Liputan6.com, Jakarta - Pondok pesantren telah menjadi tempat pembelajaran agama bagi banyak santri di Indonesia. Karena itu, banyak orangtua era sekarang yang memondokkan anak-anaknya di pesantren.
Namun, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3IA) Rembang Jawa Tengah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Baha, masuk pondok bisa memiliki hukum yang berbeda-beda tergantung situasi.
Advertisement
Dalam ceramahnya, Gus Baha menjelaskan bahwa seseorang masuk pondok bisa bernilai sunnah, wajib, bahkan haram tergantung pada kondisi individu dan lingkungan di sekitarnya.
Advertisement
"Sampean mondok ini sunnah apa enggak? Pak-pak, mondok ya bisa wajib, bisa sunnah, bisa haram," ujar Gus Baha dalam ceramahnya, seperti dikutip dan dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @ghazalianschool.
Dalam video tersebut, Gus Baha menjelaskan lebih lanjut mengenai kondisi yang mempengaruhi hukum masuk pesantren. Menurutnya, jika seseorang adalah satu-satunya orang baik dan berilmu di kampungnya, maka lebih utama baginya untuk tetap mengajarkan ilmunya di kampungnya dibandingkan masuk pondok atau ngajar di pesantren.
"Kalau di kampungmu itu kamu satu-satunya andalan, tidak ada yang bisa ngaji kecuali kamu, tapi kamu malah enak-enakan mondok karena lebih keren daripada ngajar di kampung, itu bisa jadi haram," katanya.
Gus Baha menuturkan bahwa kehadiran seseorang yang berilmu di tengah masyarakat sangat penting, terutama jika tidak ada yang lain yang bisa menggantikan perannya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kisah tentang Mbah Moen dan Santri yang Unik
Ia kemudian menceritakan pengalaman dari KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen yang pernah berseloroh tentang pentingnya peran santri di masyarakat.
"Mbah Moen kalau guyon sama saya, masih ingat betul. Jadi kiai itu harus latihan," ujar Gus Baha mengenang.
Ia bercerita bahwa suatu hari, Mbah Moen bertemu dengan santrinya yang sedang libur dan memilih untuk tetap tinggal di pesantren. Awalnya, Mbah Moen mengira santri itu rajin.
"Cung, preinan kok ning pondok?" tanya Mbah Moen dengan perasaan bangga karena mengira santrinya rajin.
Namun, jawaban santri itu justru membuatnya berpikir ulang. "Mboten, Mbah. Nak teng omah ken ngarit," jawab santri itu.
Santri tersebut mengungkapkan bahwa ia tetap tinggal di pondok bukan karena ingin memperdalam ilmunya, melainkan karena enggan membantu orangtuanya mencari rumput.
Dari kejadian itu, Mbah Moen mulai mengubah pendekatannya. Ia menyarankan santri untuk pulang saat liburan agar tetap bisa mengenal keluarganya.
"Semenjak itu, Mbah Moen kalau ada liburan malah bilang, 'Cung, mulih cung. Biar kenal orang tuamu'," ungkap Gus Baha.
Advertisement
Jangan Sampai Tidak Kenal Orang Tuanya
Menurut Gus Baha, seorang santri yang terlalu lama di pondok tanpa memahami keadaan keluarganya bisa kehilangan empati dan kasih sayang kepada orang tua.
"Kalau kelamaan di pondok, bisa-bisa tidak tahu asal-usul orang tua. Tidak punya empati, tidak punya kasihan," jelasnya.
Oleh karena itu, keseimbangan antara menuntut ilmu dan berbakti kepada orang tua menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan seorang santri.
Gus Baha menekankan bahwa ajaran Islam tidak hanya mendorong seseorang untuk mencari ilmu, tetapi juga menunaikan kewajiban sosial dan keluarga.
"Mondok itu bagus, tapi jangan sampai menjadi alasan untuk lari dari tanggung jawab kepada keluarga dan masyarakat," tuturnya.
Ia menegaskan bahwa seseorang yang benar-benar ingin menjadi santri yang baik harus memahami bahwa ilmunya harus diamalkan dan bermanfaat bagi sesama.
Pesan ini menjadi pengingat bagi para santri bahwa ilmu agama bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kemaslahatan umat.
"Jangan hanya ingin jadi orang alim, tapi juga harus tahu cara berbuat baik di lingkungan masing-masing," pungkas Gus Baha.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)