Liputan6.com, Jakarta - Pajak merupakan salah satu elemen krusial dalam kehidupan masyarakat masa kini yang dikelola oleh pemerintah untuk mendanai berbagai sektor publik, termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan layanan masyarakat lainnya.
Meskipun pajak adalah konsep yang sangat erat kaitannya dengan sistem kenegaraan modern, Islam pun memiliki pandangan yang jelas mengenai kewajiban membayar pajak sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan keadilan.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Salah satu jenis pajak yang saat ini menjadi sorotan publik adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang naik menjadi 12% di Indonesia. Isu ini menimbulkan berbagai perdebatan, terutama mengenai keadilan dan dampaknya terhadap masyarakat.
Lantas, setelah PPN Naik 12% dan dinilai memberatkan, bagaimana sebenarnya hukum membayar pajak dalam Islam? Pertanyaan ini sering kali muncul di tengah berbagai perdebatan tentang kewajiban finansial dalam masyarakat.
Berikut adalah penjelasan Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengenai persoalan ini, serta pandangannya tentang kewajiban membayar pajak dalam konteks ajaran Islam yang menekankan pada kemakmuran umat.
Saksikan Video Pilihan ini:
Perbedaan Pajak dan Zakat
Ustdaz Adi Hidayat menekankan tentang perbedaan bahasan fiqih dalam hukum Islam yang perlu dipahami terlebih dahulu.
"Jadi, terkait dengan pajak ini, bedakan di fiqih kita, itu di fiqih muamalah, pembahasannya. Ya, dalam fiqih, dalam fiqih muamalah ada beberapa yang dibedakan dalam hukum Islam berlaku zakat. Dalam hukum Islam berlaku zakat bagi orang Islam, bagi orang Islam, ya, sedangkan bagi non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam, ya, negaranya sudah negara Islam hukumnya sudah berlaku," ucapnya dikutip dari YouTube Ummu Haniya.
"Maka ada juga pemungutan semisal pajak, semisal pajak untuk memberikan keamanan, ketentraman, dan nilainya kembali kepada mereka retribusinya. Kalau hukumnya sudah berlaku, hukum Islam, negaranya Islam dan semua dibentuk dalam sistem Islami, ya. Tapi kalau misalnya tinggal di negara yang bukan Islam, ya, hukum zakat tetap berlaku," jelasnya.
Zakat inilah yang kemudian dikelola oleh badan tertentu. Seperti di Indonesia dikenal dengan Bazis (Badan Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh). Hukumnya terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60 ' اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا '
Ada juga yang tidak masuk Bazis, misal di setiap DKM (Dewan Kesejahteraan Masjid) ada pengelolaan zakatnya. Jadi, setiap kita akan mengeluarkan zakat, wajib hukumnya.
"Jangan tunggu negara Islam dulu baru zakat dikeluarkan. Tidak bisa seperti itu. Jadi, zakat tetap berlaku bagian dari nilai Islam, begitu dapat kita hukumnya, baik zakat mal ataupun zakat fitri, bukan zakat fitrah yang kalau dalam bahasa hadis, tapi zakat fitri. Baik zakat fitri ataupun zakat mal, kalau sudah tiba, hukumnya wajib dikeluarkan. Wajib dikeluarkan, " katanya.
Advertisement
Hukum Membayar Pajak dalam Pandangan Islam
Adapun persoalan pajak terkait dengan fiqih muamalah, maka diserahkan kepada otoritas setempat dengan sistem kenegaraan yang berlaku, misalnya di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan sebagainya.
"Jadi, terkait dengan pajak itu bukan hukum dalam agama kita, tapi terkait dengan ketaatan dalam tata kelola terhadap ulil amri yang mengatur kemaslahatan kita. Pajak dipungut teoritisnya untuk dikembalikan kepada kemakmuran rakyat, ya," ungkapnya.
Di Indonesia contohnya sumber pajak dari bangunan, makanan, dan sebagainya. Biaya tersebut tentu bisa digunakan untuk biaya keamanan, pembangunan infrastruktur umum, jalan dan lainnya.
"Apa hukuman atau pandangan dalam agama Islam? Kalau sudah ditetapkan oleh pemerintah, wajib mengikuti, itu hukum muamalah namanya," tegasnya.
Maka dapat disimpulkan jika membayar pajak wajib dilakukan. Adapun terkait masalah lainnya, misal penyimpangan yang digunakan untuk hal yang tidak tepat, korupsi, dan sebagainya, itu merupakan perkara yang terpisah dan dosanya ditanggung oleh pelakunya.