraian dalam Islam

Menurut Buya Yahya, perceraian hadir sebagai pelajaran, bukan sekadar wadah untuk menyalurkan hawa nafsu. Ia mengingatkan bahwa jika seseorang menceraikan pasangan dengan didorong amarah, ia akan kecewa dengan keputusan tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Nov 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2024, 20:30 WIB
Buya Yahya. (Foto: Dok. Instagram @buyayahya_albahjah)
Buya Yahya. (Foto: Dok. Instagram @buyayahya_albahjah)

Liputan6.com, Jakarta - Perceraian dalam Islam memang diperbolehkan. Meski begitu, perceraian adalah sesuatu yang dibenci Allah SWT.

KH Yahya Zainul Ma'arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, menyampaikan pandangan yang mendalam terkait topik ini.

Menurut Buya Yahya, perceraian hadir sebagai pelajaran, bukan sekadar wadah untuk menyalurkan hawa nafsu. Ia mengingatkan bahwa jika seseorang menceraikan pasangan dengan didorong amarah, ia akan kecewa dengan keputusan tersebut.

Buya Yahya berusaha menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ketenangan hati dan berpikir jernih dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Mencuplik tayangan di YouTube @buyayahyaofficial, Buya Yahya menjelaskan bahwa Islam memberikan ruang untuk perceraian, namun dengan syarat-syarat yang ketat. "Cerai itu ada dalam Islam untuk belajar, bukan untuk melampiaskan hawa nafsu," jelasnya. Menurutnya, perceraian yang dilakukan semata-mata karena emosi akan membawa penyesalan.

Sementara itu, mengutip dari laman nu.or.id, salah satu sebab utama istri menggugat cerai adalah kurangnya nafkah yang diberikan oleh suami. Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya, termasuk pangan, sandang, dan tempat tinggal. Ketika seorang suami gagal memenuhi hal ini, istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama.

Gugatan cerai yang diajukan istri ini tidak bisa serta-merta dikabulkan. Pengadilan agama memiliki proses panjang dalam mengkaji alasan yang diajukan oleh istri. Dalam persidangan, istri perlu memberikan bukti konkret mengenai ketidakmampuan suami dalam memenuhi nafkah. Bukti seperti rincian pengeluaran dan kondisi keuangan keluarga menjadi dasar pengadilan untuk memutuskan kelayakan gugatan cerai tersebut.

Suami pun diberikan kesempatan dalam sidang untuk menjelaskan alasannya. Jika alasan suami dianggap tidak memadai, pengadilan agama dapat mengabulkan gugatan cerai tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada berbagai aspek, termasuk status hukum pernikahan, hak asuh anak, hingga pembagian harta.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Penjelasan tentang Syarat Perceraian

Ilustrasi Sidang Cerai
Ilustrasi Sidang Cerai

Mengacu pada syariat Islam, gugatan cerai oleh istri atas dasar kurangnya nafkah harus memenuhi sejumlah syarat. Sayyid Abdurrahman bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam kitabnya menjelaskan syarat-syarat ini, antara lain ketidakmampuan suami menyediakan nafkah minimum yang mencakup kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Dalam kitabnya, beliau menuliskan:

"يَجُوزُ فَسْخُ الزَّوْجَةِ النِّكَاحَ مِنْ زَوْجِهَا حَضَرَ أَوْ غَابَ بِتِسْعَةِ شُرُوطٍ: إِعْسَارُهُ بِأَقَلِّ النَّفَقَةِ وَالْكِسْوَةِ وَالْمَسْكَنِ لَا الْأُدُمِ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ كَسْبٌ أَصْلًا أَوْ لَا يَفِي بِذَلِكَ أَوْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يَسْتَعْمِلُهُ أَوْ بِهِ مَرَضٌ يَمْنَعُهُ عَنِ الْكَسْبِ ثَلَاثًا أَوْ لَهُ كَسْبٌ غَيْرُ لَائِقٍ أَبَى أَنْ يَتَكَلَّفَهُ أَوْ كَانَ حَرَامًا أَوْ حَضَرَ هُوَ وَغَابَ مَالُهُ مَرْحَلَتَيْنِ أَوْ كَانَ عَقَارًا أَوْ عَرَضًا أَوْ دَيْنًا مُؤَجَّلًا أَوْ عَلَى مُعْسِرٍ أَوْ مَغْصُوبًا وَتَعَذَّرَ تَحْصِيلُ النَّفَقَةِ مِنَ الْكُلِّ فِي ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ"

Artinya, diperbolehkan bagi istri untuk merusak pernikahan dari suaminya, baik ia hadir maupun tidak, dengan sembilan syarat. Di antaranya: suami tidak mampu memberikan nafkah, pakaian, dan tempat minimum; suami sama sekali tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan yang mencukupi; suami tidak dapat menemukan pekerjaan; suami menderita penyakit yang menghalanginya untuk bekerja selama tiga hari; dan suami memiliki pekerjaan yang tidak layak atau pekerjaannya haram.

Standar nafkah minimum juga diatur dalam kitab fikih. Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami menjelaskan bahwa nafkah minimum yang wajib meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Standar ini menjadi dasar untuk menentukan apakah istri berhak mengajukan gugatan cerai.

Dalam pandangannya, beliau menuliskan:

"أَقَلُّ النَّفَقَةِ الْوَاجِبِ وَهُوَ مُدٌّ فَخَرَجَ مَا لَوْ أَعْسَرَ الْمُتَوَسِّطُ، أَوْ الْمُوسِرُ، عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهَا فَلَا فَسْخَ لَهَا."

Artinya, nafkah minimum yang wajib itu adalah satu mud (takaran makanan pokok) per hari. Jika suami gagal memenuhi kebutuhan minimum tersebut, istri berhak menggugat cerai, kecuali jika ia mampu dan tetap memenuhi nafkah tersebut.

 

Perceraian Bukanlah Perkara Mudah

Arti Mimpi Bercerai dengan Suami Tercinta
Ilustrasi perceraian/credit: Freepik.com

Secara umum, takaran satu mud diartikan sebagai satu cakupan tangan orang dewasa dengan makanan pokok yang biasa dikonsumsi, seperti beras. Ukuran ini dinilai cukup untuk kebutuhan minimum istri dan anak-anaknya sehari-hari.

Namun, jika suami telah memenuhi nafkah primer, gugatan cerai tidak dapat diajukan hanya karena istri menginginkan nafkah tambahan. Misalnya, istri tidak bisa menggugat hanya karena ia tidak mendapatkan makanan yang lebih enak atau tempat tinggal yang lebih baik.

Perceraian dalam Islam bukanlah perkara mudah. Meskipun diperbolehkan, proses perceraian tetap harus memenuhi syarat dan mengikuti prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Dengan demikian, setiap pihak tetap terlindungi hak-haknya.

Menurut Buya Yahya, perceraian adalah pelajaran bagi mereka yang mengalaminya, bukan cara untuk membalas dendam atau melampiaskan amarah. Islam mengajarkan keseimbangan dan ketenangan dalam menghadapi masalah rumah tangga.

Proses hukum perceraian juga dirancang agar semua pihak tetap mendapatkan keadilan. Pengadilan agama diharapkan mampu menilai setiap kasus dengan bijak, memberikan keputusan yang tepat bagi setiap pihak.

Meski seorang istri boleh mengajukan gugatan cerai jika syarat-syarat tertentu terpenuhi, tindakan ini tidak boleh dilakukan secara gegabah. Semua keputusan harus melalui proses yang sah dan adil.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya