Liputan6.com, Jakarta - Ceramah Gus Baha selalu menghadirkan pandangan yang mendalam dan tidak jarang diiringi humor. Dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha mengangkat tema menarik tentang perbandingan kontribusi sosial antara orang kaya dan tukang becak.
Dalam tayangan video yang dikutip di kanal YouTube @NasihatGusBaha-f4, Gus Baha membagikan pengalamannya berdiskusi dengan seorang orang kaya di Jakarta yang memiliki harta melimpah, bahkan mencapai miliaran hingga triliunan rupiah.
Advertisement
Orang kaya tersebut mengungkapkan kebanggaannya karena telah membantu banyak masjid. "Sudah banyak masjid yang dibantu. Hebat kan, Gus?" tanyanya kepada Gus Baha.
Advertisement
Namun, jawaban Gus Baha justru tak terduga. "Nggak keren sama sekali. Masih keren orang miskin," balas Gus Baha, yang membuat lawan bicaranya heran.
Gus Baha lalu menjelaskan pandangannya. Menurutnya, meskipun orang kaya mampu menyumbang hingga miliaran untuk pembangunan masjid, hal itu tidak terlalu mendesak.
"Sampean bangun masjid Rp1 miliar itu masjid apa? Pasti masjid bagus, buat beli kubah atau apa. Itu tidak mendesak sama sekali. Masjid sudah banyak juga di mana-mana," ujar Gus Baha.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Kalau Tukang Becak Utang Taruhannya Nyawa
Sebaliknya, tukang becak yang miskin dinilai lebih hebat karena kontribusinya langsung menyentuh kebutuhan hidup orang lain. Orang miskin sering kali saling membantu, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun.
"Tukang becak itu kalau nggak utang hari itu, nggak makan. Kan nggak mungkin tukang becak utang kepada bank atau orang kaya raya. Kenal saja nggak," jelasnya.
Orang miskin biasanya berutang kepada sesama orang miskin. Gus Baha menilai, inilah bentuk solidaritas yang lebih nyata dan mendesak.
"Kalau saya jadi orang kaya utang ke Habib Bidin, mesti mau beli Innova. Karena level orang elit, jadi utangnya itu buat beli aksesoris Innova seri terbaru," candanya, yang diiringi tawa dari para jemaah.
Sebaliknya, utang orang miskin kepada sesama biasanya untuk kebutuhan pokok, seperti membeli beras atau makanan yang menyangkut kelangsungan hidup.
"Kalau orang miskin utang ke orang miskin lainnya, itu utangnya untuk beras, untuk nyawa," tegas Gus Baha.
Menurut Gus Baha, solidaritas semacam ini jauh lebih bermakna dibandingkan pembangunan masjid yang mewah tetapi tidak mendesak.
Advertisement
Masjid Tanpa Dibantu Orang Kaya Islam Masih Tetap Kokoh
Ia juga menekankan bahwa masjid tetap bisa berjalan dengan baik tanpa harus bergantung pada bantuan orang kaya. Sebab, masjid-masjid di kampung biasanya sudah cukup untuk kebutuhan ibadah masyarakat.
"Masjid itu banyak. Kalau nggak ada masjid baru pun, agama tetap jalan. Karena di kampung-kampung sudah banyak masjid," ungkapnya.
Gus Baha mengajak umat untuk melihat esensi dalam membantu orang lain. Tidak perlu menunggu kaya raya untuk memberikan manfaat kepada sesama.
Menurutnya, orang miskin yang saling membantu dalam keadaan sulit justru menunjukkan kekuatan iman dan solidaritas yang luar biasa.
"Yang hebat itu yang langsung membantu kebutuhan hidup orang lain, bukan hanya membangun sesuatu yang megah tapi tidak mendesak," ujarnya.
Ceramah ini juga memberikan pemahaman bahwa membantu orang lain tidak selalu membutuhkan harta yang melimpah. Bahkan dengan keterbatasan, seseorang bisa memberikan manfaat besar.
Gus Baha juga mengingatkan agar umat tidak terlalu fokus pada kebanggaan pribadi dalam membantu orang lain. Bantuan yang ikhlas dan tepat sasaran lebih utama dibandingkan bantuan yang hanya demi pujian.
Ia menutup ceramahnya dengan pesan agar umat Islam selalu introspeksi dalam setiap amal yang dilakukan, sehingga niatnya benar-benar tulus karena Allah.
Guyonan dan analogi Gus Baha ini menginspirasi banyak orang untuk lebih peka terhadap kebutuhan mendesak di sekitarnya, terutama mereka yang benar-benar membutuhkan.
Dengan cara penyampaiannya yang ringan namun berbobot, Gus Baha kembali menunjukkan bahwa agama Islam mengajarkan kebaikan yang menyentuh langsung kehidupan manusia.
Melalui ceramah ini, Gus Baha mengingatkan bahwa kehebatan seseorang bukan diukur dari jumlah harta yang disumbangkan, tetapi dari ketulusan dan dampaknya bagi sesama.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul