Kisah Tongkat dan Tasbih Mbah Kholil Bangkalan untuk KH Hasyim Asy'ari, Selamat Harlah ke-102 NU

Harlah ke 102 NU digelar dalam rangka memperingati hari lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jan 2025, 04:30 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2025, 04:30 WIB
Logo Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU)
Logo Harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU). (Dok. PBNU via NU Online)... Selengkapnya

Liputan6.com, Cilacap - Harlah ke-102 NU jatuh pada hari Kamis tanggal 16 Januari 2025 H bertepatan dengan 16 Rajab 1446 H. Harlah NU kali ini bertemakan ‘Bekerja Bersama Umat untuk Indonesia Maslahat.’

Puncak kegiatan Harlah ke-102 NU ini akan dilaksanakan di Surabaya, Jawa Timur.

Berbagai rangkaian acara untuk memperingati Harlah NU telah disiapkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Panitia Prof. Masykuri Bakri mengatakan, kick off Harlah NU tersebut akan disi dengan 4 kegiatan utama.

"Kegiatan Kick Off Harlah Ke-102 NU ini terdiri dari empat rangkaian utama, yakni sambutan-sambutan yang akan disampaikan Ketua PWNU Jawa Timur KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), lalu sambutan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, disusul Taujihat dari Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, dan ditutup doa oleh Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur KH Anwar Manshur," ujar Prof Masykuri Bakri dikutip dari NU Online, Rabu (15/01/2025).

Terkait Harlah NU yang akan digelar esok hari, penting untuk mengenang kembali sejarah lahirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kisah ini melibatkan dua ulama besar, guru dan murid, sekaligus guru-guru untuk ulama di Nusantara, Mbah Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari.

 

Kisah Berdirinya NU

Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy'ari (NU Online)
Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy'ari (NU Online)... Selengkapnya

Alkisah, KH Hasyim Asy'ari meminca restu kepada gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan untuk mendirikan jam'iyyah. Jawaban itu tiba melalui utusan khusus Mbah Kholil, KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo atau santri As'ad.

Mengutip NU Online, setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Muhammad Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad.

Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng.

Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)

Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.

Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng.

KH Hasyim Asy'ari Melakukan Sholat Istikharah

Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari
Syaikhona Kholil Bangkalan (kanan) dan KH Hasyim Asy'ari (kiri). (Istimewa via Wikipedia dan An-nur.ac.id)... Selengkapnya

Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.

Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim.

Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi.

Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.

Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas.

Komite Hijaz Cikal Bakal Berdirinya NU

Hari Pahlawan - KH. Hasyim Asya'ri (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)
Hari Pahlawan - KH. Hasyim Asya'ri (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)... Selengkapnya

Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah.

Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan. Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bgai ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.

Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta.

Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.

Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926.

Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah.

Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Simak Video Pilihan Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya