Liputan6.com, Jakarta - Seorang suami memiliki kewajiban membimbing istri dan keluarganya ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT. Suami harus senantiasa berusaha agar istri dan anak-anaknya selalu taat pada perintah-Nya.
Namun, realitanya ada saja istri yang lalai terhadap perintah Allah SWT. Alih-alih beribadah, istri malah melakukan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam syariat, naudzubillah!
Terkait hal ini, seorang jemaah kajian Ustadz Khalid Basalamah bertanya, apakah seorang suami nanti di akhirat akan menanggung dosa istri yang lalai kepada perintah Allah?
Advertisement
Baca Juga
“Saya sebagai suami selama ini selalu berusaha mengajak istri saya kepada jalan yang benar dan lurus, tapi istri belum mendapatkan hidayah,” curhat jemaah tersebut kepada Ustadz Khalid Basalamah dikutip dari YouTube Khalid Basalamah Official, Sabtu (8/2/2025).
Simak penjelasannya di halaman selanjutnya.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Tidak Menanggung Dosa jika Suami Sudah Berusaha
Menurut Ustadz Khalid, seorang suami akan lepas tanggung jawab dari dosa yang dilakukan istri jika sudah berusaha membimbing dan menasihatinya. Selama sudah berikhtiar semaksimal mungkin, dia tidak akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Dalam Al-Qur’an diabadikan kisah dua istri nabi yang lalai terhadap perintah Allah SWT, yakni istri Nabi Nuh dan Luth Alaihis Salam. Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi wanita-wanita muslim saat ini.
“Kedua istri mereka, istri masing-masing Nabi Nuh dan Nabi Luth meninggal dan tenggelam bersama kaum mereka, karena mereka tidak mau mengikuti nasihat dan saran-saran dari suami mereka,” kata Ustadz Khalid.
“Dan Allah tidak menghisab lagi Nabi Nuh dan Nabi Luth karena memang mereka sudah mengingatkan, sudah menjalankan,” sambungnya.
“Jadi, Allahu a'lam, setahu saya Anda tidak akan menanggung dosa itu insya Allah (jika sudah mengingatkan dan membimbing),” tegasnya.
Sebaliknya, jika suami tidak pernah menasehati dan berusaha membimbing ke jalan yang benar, maka ia akan menanggung dosa istrinya yang berbuat maksiat dan lalai terhadap ajaran-ajaran Islam.
“Jadi masalah kalau Anda tidak pernah menasihati, tidak pernah meluruskan, maka ini tentu saja Anda akan bertanggung jawab,” tuturnya.
Advertisement
Tugas Suami selain Membimbing Istri
Selain menjadi pembimbing, suami memiliki tugas lain terhadap istri, yakni memberi nafkah dan mengajarkan akidah. Mengutip NU Online, berikut penjelasannya.
Memberi Nafkah
Seorang pria memang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak dan istrinya sebagai bentuk tanggung jawab atas amanah yang telah ia ambil. Hal ini senada dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 233:
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
Artinya: “Ibu-ibu hendak menyusui anaknya dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah adalah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.
Dalam ayat tersebut digambarkan pembagian peranan yang jelas antara seorang ayah dan seorang ibu, peranan utama ibu adalah merawat anaknya dengan cara memastikan kesehatan dan nutrisinya sedangkan tugas seorang ayah adalah untuk mencarikan biaya dan penunjang hidup untuk keduanya.
Menurut Imam Fakhrur Razi dalam tafsirnya, pembagian tugas tersebut dijalankan pada dasarnya sebagai bentuk upaya agar sang ibu dapat fokus untuk merawat dan menjaga anaknya dan tidak terbebani dengan urusan finansial. (Fakhru al-Razi, Tafsir Fakhru al-Razi, Dar al-Fikr, Jilid II, h.110)
Sikap kerja sama sebagaimana disebutkan di atas dibangun berdasarkan paradigma bahwa pernikahan tidak lain merupakan bentuk kerja sama yang dibidik atas dasar cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, masing-masing pasangan perlu untuk melakukan sesuatu yang dapat membuat hati pasangannya ridha dan senang padanya, termasuk di antaranya pembagian tugas yang imbang dan merata.
Berkaitan dengan kewajiban nafkah sebagaimana ayat di atas, terdapat hadits yang secara spesifik menjelaskan tentang wajibnya seorang suami memberi nafkah pada istri dan anaknya yakni hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra:
عن عائشة رضي الله عنها قالت دخلت هندبنت عتبة امرأة ابي سفيان على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله ان ابا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني الا ما اخذت من ماله بغير علمه فهل علي في ذالك من جناح؟ فقال خذ من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك (متفق عليه
Artinya: “Diceritakan dari Sayyidah Aisyah Ra, Hindun binti Utbah istri dari Abi Sufyan mendatangi nabi kemudian ia berkata: wahai Rasulallah sesungguhnya Abi Sufyan adalah pria yang pelit ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagi saya dan anak saya, kecuali saya memenuhinya dengan harta yang saya ambil tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa atas hal tersebut? Nabi menjawab ambillah dari hartanya dengan cara yang baik dengan jumlah yang dapat mencukupimu dan anakmu”. (Muttafaq Alaihi) (Ibn Hajar al-Astqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, h.57)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah dan mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Dalam kajian fikih kewajiban seorang suami dalam memberi nafkah terhadap istri dan anaknya tidak berlaku secara mutlak namun terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing keduanya.
Adapun syarat kewajiban nafkah suami terhadap istri adalah selama sang istri memasrahkan dirinya dan mematuhi perintah suami. Sedangkan nafkah anak harus dipenuhi jika anak memiliki salah satu tiga sifat yakni masih kecil, mengalami disabilitas, atau fakir. (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, Dar al-Kutub al-Alamiyyah, h.187)
Mengajarkan Akidah
Bisa dibilang kewajiban nafkah merupakan kewajiban yang paling menjadi sorotan karena hal tersebut berkaitan dengan keberlangsungan hidup sebuah keluarga. Namun demikian, pada dasarnya ada kewajiban-kewajiban lain yang juga harus diemban oleh seorang suami.
Di antara bentuk tanggung jawab tersebut adalah mengenalkan pada anak akidah-akidah dasar dalam Islam sebagai dasar keyakinan yang perlu ditanamkan sedini mungkin. Sebagaimana yang dikatakan oleh Habib Abdullah bin Husain Ba’alawi dalam kitabnya.
يجب على ولي الصبي والصبية المميزين ان يأمرهما بالصلاة وان يعلمهما بعد سبع سنين ويضربهما على تركها بعد عشر سنين.
Artinya: "Wajib bagi setiap wali anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah tamyiz untuk memerintah mereka melaksanakan shalat, dan mengajarkan mereka (rukun dan syarat sholat) setelah berusia tujuh tahun dan memberi mereka pelajaran sebab meninggalkan sholat setelah berumur sepuluh tahun”. (Abdullah bin Husein Ba’alawi, Sullam al-Taufiq ila Mahabbatillahi ala al-Tahqiq, al-Haramain, h.7)
Selain mengajarkan akidah ia juga perlu mengajarkan anak tentang mana yang halal dan mana yang haram. Kewajiban di atas pada dasarnya tidak mutlak harus dilakukan langsung oleh seorang ayah, namun juga dapat diwakilkan pada sang ibu atau orang lainnya.
Wallahu a'lam.
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)