Liputan6.com, Jakarta - Kehidupan seorang ulama sering kali dipenuhi kisah perjuangan yang tidak mudah. Hal ini juga dialami oleh Ustadz Adi Hidayat (UAH), pendiri Quantum Akhyar Institute. Sejak kecil, perjalanan menuntut ilmunya diwarnai oleh ujian berat, termasuk kehilangan sosok ayah yang sangat ia hormati.
UAH membagikan kisah awal mula perjalanannya dalam menuntut ilmu yang penuh lika-liku. Ia mengisahkan bahwa kecerdasannya bukan datang secara instan, melainkan hasil dari tekad dan pengorbanan yang luar biasa.
Advertisement
"Ayah saya meninggal saat saya masuk pesantren, dan baiknya saya rasakan luar biasa," ungkap UAH dikutip dari video di kanal YouTube @santrimbeling_id.
Advertisement
UAH mengenang bagaimana ayahnya dahulu hanyalah seorang pengajar di mushola kecil, yang kini telah berkembang menjadi masjid besar. Sejak kecil, dirinya kerap dibawa oleh ayahnya ke tempat tersebut, hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk pesantren.
Namun, ketika waktunya tiba untuk berangkat menuntut ilmu, ayahnya tidak dapat mengantarnya. Momen perpisahan itu diwarnai air mata. "Saya bertemu ayah, beliau menangis, memeluk saya, dan meminta maaf karena tidak bisa mengantar ke pesantren," kenangnya.
Saat itu, UAH mengaku belum sepenuhnya memahami kondisi yang sedang terjadi. Namun, ia bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk baktinya kepada orang tua.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Mimpi Ditemui Ayahnya
Beberapa pekan setelah masuk pesantren, UAH tiba-tiba mendapat panggilan untuk pulang. Penuh tanda tanya, ia pun bertanya kepada kakaknya yang ikut bersamanya. Namun, sang kakak hanya diam.
Setibanya di Bandung, pamannya langsung menyampaikan kenyataan pahit bahwa kemungkinan besar ia tidak akan sempat menemui ayahnya untuk terakhir kalinya. Jarak yang jauh membuatnya hanya bisa menerima kabar bahwa ayahnya telah dimakamkan.
Saat pulang, UAH tiba di rumah saat maghrib. Ia menemukan ibunya duduk di ruangan tengah. Dengan hati yang berat, ia berusaha menahan tangis.
"Saya tidak menangis sedikit pun untuk membahagiakan ibu," ujarnya.
Malam itu, UAH memutuskan untuk tidur menemani ibunya. Namun, dalam tidurnya, ia mendapatkan mimpi yang begitu nyata. "Saya bermimpi melihat ayah sudah mengenakan kemeja, tersenyum, dan melambaikan tangan," tuturnya.
Esok harinya, ia segera mencari ayahnya, seolah belum bisa menerima kenyataan. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan selain menghadapi takdir dengan keikhlasan.
Advertisement
Inilah Doa yang Dipanjatkan UAH
Hal yang membuatnya semakin terharu adalah ketika ia memasuki kamarnya. Di sana, ia menemukan kitab-kitab pesantren yang telah disiapkan untuknya. Seolah-olah ayahnya telah meninggalkan warisan ilmu yang harus ia lanjutkan.
"Saya menangis saat itu. Saya bawa mushaf, dan saya duduk di ruangan tengah, menghadap kiblat," katanya.
Dalam kesedihannya, UAH berdoa kepada Allah agar setiap huruf Al-Qur'an yang ia baca menjadi pahala yang mengalir untuk ayahnya.
"Ya Allah, saya tak punya kemampuan lagi membahagiakan ayah di dunia. Tapi mohon jadikan setiap huruf dalam Al-Qur'an ini pahalanya mengalir untuk ayah saya," ucapnya dalam doa.
Sejak saat itu, UAH merasakan pengalaman spiritual yang tidak biasa. Ketika membaca mushaf tersebut, ia merasakan pemahaman yang terus mengalir, seakan tanpa henti.
Baginya, inilah titik awal di mana kecerdasan dalam memahami ilmu mulai tumbuh. Ia percaya bahwa ketulusan niatnya menjadi salah satu faktor utama dalam kemampuannya menyerap ilmu dengan cepat.
Dari pengalaman ini, UAH semakin bersemangat menuntut ilmu. Kepergian ayahnya justru menjadi pemicu utama untuk lebih mendalami agama dan memberikan manfaat bagi banyak orang.
Kini, dengan ilmu yang dimiliki, UAH mendedikasikan dirinya untuk mengembangkan dakwah Islam dan mendidik generasi penerus melalui Quantum Akhyar Institute.
Perjuangannya sejak kecil mengajarkan bahwa kesungguhan dalam menuntut ilmu bukan sekadar upaya pribadi, tetapi juga wujud bakti kepada orang tua.
Kisah hidupnya menjadi inspirasi bahwa di balik kesedihan dan keterbatasan, selalu ada jalan bagi mereka yang bersungguh-sungguh.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
