Liputan6.com, Jakarta - Kehidupan dunia ini terdiri dari beberapa siklus mulai dari kelahiran, pertumbuhan, hingga kematian. Semua yang hidup di dunia ini pasti akan mengalami kehancuran di hari kiamat, tanpa terkecuali.
Seiring berjalannya waktu, setiap makhluk hidup, baik manusia, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun, mengalami perubahan dan akhirnya akan binasa. Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Islam meyakini bahwa semua makhluk yang ada di dunia ini akan binasa. Ini menjadi bagian dari pemahaman tentang kehidupan dunia yang sifatnya sementara.
Namun, jika semua yang ada di dunia akan berakhir, bagaimana dengan kehidupan akhirat yang dijanjikan?
Sebab akhirat adalah makhluk, apakah akhirat juga akan mengalami kehancuran, ataukah ia akan kekal selamanya? Berikut penjelasannya dilansir dari NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Makhluk yang Dikekalkan Allah
Allah itu bersifat Baqa’, artinya wujud Allah itu kekal; tidak mengalami kemusnahan. Allah berfirman:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
"Bahwa semua selain Allah akan hancur." (QS. Al-Qashash : 88)
Menurut Syekh Ibrahim al-Laqani dalam Jauharatut Tauhid, keumuman ayat ini telah di-takhshish (dispesifikasi).
و كل شيء هالكٌ قد خصصُوا عمومَه فاطلُب لما قد لخصوا
“Para ulama telah mentakshish keumuman ayat ‘kullu syai’in hâlikun’. Maka carilah apa-apa yang telah mereka ringkaskan.”
Para ulama telah men-takhshish keumuman ayat tersebut dengan beberapa makhluk yang Allah kehendaki untuk kekal dan tidak mengalami kehancuran, yang menurut keterangan beberapa hadis merupakan pengecualian seperti: surga, neraka, arsy, kursy, ruh, dan lain-lain. Ada juga yang berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah, bahwa segala sesuatu akan musnah kecuali amal yang dikerjakan karena Allah. Atau maksud hâlikun itu adalah qâbilun lil halak (menerima kerusakan), sebagaimana disebutkan para ulama, misalnya Syekh Al-Baijuri dalam Tuhfatul Murid, dan Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid.
Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, sebagaimana dikutip Syekh Al-Baijuri dan Syekh Nawawi al-Bantani menyebutkan nazam tentang delapan hal yang kekal sebagai berikut:
ثمَانيةٌ حكْم البقاء يعُمها من الخلق والباقُون في حيز العدَم هي العرْش والكرسي نار وجنة وعجب وارواح كذا اللوحُ والقلم
“Ada delapan hal dari makhluk ini yang hukum kekekalan meratainya, sedangkan yang lain berada di wilayah ketiadaan. Yaitu arasy, kursi, neraka, surga, ajbudz dzanab (tulang ekor), dan ruh. Demikian juga lauh mahfudz dan qalam (pena).”
Advertisement
Kekalnya Surga dan Neraka
Banyak dalil Al-Quran dan hadis yang menyatakan bahwa penduduk surga dan neraka itu kekal (khâlidin), misalnya dalam Surat Hud ayat 106-108:
"Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik napas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain) sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya." (QS. Hud : 106-108)
Tentang kekekalan kenikmatan surga dan siksa neraka, Syekh Al-Bayjury dalam Tuhfatul Murid ‘ala Syarhi Jauharatit Tauhid menyatakan:
“Kenikmatan surga dan siksa neraka itu ada permulaannya, tapi tidak berakhir. Setiap keduanya adalah kekal, tetapi dikekalkan (baqin) oleh agama, bukan oleh akal. Karena akal itu memungkinkan ketiadaannya.”
Di antara hadis yang menetapkan kekekalan surga dan neraka adalah hadits shahih, termasuk di dalamnya tentang "penyembelihan" (diakhirinya) kematian
Dari Ibnu Umar berkata, Rosulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Ketika ahli surga telah masuk ke dalam surga dan ahli neraka telah masuk ke dalam neraka, didatangkanlah al-maut (kematian) sampai tempat di antara surga dan neraka, kemudian disembelih. Lalu akan memanggil seorang penyeru: "Wahai penduduk surga, tidak ada (lagj) kematian. Wahai penduduk neraka, tidak ada (lagi) kematian.Maka penduduk surga bertambah gembira di atas kegembiraan mereka, dan penduduk neraka bertambah sedih di atas kesedihan mereka." (HR. Bukhari).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa ada perbedaan antara kekalnya Allah dengan kekalnya surga dan neraka. Kekalnya Allah bersifat dzatiyah dan hukumnya wajib (pasti), baik dari segi aqal ataupun agama (syara’) serta tidak ada permulaannya, sedangkan kekalnya surga dan neraka itu tidak bersifat dzatiyah namun karena dikehendaki oleh Allah dan juga wajib dari segi syara’ saja, tidak dari segi akal, serta keduanya ada permulaanya.
Keyakinan ini bahkan merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama Ahlissunnah wal Jamaah sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Abdul Qahir al-Bahghdady dalam Al-Farqu Baynal Firaq sebagai berikut:
“Ahlussunnah juga sepakat tentang kemungkinan kemusnahan keseluruhan alam semesta, ditinjau dari segi qudrah Allah dan segi kemungkinan secara akal. Namun, mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat tentang keabadian surga, dan keabadian neraka dan siksanya itu dari segi agama (syara’).